dc.description.abstract |
HAMSI MANSUR
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
Implementasi Pendidikan Inklusif
© Hamsi Mansur
Editor:
Dimas Indianto S.,M.Pd.I.
Layout: Pustaka Senja Cover:
Farid
Diterbitkan Oleh:
PUSTAKA SENJA
pustakasenja@yahoo.com
Jl. Ori 1 No 9 c Papringan, Yogyakarta
(Hp. 085741060425, website: www.pustakasenja.com)
Cetakan 1, Oktober 2018
Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved
HAMSI MANSUR
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
PENDIDIKAN INKLUSIF: DARI TEORI KE APLIKASI
*Dimas Indianto S.,M.Pd.I
Pendidikan Inklusif bukanlah sekadar metode atau pendekatan pendidikan. Lebih dari itu pendidikan inklusif merupakan bentuk implementasi filosofi yang mengakui nilai- nilai kebhineka-tunggalikaan antar manusia yang di dalamnya terdapat misi luhur membangun kehidupan bersama yang harmonis dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Inklusif diartikan sebagai instrumen untuk meningkatkan taraf kemanusiaan melalui seperangkat kegiatan pendidikan. Nilai humanisme inilah yang menjadi ruh dari pengejewantahan pendidikan inklusif. Jika dulu pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dilakukan sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, maka saat ini lahirlah paradigma baru pendidikan, di mana Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) butuh suatu konsep pendidikan yang mengikutsertakan mereka secara penuh di dalam berbagai kegiatan sosial. Layanan pendidikan ini diharapkan mampu mengakomodir segala kebutuhan ABK tanpa sedikitpun bentuk diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusif di sekolah reguler, agar ABK dapat ikut serta mengoptimalkan kemampuannya bersama dengan anak-anak pada umumnya.
Namun begitu, pendidikan inklusif bukan semata teori. Pendidikan inklusif bukan lagi sebagai wacana, melainkan sebuah
keniscayaan yang harus mulai diterapkan di pelbagai dimensi pendidikan. Hal ini tidak lain adalah upaya memenuhi hak-hak para Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Dalam hal inilah pendidikan memenuhi maknanya sebagaimana dalam UU nomer 20 tahun 2003, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dalam buku ini diterangkan bahwa dalam ranah implementasi, pendidikan inklusif sebaiknya mencakup semua jenis media pendidikan untuk semua peserta didik, termasuk di dalamnya Anak Berkebutuhan Khusus, seperti: Tunanetra, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Tunawicara, Kesulitan Belajar, Lamban Belajar, Autis, dan lain sebagainya. Implementasi pendidikan inklusif merupakan tanggungjawab bersama semua unsur yang ada dalam pendidikan, tidak lain agar pendidikan inklusif benar-benar menjadi sarana mengembangkan semua potensi anak didik, betapapun keadaannya.
DAFTAR ISI
PENGANTAR EDITOR ~v DAFTAR ISI ~ vi
BAB I PENDAHULUAN ~1
BAB II KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF ~7
BAB III KONSEP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ~28 BAB IV KONSEP IDENTIFIKASI ~55
BAB V MANAJEMEN SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF ~70
BAB IV SEBUAH CATATAN ~ 114 REFERENSI ~124
LAMPIRAN ~130 BIODATA PENULIS ~138
BAB I PENDAHULUAN
A. Hakikat Pendidikan Inklusif
Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, di mana anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan suatu bentuk pendidikan yang mengikutsertakan mereka di dalam berbagai kegiatan dengan masyarakat luas. Layanan pendidikan yang dimaksudkan adalah mampu mengakomodir segala kebutuhan ABK tanpa adanya bentuk diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusif di sekolah reguler, agar ABK dapat ikut serta mengoptimalkan kemampuannya bersama dengan anak-anak pada umumnya.
Pendidikan inklusif pada dasarnya sebagai upaya untuk mememenuhi kebutuhan pendidikan untuk semua anak dengan
fokus pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi. Dengan pendidikan inklusif diharapkan pendidikan bagi semua anak dapat terlaksana bukan hanya sebagai slogan tetapi dengan sungguh-sungguh mengayomi seluruh anak tanpa terkecuali. Semua sekolah harus menerima keberagaman setiap peserta didiknya tanpa memandang perbedaan dari segi fisik, emosi, sosial, agama, ekonomi, dan sebagainya. Oleh Karena itulah, pendidikan yang terselenggara hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan dalam mengembangkan potensinya, yang sejalan dengan ideologi sistem pendidikan nasional.
Indonesia menuju pendidikan inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak tanpa terkecuali. Sebuah fakta di negeri ini bahwa perbedaan seringkali menjadi hal yang dipertentangkan, didiskriminasikan bahkan dimarginalkan. Masyarakat terkadang belum terbiasa hidup berdampingan dengan sebuah kenyataan atau kondisi yang berbeda sehingga sulit rasanya menciptakan sebuah keadilan diberbagai bidang di negeri ini, termasuk keadilan dalam bidang pendidikan.
Hakikat pendidikan inklusi terdiri dari 2, yaitu: a) Pendidikan inklusi adalah penggabungan pendidikan regular dan pendidikan khusus ke dalam satu system persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua. b) Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau
pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.
B. Tujuan Pendidikan Inklusif
Tujuan Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif di Indonesia adalah:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5. Memenuhi amanat konstitusi/peraturan perundang- undangan: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat
(1) yang menegaskan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”; 2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”; 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 51 yang menegaskan “anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesbilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”. 5) Peraturan menteri pendidikan nasional republik Indonesia (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
C. Sasaran Pelaksanaan Pendidikan Inklusif
Sasaran Pendidikan Inklusif Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrument internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen- instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat, sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pendidikan inklusif merupakan perkembangan
terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersamasama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” Sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan oneschool for all.
