Description:
Pancasila sebagai alas nilai filosofis bangsa terus diuji dalam zamannya. Pada masa awal
kemerdekaan, Pancasila juga diuji oleh diskursus dan pergerakan akar rumput yang menolak dan
yang bertujuan untuk melencengkan nilai-nilai luhurnya. Ideologi komunis (kiri) mencoba
membawa diskursus kenegaraan dalam tataran pertentangan kelas antara kubu kapitalis vis-à-vis
proletarian, yang merupakan pemikiran khas Marxis.
Golongan ‘Islam politik’ mengarahkan visi mereka untuk menjadikan Islam sebagai ideologi
tunggal negara. Masih berbekas kuat dalam ingatan kolektif bangsa, bagaimana para pemimpin
negara melencengkan Pancasila sesuai dengan tamsil kepentingan mereka sendiri: Soekarno
dengan Demokrasi Terpimpin, dan Soeharto dengan Ekonomi Pancasila dan banyak lagi
program kerja Orde Baru yang semata ditambah kata ‘Pancasila’ setelahnya, namun sayangnya
abai akan demokrasi. Fenomena politik diatas menjadi bukti bahwa Pancasila sangatlah rawan
terhadap re-interpretasi penguasa.
Tulisan ini mencoba untuk mencari titik temu antara Pancasila dengan multikulturalisme, dan
sembari mencari format realistis untuk inklusi sosial dengan melakukan studi perbandingan
dengan negara-negara multikultural lainnya.
Pengalaman negara tetangga; Malaysia dan Singapura penting sebagai pengingat bahwa merawat
keberagaman memerlukan ikhtiar yang nyata dan menyeluruh; tidak hanya sekedar terlihat elok
dalam tataran teoritis-konseptual, namun juga harus mampu menjawab tantangan-tantangan
teknis di lapangan. Malaysia telah mengajarkan kepada kita akan pentingnya pemerintahan yang
aktif dan berani turun tangan dalam mengelola ketimpangan sosial di masyarakat dengan
program affirmative action. Singapura mengajarkan kepada kita tentang tata kelola dan
administrasi kewarganegaraan yang efektif dan berintegritas. Contoh-contoh positif dari kedua
negara tersebut, sejatinya telah terparti dalam sila-sila Pancasila sebagai falsafah negara.
Kata Kunci: Pancasila, Inklusi Sosial dan Multikulturalisme