dc.description.abstract |
Dalam politik sumber daya alam terdapat tiga paradigma yang saling bertentangan, yakni: paradigma konservasionis, yang mendudukkan sumber daya alam semata untuk pelestarian; paradigma developmentalis, yang memandang seluruh sumber daya alam adalah aset pembangunan; paradigma eko-populis, yakni cara pandang holistik bahwa manusia, flora-fauna dan lingkungannya adalah satu kesatuan ekosistem, sehingga hilangnya satu unsur akan mengguncang sendi unsur lainnya. Perspektif dari elemen non masyarakat gambut terkait dengan pengelolaan lahan gambut masih didominasi paradigma ekodevelopmentalis cum konservasionis. Sehingga perlu mempromosikan cara pandang dan praktek baik masyarakat gambut, sebagai bentuk penguatan paradigmatik untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Buku ini berupaya mempromosikan pemikiran dan perilaku eko-populis yang ada pada masyarakat sebagai basis material dalam mengkonseptualisasikan gagasan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dalam perspektif ekologi politik.
Buku ini merupakan rangkuman hasil penelitian yang bertujuan: menemukan pemikiran dan tindakan eko-populis dalam pengelolaan lahan gambut pada masyarakat lokal; strategi dalam mempertahankan pemikiran dan tindakan ekopopulis tersebut; dan, memperkuat kedudukan paradigma eko-populis sebagai paradigma yang relevan dengan aspirasi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Kabupaten Barito Kuala dipilih sebagai lokasi, yang didasarkan pada kondisi lahan gambutnya yang sebagian masih dalam kondisi baik, serta telah didiami masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Secara spesifik, di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon, Desa Asia Baru Kecamatan Kuripan dan Desa Jambu Baru Kecamatan Kuripan.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa masyarakat lokal (gambut) memandang bahwa potensi alamiah lahan gambut sejatinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Masyarakat gambut lebih mengutamakan pertambahan nilai produk dari potensi alamiah lahan gambut. Dalam hal ini, terdapat keinginan untuk membudidayakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun membatasi pada jenis tanaman yang tidak mengharuskan perubahan sifat bentang alam (konversi) dalam membudayakannya. Secara spesifik, paradigma eko-populis pada masyarakat lokal teraktualisasi melaui tindakan: 1) Menghindari cara bertani yang menuntut perubahan sifat bentang alam lahan gambut secara ekstrem (konversi); 2) Mengelola sumber-sumber alamiah lahan gambut sebagai sumber ekonomi, misalnya tanaman purun, gulinggang dan lain-lain, dengan menekankan pada pertambahan nilai produk; 3) Memproduksi kayu galam secara terbatas meskipun memiliki nilai ekonomi yang menggiurkan; 4) Adanya gerakan konservasi purun; 5) Menolak perkebunan monokultur; 6) Adanya gerakan bebas Karhutla yang diaktulisasikan masyarakat lokal dengan meminimalisir metode membakar dalam pembukaan lahan; dan, 7) Lain-lain.
Ditarik kesimpulan bahwa pada masyarakat lokal (gambut) eksis pemikiran dan tindakan yang mampu menselaraskan kepentingan ekologis dan manusia (masyarakat). Pemikiran dan tindakan yang sejalan dengan paradigma eko-populis, dan terbukti mampu menjaga ekosistem lahan gambut dari kerusakan. Temuan dan kesimpulan penelitian ini merupakan tesis penting untuk meretas kesalahan fundamental-filosofis dalam pengelolaan lahan gambut. |
en_US |