D. Prinsip Pendidikan Inklusif
Prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia, selain keberagaman adalah:
1. Prinsip Persamaan Hak dalam Pendidikan (Equality in Education) Pendidikan inklusif mengakomodasi semua anak mendapatkan pendidikan. Memperoleh pendidikan yang bermutu, menghargai keragaman, dan mengakui perbedaan individual. Setiap anak berhak untuk memasuki sekolah yang terdekat dengan tinggalnya; semua anak bisa belajar dan menghadapi hambatan dalam belajar; semua anak membutuhkan dukungan dalam proses belajar; danpembelajaran memfokuskan pada kebutuhan setiap individu anak
2. Peningkatan Kualitas Sekolah (School Improvement)
Konsep sekolah dan pendidikan bukan hanya terfokus pada sekolah formal, namun institusi-institusi non formal lainnya; sebuah institusi pendidikan atau sekolah merupakan institusi yang ramah dan responsif terhadap perubahan; selalu berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah baik dalam penyediaan sarana dan prasarana, kemampuan guru dan yang paling mendasar adalah merubah pandangan sekolah tentang kebutuhan anak, melakukan kerjasama dengan institusi terkait sebagai rekan untuk meningkatkan kualitas sekolah, dan mewujudkan sebuah sekolah yang ramah terhadap anak sehingga anak merasa aman dan nyaman untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Sistem Sekolah Ramah Anak (SRA) menekankan pada pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan gaya belajar setiap anak; mengajar anak bagaimana belajar kooperatif, aktif, dan demokratis. Isi materi yang terstruktur dengan sumber daya yang berkualitas baik dan melindungi anak dari pelecehan dan bahaya kekerasan. Dengan demikian pendidikan inklusif dapat meningkatkan kualitas sekolah, baik dari segi layanan, materi, dan peserta didik, karena dapat mengakomodasi kepentingan setiap peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Sejarah Pendidikan Inklusi
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari waktu ke waktu terus mengalami evolusi. Perubahan tersebut terjadi dengan terus berkembanganya pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan. Demikian juga dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus, satu persatu masyarakat mulai merubah cara pandangnya terhadap pelayanan pendidikan bagi mereka, meskipun hal tersebut tidak bisa berjalan secara serentak. Seperti yang dikemukakan oleh Skjorten (2003) dan Foreman (2001), bahwa terjadi gradasi pemikiran yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah : pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusi.
Konsep dari pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi terjadi perkembangan pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya.
Anak dengan kebutuhan khusus memiliki kemungkinan lebih besar disbanding anak-anak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar masuk sekolah. Hal tersebut disebabkan karena selama ini pendidikan yang disediakan sebagian besar belum dapat mengakomodir kebutuhan- kebutuhan mereka atau dengan kata lain hanya menyediakan layanan untuk anak-anak pada umumnya. Sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih sedikit. Kini mulai diperkenalkan istilah inklusi diamggap sebagai suatu alternative penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sebagai jawaban tuntutan akan semboyan ‘pendidikan untuk semua’.
Pendidikan untuk semua menjadi awal pemikiran untuk menjalankan sebuah pendidikan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa pun, termasuk ABK. Dengan adanya konsep pendidikan untuk semua ini menimbulkan reformasi kurikulum pendidikan dari yang selama ini dijalankan. Menurut APEID (Asia
and the Pasifik Programme of Educational Inovation for
Development) bahwa dalam reformasi kurikulum menunjuk pada perubahan-perubahan, dalam hal ini yaitu landasan filosofis dan pendekatan kurikulum sekolah, seperti yang dikemukakan John Naisbit dan Patricia Abundance dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi (2004:195-196), yang mengemukakan bahwa Reformasi kurikulum yang disebabkan oleh adanya perubahan paradigm pendidikan untuk semua (EFA) menunjuk pada perubahan-perubahan dalam ini, landasan filosofi dan pendekatan kurikulum sekolah tersebut disebabkan oleh sepuluh hal: pendidikan untuk semua, relevansi kurikulum terhadap inidividu dan masyarakat, pengembangan ketepatan nilai dan sikap, pengembangan proses, berkenaan dengan mempertemukan kebutuhan dengan seluruh individu, memaksimumkan perkembangan potensi setiap anak secara penuh terlepas dari status sosial dan ekonomi mereka, proses belajar mengajar yang berorientasi pada siswa, belajar tuntas (mastery learning), evaluasi kinerja yang holistik, dan menanggulangi atau menguasai dan/atau mengelola perubahan. Pendidikan untuk semua (EFA) merujuk pada reformasi kurikulum yang berupaya mengakomodasikan kenyataan bahwa
siswa-siswa sekolah memilki karakteristik yang heterogen. Selain
itu merujuk pada perlunya materi pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan kebutuhan masyarakat. Menurut sebuah artikel yang dimuat oleh Media Bawean, terdapat tiga juta anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan layanan khusus.
Pendidikan inklusi adalah strategi kunci untuk menangani anak-anak tersebut. Prinsip dasar pendidikan inklusi adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada diskriminasi apapun yang mendasarinya. Hal ini berarti bahwa sekolah reguler/umum harus diperlengkapi untuk dapat melihat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang heterogen, termasuk mereka yang secara tradsional telah tersingkirkan, baik dari akses ke sekolah peran serta yang ada di sekolah. Sebagai upaya mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya ABK, maka dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 ayat 1 Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus pun berhak memperoleh kesempatan yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya dalam hal pendidikan.
Sementara dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan alternatif lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan
khusus, yang selama ini masih adanya diskriminasi dan pemisahan antara pendidikan bagi ABK dengan pendidikan bagi anak-anak pada umumnya. Dalam pasal 15 dijelaskan tentang pendidikan khusus, yang disebutkan bahwa: Pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Secara operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan khusus dan Pendidikan layanan khusus. Kecenderungan penyelenggaraan pendidikan inklusi bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, meskipun mereka telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup layak di masyarakat. Kecenderungan pendidikan inklusi juga dipicu oleh terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang tumbuh menjadi pribadi yang mampu berprestasi, tidak hanya untuk mengurus diri sendiri tetapi juga mampu berprestasi pada tingkat nasional maupun internasional. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dapat berkembang
dengan baik dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dalam era pendidikan inklusi sekolah dikelola secara khas yang sangat menekankan terciptanya suasana kooperatif. Sikap kooperatif tersebut harus dimiliki oleh semua tenaga kependidikan.
