dc.description.abstract |
Suhu lingkungan yang tinggi dan kelembaban relatif yang tinggi di daerah tropis seperti Indonesia sangat kondusif bagi perkembangan jamur tertentu untuk menghasilkan mikotoksin (Bryden, 2012). Dalam skala global, diperkirakan lebih dari 25% produk pertanian dunia terkontaminasi mikotoksin yang berimplikasi pada kerugian ekonomi yang besar dan bahaya bagi kesehatan masyarakat (Gowda et al., 2013).
Di antara kelompok mikotoksin, aflatoksin B1 (AFB1) diakui sebagai mikotoksin yang paling umum dan toksigenik. Aflatoksin B1 telah diklasifikasikan sebagai kelompok 1 karsinogen manusia oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) (Richard, 2007). Aflatoksin B1 bersifat toksik kronis dan akut; tergantung pada dosis dan durasi paparan, dan status fisiologis hewan (Bryden, 2012). Pada sapi perah, AFB1 menyebabkan kerusakan hati yang parah termasuk nekrosis hemoragik, infiltrasi lemak, dan proliferasi saluran empedu (Voelkel et al., 2011). Studi in vitro pada hepatosit manusia menunjukkan bahwa paparan jangka panjang AFB1 tingkat rendah dalam makanan akan menyebabkan hepato-karsinogen manusia (Prandini et al., 2007). Aflatoksin merupakan kofaktor untuk karsinoma hepatoseluler manusia (kanker hati), diperkirakan paparan aflatoksin dapat berkontribusi pada 28.
Karena AFB1 dalam pakan dapat ditransfer ke dalam susu sebagai metabolit terhidroksilasi, pembawa AFB1 dari pakan ke Aflatoksin M1 (AFM1) dalam susu dan produk susu adalah cara utama transfer aflatoksin dari pakan ke rantai makanan (Galvanoet al., 1998; Mohammadi, 2011). Pengujian di laboratorium hewan menunjukkan bahwa AFM1 memiliki toksisitas dan karsinogenisitas yang mirip dengan AFB1 (Egmond, 1989). Beberapa penelitian melaporkan bahwa hewan muda lebih rentan terhadap AFM1 daripada hewan dewasa (Elnezami et al., 1995; Ghiasian et al., 2007). Oleh karena itu, pembawa AFB1 dari pakan yang terkontaminasi ke dalam susu telah menjadi perhatian Karena sifatnya yang menyebabkan kanker (karsinogenik), asupan aflatoksin oleh makanan harus serendah mungkin. Regulasi tentang cemaran aflatoksin dimaksudkan untuk menerapkan prinsip ALARA (As Low As Reasonable Achievable) (Voelkel et al., 2011; Duarte et al., 2013). |
en_US |