Abstract:
Ecological citizenship ibarat proyek hidup-mati bagi setiap orang di belahan
bumi. Menyelamatkan embrio kehidupan alam, sebagai bekal menata hidup
mendatang. Pergerakan kecil dari setiap bagian di bumi merupakan kontribusi
yang berdampak pada kehidupan kita nanti. Gerakan ecological citizenship
bertumpu pada kesadaran, tanggung jawab, dan komitmen setiap manusia untuk
berkontribusi pada lingkungannya. Setiap negara wajib mengusung komitmen
pasti, dalam rangka menyelamatkan bumi. Terlebih, bagi negara penganut sistem
demokrasi, setiap warga negaranya bukanlah benda mati, tetapi insan yang
berkontribusi mempersiapkan generasi. Setiap umat manusia memiliki konsep
diri untuk merealisasi aksi dalam bidang ekologi berbasis partisipasi.
Description:
Mengapa harus digerakkan, jika konon Tuhan membekali umat
manusia dengan pikiran? Bukankah kemudian akan memicu
ketergantungan? Lebih dari sekedar pertanyaan klasik, dunia sudah
membuktikan bahwa dengan bahu-membahu, menguatkan, dan
menggerakkan satu sama lain, mampu mengubah keterbelakangan
menjadi berkemajuan. Peradaban umat manusia di berbagai belahan
bumi, dimulai dari membentuk komunitas, masyarakat, dan bangsa
untuk tujuan maju bersama.
Indonesia dengan kearifan lokalnya, membumikan konsep
gotong royong dan musyawarah mufakatnya, sebagai bentuk saling
bantu sesama. Praktiknya, setiap pergerakan bersama membuat
masyarakat menjadi berdaya dan mampu menjawab revolusi. Menolak
lupa terhadap pernyataan Yudi Latif dalam buku Revolusi Pancasila,
bahwa pergerakan dan kontribusi merupakan pemantik revolusi,
mengobati buta-tuli ideologi, dan lepas dalam stigma imagologi (ilmu
pencitraan). Sejatinya, pergerakan nyata bersama-sama mempercepat
laju pencapaian cita bangsa.
Ecological citizenship (kewarganegaraan ekologis) merangkum
sebuah prinsip hidup berkebangsaan, karena memuat kegotong royongan, partisipasi, kolaborasi, dan kerukunan. Pascareformasi,
supremasi masyarakat begitu terlihat, gahar dan taringnya mulai tajam,
mempengaruhi berbagai lini kehidupan. Prinsip hidup klasik, bahwa
satu lidi tak sekuat seikat lidi, ternyata berkorelasi terhadap
keberhasilan membangun negeri.
Sejarah perlu dirunut kembali, bahwa bersatu dalam satu
gerakan, bisa meruntuhkan Belanda dan meraih merdeka. Ini adalah
contoh nyata dan perlu ditetapkan sebagai bagian dari budaya. Buku
ini mengulas masa lalu, masa kini, dan masa depan, tentang sikap
antisipatif, partisipatif, dan kolaboratif masyarakat di bidang lingkungan hidup. Prinsip pembangunan lingkungan yang
berkelanjutan tidak akan benar-benar berkelanjutan jika masih
berpusat pada satu tangan. Mengeliminasi perspektif tangan besi, dan
menggantinya dengan perspektif partisipasi, akan memudahkan proses
pembangunan lingkungan yang sesuai dengan harapan dan
kepentingan. Berdampak, bukan hanya untuk negara tetapi, meliputi
kepentingan dunia.