B. Landasan Pendidikan Inklusif
Indonesia memiliki semboyan negara yang memiliki kemiripan arti dengan filosofi pendidikan Inklusi yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini mengakui kebinekaan atau perbedaan yang memang mewarnai bangsa Indonesia baik perbedaan suku bangsa, agama, tempat tinggal, budaya, dan kemampuan. Dalam Undang – Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) 1945 terdapat pasal – pasal mengenai hak asasi manusia yang salah satunya adalah hak dalam mendapatkan pendidikan bagi setiap orang yaitu pada pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Lebih jelas lagi tentang pendidikan bagi penyandang cacat, terdapat pada Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Dalam Pasal 6 dituliskan tentang enam hak penyandang cacat dimana hak nomor 1 adalah berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jenis, dan jenjang pendidikan. Undang – Undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, mengatur bentuk pendidikan secara lebih terperinci seperti pada pasal 4 Ayat (1) “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan pada Pasal 15 yang berbunyi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus beserta Penjelasan Pasal 15 yaitu Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Selain itu, terdapat juga beberapa dokumen internasional yang melandasi pendidikan inklusi seperti :
1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang membahas keseluruhan hak manusia dalam 30 pasal. Diantara semua pasal itu terdapat satu pasal yaitu pasal 26 ayat
(1) yang menyinggung tentang hak manusia atas pendidikan “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cumacuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan”.
2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
Jika Deklarasi Universal HAM membahas Hak Asasi Manusia secara umum, konvensi ini berisi khusus mengenai Hak Anak. Di dalamnya terdapat pasal mengenai diakuinya hak anak terhadap pendidikan, secara lebih terperinci tentang arah pendidikan dan hal – hal yang harus dilakukan sebuah negara untuk mencapai hak terhadap pendidikan ini.
3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien
Dalam Deklarasi ini terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam system pendidikan umum. Deklarasi Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi semua orang, mengakui bahwa kelompok - kelompok tertentu terasingkan dan menyatakan bahwa sebuah komitmen aktif harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan terhadap kelompok- kelompok yang tdak mendapatkan haknya atas pendidikan.
Dalam Sue Stubbs (2002:16) Deklarasi Jomtien juga secara khusus menyebutkan kelompok penyandang cacat dalam Pasal II ayat 5 bahwa “langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan”.
4. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pernyataan Salamanca hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek Pendidikan Inklusi. Dokumen ini mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen sebelumnya. Terdapat satu paragraf pada pasal 2 yang memaparkan tentang efektivitas sekolah inklusi “Sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusi memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan”.
5. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar
Dalam kerangka Dakar pasal 8, pemerintah dan lembaga- lembaga lainnya berjanji untuk : Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusi dan dilengkapi dengan sumber-sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan
belajar dengan tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua (Sue stubbs 2002:20) Kerangka Dakar juga menyatakan dalam penjelasan pada paragraf 33: ... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak dari kelompok- kelompok termarjinalisasi dan terasing, system pendidikan harus merespon secara fleksibel ... Sistem pendidikan harus inklusi, secara aktif mencari anak yang belum bersekolah dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan kebutuhan semua siswa” (Sue Stubbs 2002:20).
C. Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terbaru model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Khusus pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, bulan Juni 1994 bahwa “Prinsip dasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan,
semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.
Prinsip yang dijadikan pedoman dalam kerangka aksi ini adalah bahwa sekolah dapat mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Kondisi-kondisi tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan.
Dalam konteks kerangka aksi ini, istilah “kebutuhan pendidikan khusus” mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya. Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar
berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Beberapa ahli mengemukakan mengenai pengertian pendidikan inklusi sebagai berikut
Stainback dan stainback (1990), “Sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama”.
Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa “Pendidikan Inklusi adalah penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang berat secara penuh di kelas reguler”.
Menurut Sapon-Shevin (1991) bahwa “pendidikan inklusi sebagai sistem layanan Pendidikan yang mempersyaratkan agar semua ABK dilayani di sekolah- sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya”.
Selanjutnya dalam program pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007 diuraikan bahwa pendidikan inklusi adalah “suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dari pelaksanaan yang ekslusif”. Pendidikan inklusi berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagi semua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainan.
Pendidikan inklusi melihat perbedaan individu bukan sebagai suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak. Pendidikan inklusi melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB United Nation Convention on Right of the Child (UNCRC) tentang hak anak. Pendidikan inklusi menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusatdari pembelajaran, fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokratis.
Kasus bullying di salahsatu Universitas terhadap mahasiswa berkebutuhan khusus
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial maupun kondisi lainnya. Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa
memandang perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan setiap anak. Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di lembaga pendidikan dan tempat lain. Mengutip pendapat Sunanto (2009) dkk bahwa pendidikan inklusi sebagai berikut:
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak, tidak terkecuali. Pendidikan yang memberikan layananterhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial,emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik dikelas sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak,(Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, 2007).
Selanjutnya dijelaskan bahwa karakteristik “Pendidikan Inklusi”, yaitu : Pendidikan untuk semua, menggunakan kurikulum biasa tapi yang fleksibel, pembelajaran bersifat memenuhi kebutuhan individual, lingkungan pembelajaran ramah, menekankan pada proses pembelajaran, pendidikan berpusat pada anak, menggunakan pendekatan yang komprehensif, dan memberikan kesamaan kesempatan bagi semua anak.
Menurut Mc Conkey et.all (2001:32) bahwa pendidikan
inklusi :
(1) mengakui semua anak berhak belajar dan mereka membutuhkan dukungan dalam pembelajarannya; (2) bermaksud mengarahkan dan meminimalkan hambatan belajar; (3) adanya perluasan pendidikan formal termasuk
di rumah dan masyarakat dan kesempatan lainnya diluar pendidikan di sekolah; (4) kurikulum dan lingkungan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan semua anak: (5) adanya proses dinamis yang terus menerus berkembang berdasarkan budaya lokal dan strategi untuk menuju masyarakat inklusi.
Maka untuk dapat menerapkan pendidikan inklusi di sekolah maka lingkungan sekolah diharapkan bisa menyediakan pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan siswanya. Menurut Skjorten (Jhonsen & Skjorten, 2003:48-51) “sekolah mengambil kunci dasar pendidikan sebagai berikut: penghargaan bagi identitas siswa, dan variasi dipandang sebagai sumber daya bukan suatu masalah”.
Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi terkandung unsur adanya :
Layanan pendidikan yang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama
dengan anak sebayanya di kelas reguler/biasa terdekat tempat tinggalnya.
Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak.
D. Sekolah Inklusif
Sekolah inklusif adalah sekolah biasa/reguler yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, mental, cerdas, berbakat istimewa, suku terasing, korban bencana alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak nomaden dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Jadi, sekolah inklusi adalah sekolah yang mengakomodasi kebutuhan belajar siswa. Sekolah inklusi mengadopsi keyakinan bahwa sebisa mungkin semua anak dapat belajar berdasarkan potensi mereka.
