dc.description |
Berbicara tentang ‘Dayak’ (sebutan umum untuk penduduk asli Kalimantan), tentu akan banyak persoalan yang dijumpai dengan berbagai carut-marutnya, misalnya dari persoalan
eksploitasi alam dan pembagian hasil yang tidak berkeadilan bagi masyarakat Dayak, marjinalisasi, kesenjangan ekonomi dan pendidikan, dan tidak meratanya porsi pembangunan
hingga persoalan lintas etnis.
Dalam konteks historis, perjuangan orang Dayak untuk menunjukkan eksistensinya tidaklah tunggal. Dinamika kesadaran membangun identitas bisa dilihat pada masa-masa awal berdirinya Republik ini. Sebagai contoh, bagaimana Dayak di Kalimantan Tengah mengalami kebangkitan politis dibawah pimpinan Tjilik Riwut. Perjuangan ini pada mulanya bersifat politis, yakni untuk menyalurkan aspirasi mereka mendirikan sebuah organisasi pada tahun 1954, yang memperjuangkan berdirinya provinsi Kalimantan Tengah (Laksono, et. Al., 2006: 49-50).
Meskipun perjuangan mendirikan provinsi Kalteng tersebut berhasil, tak dapat disangkal bahwa dalam prosesnya, ketegangan antara etnis Dayak dan Banjar telah terjadi, bahkan dalam bentuk tindak kekerasan dan penumpahan darah (Miles, 1976; Klinken 2006).
Dalam perjalanan sejarah berikutnya perjuangan orang Dayak tampaknya tidak selalu berbuah manis. Dominannya rezim Orde Baru melalui agen-agen politiknya yang tersebar dalam
berbagai institusi formal dan non-formal, khususnya birokrasi, telah menyusutkan peran daerah.
Dalam konteks ini secara spesifik tidak hanya orang Dayak saja yang merasa sebagai korban represi, tetapi juga etnis-etnis lainnya dengan intensitas yang berbeda-beda. Di Kalimantan Tengah, penyusutan peran berarti berkurangnya hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam,
di mana peran negara lebih dominan. Apa yang dulu mereka bisa nikmati, saat Orde Baru berkuasa diambil alih sepenuhnya oleh negara. Kondisi ini digambarkan oleh J.J. Kusni bahwa orang Dayak hidup dalam suatu keadaan di mana “raja boleh membakar rumah, penduduk tidak boleh menyalakan api”. Lebih konkritnya, dalam kasus Kasongan, orang Dayak pendulang emas diusir, dan aktivitas memungut kayu dilarang. Namun di sisi yang lain negara memberikan keleluasaan kepada para pemilik kapital untuk mengeksploitasi hutan dan isi perut bumi secara membabi buta, belum lagi limbah air raksa yang dibuang sembarangan yang berdampak buruk pada kesehatan masyarakat sekitar. Ini diperparah lagi oleh persaingan antara etnis lokal dengan etnis pendatang di beberapa tempat pendulangan emas, di antaranya seperti Kereng Pangi (Kusni, 2001: 93-110). |
|