Prinsip mendasar dari sekolah inklusi adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-
sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusi harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.
Di dalam sekolah inklusi, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya.
Pengiriman anak secara permanen ke Sekolah Luar Biasa
- atau kelas khusus atau unit khusus di sebuah sekolah regular seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.
Sekolah (inklusif) ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, Tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Sedangkan menurut Choate (Dyah, 2008:5) “sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapatbelajar di kelas pendidikan umum”.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas dapat dirumuskan sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memliki kebutuhan khusus untuk untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum, dimana peserta didik berkebuthan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan utama di dalam kelas umum dan dibawah tanggungjawab seorang guru kelas umum, serta menyediakan program pendidikan yag layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agaranak-anak berhasil.
E. Karakteristik Sekolah Inklusi
Setiap sekolah reguler hendaknya melaksankan pendidikan inklusi agar pendidikan untuk semua dapat terlaksana. Dimana sekolah yang inklusi memiliki karaktiristik yang berbeda dengan sekolah yang belum inklusi. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan Alimin dkk (2008), dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi memiliki karakteristik, sebagai berikut:
1) Tidak diskriminatif. Artinya sekolah inklusi harus memberikan layanan pendidikan kepada setiap anak tanpa terkecuali.
2) Pegakuan dan penghargaan terhadap keragaman individual anak. Sekolah inklusi harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan; harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pemebelajaran yang bersifat individual, bersifat fleksibel dan dinamis, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak; iklim belajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang sesuai dengan kemampuan anak.
3) Fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak. Sarana fisik sekolah memudahkan, aman dan nyaman untuk digunakan oleh setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (aksesibel).
4) Guru bekerja dengan tim. Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Proses pembelajaran tidak terkotak-kotak, tetapi merupakan pembelajaran terpadu dengan menerapkan tim indisipliner.
5) Keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap sekolah. Guru dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan. Keterlibatan orangtua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah maupun di rumah. Selain itu juga ada keterlibatan dan partisipasi dari LSM dan masyarakat secara luas.
Spect (2009) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian, sekolah inklisif yang efektif memiliki karakteristik berikut ini:
1) Lingkungan yang suportif. Budaya dan iklim sekolah merujuk pada atmosfir, nilai, dan kebijakan sekolah. Faktor-faktor ini mengarah pada harapan dan perilaku tertentu dari staf sekolah maupun siswa. Sekolah efektif merupakan sekolah yang memilki harapan yang tinggi terhadap staf dan siswa, memberikan dukungan kepada staf dan siswa, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi baik dalam setting kelas mapun sekolah yang lebih luas. Atmosfr sekolah yang ramah, budaya sekolah yang menerima perbedaan perilaku di kelas, dan tidak membuat
asumsi tentang kemampuan anak, akan meningkatkan perasaan diterima.
2) Hubungan yang positif. Guru membangkitkan perkembangan hubungan melalui keputusan mereka tentang tempat duduk anak di kelas. Tindakan yang lebih formal mencakup menunjukkan model peran kepada siswa dan membangun hubungan pertemanan. Beberapa strategi dapat digunakan untuk meningkatkan inklusi sosial semua anak.
3) Perasaan mampu. Anak-nak perlu yakin bahwa mereka memiliki kemampuan dalam sesuatu dan yakin bahwa orang lain percaya bahwa mereka akan berhasil. Anak dapat mengembangkan konsep diri yang uat dalam berbagai area berda. Anak-anak dapat merasa kompeten dalam area yang berhubungan dengan kemampuan dan kualitas sosial, atletik, moral, dan kreatif, serta dalam kemampuan untuk belajar. Dengan memahami area kekuatan mereka, anak-anak akan menghargai diri mereka sendiri dan mengembangkan rasa menghargai diri sendiri (rasa harga diri)
4) Kesempatan untuk berpartisipasi. Semua anak membutuhkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang memberikan mereka kesempatan untk memahami harapan masyarakat. Mereka bisa memperoleh kompetensi fisik dan sosial yang dibutuhkan untk berfungsi disekolah, rumah, dan masyarakat luas. Dengan demikian, mereka juga akan memperoleh pemahaman tentang kekuatan mereka dan hubungan mereka dengan oranglain.
BAB III
KONSEP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Konsep anak berkebutuhan khusus tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran sekarang ini mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk membantu anak dan remaja beserta keluarganya. yang telah mengalami perubahan yang signifikan. Pergeseran paradigma itu juga berdampak terhadap peristilahan yang melahirkan predikat anak berkebutuhan khusus.Hal ini dapat dimaknai dari perubahan filosofi, sikap dan praktek professional yang terkait dengan bantuan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Sampai akhir tahun 1970-an, intervensi didominasi oleh apa yang disebut sebagai “pendekatan berpusat pada para profesional’.
Orientasi ini berimplikasi bahwa para profesional membuat diagnosis, memberi resep untuk perlakuan, dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Sementara itu pada
tahun 1980-an, praktek profesional seperti itu berubah dibanyak bidang menjadi apa yang dapat disebut sebagai pendekatan yang lebih berorientasi keluarga. Tahun 1990-an terdapat perubahan lebih lanjut menuju pendekatan berpusat pada keluarga dalam melaksanakan intervensi.
Konsep baru kemudian diperkenalkan melalui pernyataan Salamanca dan beberapa konsep diperkenalkan sebelumnya. Konsep - konsep ini penting karena menggambarkan proses dan perubahan saat ini. Pernyatan Salamanca menekankan semua anak dapat dididik walaupun mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat. Skjorten, M.D, (2003:87) menegaskan bahwa
semua anak memiliki kebutuhan khusus hanya ada yang bersifat temporer dan ada yang bersifat permanen. Anak- anak berkebutuhan khusus baik itu permanen maupun temporer dapat dilihat dari kondisi sosial emosional, dan
/atau kondisi ekonomi , dan /atau kondisi politik, dan/atau kelainan bawaan dan/atau kelainan yang didapat pada awal kehidupannya atau kemudian.
Dengan kata lain, hambatan belajar dan perkembangan dapat terdiri dari banyak bentuk. Dimasa lalu, pendekatan- pendekatan pengajaran anak berkebutuhan khusus ditentukan oleh diagnosis media yang diberikan kepada mereka dengan pendekatan tersebut, anak-anak dengan diagnosis yang serupa harus diajar dengan cara yang sama. Sekarang disadari bahwa
walaupun pembelajaran akan dipengaruhi oleh kelainan, tetapi ada faktor-faktor lain yang lebih penting.
Faktor-faktor tersebut dapat terletak dalam pengalaman yang tergantung pada lingkungan, termasuk sikap terhadap anak- anak padaumumnya dan terhadap anak tertentu seperti karena lingkungan kurang responsif, kurang stimulasi, kesalah pahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pengajaran dan materi pembelajaran. Faktor lainnya adalah faktor dalam diri anak seperti keingin tahuan, motivasi, inisiatif, tempramen dan sebagainya.
Dari poin-poin tersebut disadari konsep hambatan belajar dan perkembangan pada kesulitan dan tantangan yang dapat muncul disetiap kelas, kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapi oleh semua anak. Namun konsep ini juga membantu menyadari besarnya implikasi dari hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor sensori, motorik, kognitif, emosional dan lingkungan. Ini membantu kita menyadari bahwa, misalnya; penguasaan Braille oleh seorang anak tunanetra tidak mengatasi semua hambatan akibat ketunanetraan. Konsep anak berkebutuhan khusus di Indonesia secara formal tersiratdalam perkembangan konsep anak cacat, anak luar biasa dan sebagainya yang dapat ditelusuri dari mulai PP No 002/U/1986 tentang pendidikan terpadu bagi anak cacat, yang mengemukakan bahwa:
...anak cacat ialah anak yang mempunyai kelainan jasmani dan atau rohani yang terdiri dari cacat netra, cacat rungu, cacat grahita, cacat daksa,cacat laras, dan oleh karenanya dapat mengganggu pertumbuhan danperkembangan baik jasmani, rohani dan atau sosial sehingga tidak dapat mengikuti pendidikan dengan wajar .
Sementara itu Peraturan menteri Pendidikan No.70/2009 menegaskan bahwa peserta didik berkelinan yang memerlukan pendidikan khususmeliputi: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
Dalam pedoman penyelengaraan pendidikan terpadu/inklusi (2004), anak berkebutuhan khusus adalah “anak yang dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik, mental - intelektual, sosial, emosional dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus”.
Dari batasan tersebut juga dapat berarti bahwa, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan /penyimpangan tersebut jika tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi melibatkan sejumlah besar anak yang masuk sekolah, termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus (permanen). Maka, kelas yang inklusi akan menjadi kelas yang sangat beragam (heterogen). Dengan demikian pemahaman terhadap anak berkebutuhan khusus sangatlah penting dalam pendidikan inklusi. Skjorten (2003: 39) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, baik permanen maupun
temporer, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang disesuaikan, yang disebabkan oleh: (1) kondisi sosial ekonomi, dan/atau (2) kondisi ekonomi, dan/atau (3) Kondisi politik, dan/atau (4) Kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian Dengan kata lain, tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang ekslusif dan bukan hanya anak yang berkelainan saja tetapi meliputi sebagianbesar anak yang sedang belajar.
Untuk lebih jelasnya konsep anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut di atas selanjutnya dapat dilihat pada gambar berik
Gambar
Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi anak berkebutuhan khusus temporer dan permanen. Anak berkebutuhan khusus permanen meliputi:
1. Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra),
a. Anak Kurang Awas (low vision)
b. Anak tunanetra total (totally blind).
2. Anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (Tunarungu/Wicara),
a. Anak kurang dengar (hard of hearing)
b. Anak tuli (deaf)
3. Anak dengan kelainan Kecerdasan
a. Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita)
1) Anak tunagrahita ringan ( IQ IQ 50 – 70).
2) Anak tunagrahita sedang (IQ 25 – 49).
3) Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah).
b. Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata
1) Giffted dan Genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas ratarata
2) Talented, yaitu anak yang memiliki keberbakatan khusus
4. Anak dengan gangguan anggota gerak (Tunadaksa).
a. Anak layuh anggota gerak tubuh (polio)
b. Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy)
5. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (Tunalaras)
a. Anak dengan gangguan prilaku
1) Anak dengan gangguan perilaku taraf ringan
2) Anak dengan gangguan perilaku taraf sedang
3) Anak dengan gangguan perilaku taraf berat
b. Anak dengan gangguan emosi
1) Anak dengan gangguan emosi taraf ringan
2) Anak dengan gangguan emosi taraf sedang
3) Anak dengan gangguan emosi taraf berat
6. Anak gangguan belajar spesifik
7. Anak lamban belajar (slow learner)
8. Anak Autis
9. Anak ADHD
C. Karakteristik dan Kebutuhan Pembelajaran ABK
1. Anak dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihataan sedemikian rupa, sehingga membutuhkaan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Layanan khusus dalam pendidikan bagi mereka, yaitu dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang tunanetra total, dan bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar atau diperbesar. Di samping itu diperlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Untuk mengenali mereka, kita dapat melihat ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter.
b. Kesulitan mengambil benda kecil didekatnya.
c. Tidak dapat menulis mengikuti garis lurus.
d. Sering meraba-raba dan tersandung waktu berjalan,
e. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik kering.
f. Tidak mampu melihat.
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata,
h. Mata bergoyang terus
Anak dengan gangguan penglihatan dapat juga dikelompokkan berdasarkan:
1. Berdasarkan ukuran ketajaman penglihatan, anak tunanetra dapat dibagi menjadi:
a) Mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70 artinya anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet (6 meter) sedangkan orang normal dari jarak 70 feet (21 meter). Mereka digolongkan ke dalam low vision (keterbatasan penglihatan)
b) Mampu membaca huruf paling besar di Snellen Chart dari jarak 20 feet [acuity 20/200–legal blind] dikategorikan tunanetra total. Ini berarti anak tunanetra melihat huruf E dari jarak 6 meter, sedangkan anak normal dari jarak 60 meter.
2. Anak dengan keterbatasan penglihatan (low vision). Karakteristik anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (low vision):
a) Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak.
b) Menghitung jari dari berbagai jarak.
c) Tidak mengenal tangan yang digerakan.
3. Kelompok yang mengalami keterbatasan penglihatan berat (tunanetra total):
a) Mempunyai persepsi cahaya [light perception)
b) Tidak memiliki persepsi cahaya [ no light perception ]
4. Dalam perspektif pendidikan, tunanetra dikelompokan menjadi:
a) Mereka yang mampu membaca huruf cetak standar.
b) Mampu membaca huruf cetak standar, tetapi dengan bantuan kaca pembesar.
c) Mampu membaca huruf cetak dalam ukuran besar [ukuran huruf no. 18.].
d) Mampu membaca huruf cetak secara kombinasi, cetakan reguler, dan cetakan besar.
e) Menggunakan huruf Braille tetapi masih bisa melihat cahaya.
5. Keterbatasan anak tunanetra:
a) Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru.
b) Keterbatasan dalamberinteraksi dalam lingkungan.
c) Keterbatasan dalam mobilitas.
6. Kebutuhan pembelajaran anak tunanetra
Karena keterbatasan anak tunanetra seperti tersebut di atas maka pembelajaran bagi mereka mengacu pada prinsif- prinsif sebagai beikut:
a) Kebutuhan akan pengalaman konkrit.
b) Kebutuhan akan pengalaman yang terintegrasi.
c) Kebutuhan dalam berbuat dan bekerja dalam belajar
7. Media belajar anak tunanetra dikelompokan menjadi dua yaitu:
a) Kelompok tunanetra total dengan media baca tulis huruf Braille.
b) Kelompok low vision dengan media baca tulis biasa yang diperbesar [misalnya hurup diperbesar dan menggunakan alat pembesar].
2. Anak dengan Gangguan Pendengaran (Tunarungu)
a. Konsep
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Walaupun telah diberikan
pertolongan dengan alat bantu dengar, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Abjad bahasa isyarat
Ciri-ciri anak tunarungu adalah sebagai berikut:
1) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
2) Banyak perhatian terhadap getaran.
3) Terlambat dalam perkembangan bahasa
4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi atau suara,
5) Terlambat perkembangan bahasa,
6) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
7) Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara,
8) Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton,
b. Kebutuhan Belajar
Kebutuhan pembelajaran anak tunarungu, secara umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Tetapi mereka memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain:
1) Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya
2) Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru.
3) Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk mendengarkan.
4) Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah
5) dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak.
6) Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas.
3. Anak dengan Gangguan Intelektual (Tunagrahita)
a. Pengertian
Tunarahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mentalintelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikam khusus. Ketunagrahitaan mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Para tunagrahita mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya.
b. Ciri-ciri
Seseorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga indikator, yaitu:(1) Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah ratarata, (2) Ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif, dan (3) Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan biasa dikelompokkan ke dalam tingkatan sebagai berikut:
a) Tunagrahita ringan memiliki IQ 70-55
b) Tunagrahita sedang memiliki IQ 55-40
c) Tunagrahita berat memiliki IQ 40-25
d) Tunagrahita berat sekali memiliki IQ <25
Ciri-ciri fisik dan penampilan anak tungrahita:
1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar,
2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan
4) Kordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali)
c. Kebutuhan dan Hambatan Belajar
Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunagrahita:
1) Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajarnya.
2) Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebayanya,
Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam hal yaitu:
a) Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah
b) Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru
c) Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas.
4. Anak dengan Gangguan Gerak Anggota Tubuh (Tunadaksa)
a. Pengertian
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada anggota gerak [tulang, sendi, otot]. Mereka mengalami gangguan gerak karena kelayuan otot, atau gangguan fungsi syaraf otak (disebut Cerebral Palsy/CP]. Pengertian anak Tunadaksa bisa dilihat dari segi fungsi fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai seseorang yang fisik dan kesehatanya terganggu sehingga mengalami kelainan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Untuk meningkatkan fungsinya diperlukan program dan layanan pendidikan khusus. Peristilahan dalam kelumpuhan dibagi menurut daerah kelumpuhannya. Kelumpuhan sebelah badan disebut hemiparalise, kelumpuhan kedua anggota gerak bawah disebut paraparalise.
b. Ciri-ciri
Ciri-ciri anak tunadaksa dapat di lukiskan sebagai berikut:
1) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
2) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
3) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali, bergetar)
4) Terdapat cacat pada anggota gerak,
5) Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh.
c. Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunadaksa
Guru sebelum memberikan pelayanan dan pembelajaran bagi anak tundaksa harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Segi kesehatan anak
Apakah ia memililki kelainan khusus seperti kencing manis atau pernah dioperasi, kalau digerakkan sakit sendinya, dan masalah lain seperti harus meminum obat dan sebagainya
2) Kemampuan gerak dan mobilitas
Apakah anak ke sekolah menggunakan transportasi khusus, alat bantu gerak, dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan lingkungan yang harus dipersiapkan.
3) Kemampuan komunikasi
Apakah ada kelainan dalam berkomunikasi, dan alat komunikasi yang akan digunakan (lisan, tulisan, isyarat) dan sebagainya.
4) Kemampuan dalam merawat diri
Apakah anak dapat melakukan perawatan diri dalam aktivitas sehari-hari atau tidak. Misalnya; dalam berpakaian, makan, mandi dll.
5) Posisi
Bagaimana posisi anak tersebut pada waktu menggunakan alat bantu, duduk pada saat menerima pelajaran, waktu istirahat, di kamar kecil (toilet), saat makan dan sebagainya. Sehinga physical therapis sangat diperlukan.
5. Anak dengan gangguan Perilaku dan Emosi (Tunalaras)
a. Pengertian
Anak dengan gangguan perilaku (Tunalaras) adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus. Di dalam dunia PLB dikenal dengan nama anak tunalaras (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
1) Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
2) Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
3) Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
b. Ciri-ciri
Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri:
1) Cenderung membangkang
2) Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu 4)Sering bertindak melanggar norma sosial/norma
susila/hukum
5) Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah
c. Kebutuhan dan hambatan pembelajaran anak Tunalaras.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak tunalaras yang harus diperhatikan guru antara lain adalah:
1) Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.
2) Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak.
3) Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.
4) Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh dari lingkungan.
6. Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (gifted dan talented)
a. Pengertian
Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa (talented) adalah
anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai ”gifted & talented children”.
b. Ciri-ciri
Anak cerdas istimewa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang luas
2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi
3) Mempunyai inisiatif, kreatif dan original dalam menunjukkan gagasan
4) Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logis, sistimatis dan kritis
5) Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan
6) Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati,
7) Senang mencoba hal-hal baru,
8) Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi, Mempunyai daya imajinasi dan ingatan yang kuat,
9) Senang terhadap kegiaan intelektual dan pemecahan- pemecahan masalah,
10) Cepat menangkap hubungan sebab akibat,
11) Tidak cepat puas atas prestasi yang dicapainya
12) Lebih senang bergaul dengan anak yang lebih tua usianya.
13) Dapat menguasai dengan cepat materi pelajaran
Anak talented adalah anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang tertentu, misalnya hanya dalam bidang matematik, ilmu pengetahuan alam, bahasa, kepemimpinan, kemampuan psikomotor, penampilan seni.
c. Kebutuhan pembelajaran anak cerdas istimewa dan bakat istimewa
1) Program pengayaan horisontal, yaitu:
a) mengembangkan kemampuan eksplorasi.
b) mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum biasa
c) excekutif intensive dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam waktu tertentu
2) Program pengayaan vertikal, yaitu:
a) Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program yang sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu, atau tingkatan kelas.
b) Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan menjelajahi sendiri bidang yang diminati.
c) Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan para ahli yang ada di masyarakat.
7. Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
a. Pengertian
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah anak normal, tetapi tidak termasuk anak tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 80-85). Dalam beberapa hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan kemampuan untuk beradaptasi, tetapi lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita. Mereka membutuhkan waktu belajar lebih lama dibanding dengan sebayanya. Sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus.
b. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak lamban belajar:
1) Rata-rata prestasi belajarnya rendah (kurang dari 6),
2) Menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
3) Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
4) Pernah tidak naik kelas.
c. Anak lamban belajar membutuhkan pembelajaran khusus antara lain:
1) Waktu yang lebih lama dibanding anak pada umumnya
2) Ketelatenan dan kesabaran guru untuk tidak terlalu cepat dalam memberikan penjelasan
3) Memperbanyak latihan dari pada hapalan dan pemahaman
4) Menuntut digunakannya media pembelajaran yang variatif oleh guru
5) Diperlukan adanya pengajaran remedial.
8. Anak Berkesulitan Belajar Spesifik
a. Pengertian
Dalam pelayanan pendidikan di sekolah reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau kesulitan belajar salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik atau disebut specific learning disabilities Anak berkesulitan belajar adalah individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan, budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru.
Secara garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua. Pertama, yang berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial. Kedua yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan secara
tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher, 1986: Mulyono Abdurahman, 1996: Hidayat, 1996).
Kesulitan belajar dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari siswa yang berkecerdasan rata-rata, sampai yang berinteligensi tinggi. Kesulitan belajar dapat berdampak negatif tidak saja dalam penguasaan prestasi akademik, tetapi juga perkembangan kepribadiannya. Kesulitan belajar yang dialaminya bukanlah sesuatu yang menetap, sebab intervensi dini dan pendekatan profesional secara terpadu dapat menangani kesulitan belajar yang mereka hadapi.
Sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya, guru di sekolah reguler memiliki posisi strategis dalam turut membantu siswanya yang berkesulitan belajar. Guru merupakan ujung tombak dalam membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi para siswanya, termasuk permasalahan yang dihadapi anak kesulitan belajar. Untuk itu, sejalan dengan bervariasinya jenis dan tingkat kesulitan belajar yang dihadapi anak, langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mampu melakukan identifikasi atau penjaringan terhadap mereka melalui
pengenalan ciri-ciri atau karakteristik yang ditampilkannya. Kedua, mampu melakukan assesmen, merumuskan dan melaksanakan program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, permasalahan, dan kebutuhannya. Dan, kemampuan melakukan kerja sama secara terpadu dengan propesi lain yang terkait dengan kondisi anak.
Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan dalam mata pelajaran lain, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti.
b. Ciri-ciri anak berkesulitan belajar spesifik: Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
1) Kesulitan membedakan bentuk,
2) Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
3) Sering melakukan kesalahan dalam membaca
c. Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
1) Sangat lamban dalam menyalin tulisan
2) Sering salah menulis hurup b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
3) Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
4) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
5) Menulis huruf dengan posisi terbalik (p ditulis q atau b)
d. Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia)
1) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
2) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
3) Sering salah membilang secara berurutan
4) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
5) Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
e. Kebutuhan Pembelajaran Anak Berkesulitan belajar khusus Anak berkesulitan belajar khusus memiliki dimensi
kelainan dalam beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, diantaranya:
1) Materi pembelajaran hendaknya disesuikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi anak
2) Memerlukan uratan belajar yang sistimatis yaitu dari pemahaman yang konkrit ke yang abstrak
3) Menggunakan berbagai media pembelajaran yang sesuai dengan hambatannya.
4) Pembelajaran sesuai dengan urutan dan tingkatan pemahaman anak
5) Pembelajaran remedial.
9. Anak Autis
a. Pengertian
Autis dari kata auto, yang berarti sendiri, dengan demikian dapat diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya. Anak autis cenderung mengalami hambatan dalam interaksi, komunikasi, perilaku sosial.
b. Anak autis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Mengalami hambatan di dalam bahasa
2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial
3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan
4) Kurang memiliki perasaan dan empati
5) Sering berperilaku diluar kontrol dan meledak-ledak
6) Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku
7) Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri
8) Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
9) Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan
c. Kebutuhan Pembelajaran Anak Autis:
Anak autis membutuhkan pembelajaran khusus antara lain sebagai berikut:
1) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok
2) Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip)
3) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan
4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.
BAB IV KONSEP IDENTIFIKASI
A. Aspek yang Perlu Diidentifikasi
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Dalam buku ini istilah identifikasi ABK dimaksudkan sebagai usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Setelah dilakukan identifikasi dapat diketahui kondisi seseorang, apakah pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kelainan/ penyimpangan atau tidak. Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak
tergolong: (1) Tunanetra, (2), Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa (5) Anak Tunalaras, (6) Anak lamban belajar, (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, (8) Anak Autis (9) Anak Berbakat, (10). Anak ADHD (gangguan perhatian dan hiperaktif). Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tegolong ABK atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orangorang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuh, guru dan pihak lain yang terkait dengannya. Sedangkan langkah selanjutnya, dapat dilakukan screening khusus secara lebih mendalam yang sering disebut assesmen yang apabila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
B. Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan (pisik, intelektual, sosial, emosional). Disebut mengalami kelainan/penyimpangan tentunya jika dibandingkan dengan anak lain yang sebaya dengannya. Hasil dari identifkasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan progam pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu:
1) Penjaringan (screening),
2) Pengalihtanganan (referal),
3) Klasifikasi,
4) Perencanaan pembelajaran, dan
5) Pemantauan kemajuan belajar.
Adapun penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai berikut:
1. Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus. Contoh alat identifikasi terlampir. Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan
anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.
Dengan alat identifikasi ini guru, orangtua, maupun tenaga profesional terkait, dapat melakukan kegiatan penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.
2. Pengalihtanganan (referal)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Pertama, ada Anak yang perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak yang perlu dikonsultasikan keahlian lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli
PLB), dan therapis, kemudian ditangani oleh guru. Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referal). Bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pendidikan Khusus (Guru PLB) atau konselor.
3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ketenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga profesional ditemukan masalah yang perlu penangan lebih lanjut (misalnya pengobatan, terapi, latihanlatihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi terapi sendiri, melainkan memfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan.
Guru hanya memberi pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan kekelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
C. Sasaran Indentifikasi
Secara umum sasaran indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah
dasar. Sedangakan secara khusus (operasional), sasaran indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah:
a. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah reguler
Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi sederhana (contoh terlampir), melakukan penjaringan terhadap seluruh peserta didik yang ada di sekolah tersebut untuk menemukan anak-anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang terjaring melalui proses identifikasi, perlu dilakukan langkah-langkah untuk pemberian bantuan pendidikan khusus sesuai kebutuhannya.
b. Anak yang baru masuk di Sekolah reguler
Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi sederhana (contoh terlampir) melakukan penjaringan terhadap seluruh murid baru (peserta didik baru) untuk menemukan apakah di antara mereka terdapat ABK yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang terjaring melalui proses identifikasi ini, perlu diberikan tindakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
c. Anak yang belum/tidak bersekolah
Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi sederhana, dan/atau bekerjasama dengan Kepala Desa/Kelurahan, atau Ketua RW dan RT setempat, melakukan pendataan anak berkebutuhan khusus usia sekolah di lingkungan
setempat yang belum bersekolah. Anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang belum bersekolah dan terjaring melalui pendataan ini, dilakukan langkah-langkah untuk pemberian tindakan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
D. Petugas Indetifikasi
Untuk mengindentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan Khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh:
1. Guru kelas;
2. Guru Mata pelajaran/Guru BK
3. Guru Pendidikan Khusus
4. Orang tua anak; dan atau
5. Tenaga profesional terkait.
E. Pelaksanaan Indetifikasi
Ada beberapa langkah identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out, maka sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan di masyarakat kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat dan posyandu. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya. Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa di sekolah, indentifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menghimpun Data Anak
Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasarkan gejala yang nampak pada siswa) dengan menggunakan Alat Indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AIABK). Lihat Format 3 terlampir.
2. Menganalisis Data dan Mengklasifikasikan Anak
Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan anak- anak yang tergolong Anak Berkebutuhan Khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar namanama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang disediakan seperti terlampir (Lihat Format 4). Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut.
3. Menginformasikan Hasil Analisis dan Klasifikasi
Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah, orang tua siswa, dewan komite sekolah untuk mendapatkan saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
4. Menyelenggarakan Pembahasan Kasus (case conference)
Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data Anak Berkebutuhan Khusus terhimpun dari
seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4) tenaga profesional terkait, jika tersedia dan memungkinkan; (5) Guru Pembimbing/Pendidikan Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil indentifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pencegahan serta penanggulangannya.
5. Menyusun Laporan Hasil Pembahasan Kasus
Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format hasil pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti pada lampiran (Lihat Format 5).
F. Asesmen
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan indentifikasi anak berkelaian untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
Asesmen merupakan kegiatan penyaringan terhadap anak- anak yang telah teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus. Kegiatan asesmen dapat dilakukan oleh guru, orang tua (untuk beberapa hal), dan tenaga profesional lain yang tersedia sesuai dengan kompetensinya.
Kegiatan asesmen meliputi beberapa bidang, antara lain:
a. Asesmen akademik:
Asesmen akademik sekurang-kurangnya meliputi 3 aspek yaitu kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Setelah guru atau praktisi melakukan asesmen dalam karakterisik umum maka dapat dilanjutkan dengan melakukan tes akademik. Tes akademik yang dimaksud adalah tes akademik dasar, yaitu: membaca, menulis dan berhitung.
1) Asesmen keterampilan Berhitung
Asesmen keterampilan berhitung adalah keterampilan dasar dalam operasi hitung. Berikut adalah kisi-kisi instrument keterampilan berhitung.
Tabel Instrumen Asesmen Berhitung Permulaan
Komponen Ruanglingkup Butir Instrumen soal
Keterampilan dasar Berhitung a. Menyelesaikan operasi hitung sederhana penjumlahan dan pengurangan. 1) Menghitung penjumlahan dari satuan sampai puluhan.
2) Menghitung pengurangan dari satuan sampai puluhan.
(bisa disesuaikan dengan tingkatan kelas)
b. Mengenal operasi hitung sederhana 1) Menunjukkan symbol penjumlahan dan pengurangan.
2) Mengucapkan
Komponen Ruanglingkup Butir Instrumen soal
symbol penjumlahan dan pengurangan.
3) Menuliskan symbol penjumlahan dan pengurangan. (dst sesuai
tingkatan kelas)
c. Mengenal angka 1
– 10 1) Menunjukkan angka 1-10
2) Mengucapkan angka 1 -10
3) Menuliskan angka 1-10 (dst sesuai tingkatan
kelas)
2) Asesmen kerampilan membaca permulaan
Asesmen membaca permulaan adalah keterampilan yang dimiliki oleh anak dalam membaca huruf, suku kata, kata dan kalimat sederhana. Berikut adalah kisi-kisi instrument membaca permulaan:
Tabel Instrumen asesmen membaca permulaan
Komponen Ruanglingkup Butir instrument
Membaca permulaan 1. Melafalkan huruf a. Melafalkan huruf vocal dan
konsonan.
b. Membedakan
Komponen Ruanglingkup Butir instrument
huruf yang mirip
c. Membedakan huruf kecil dan
huruf capital.
2. Membaca suku kata a. Membaca suku kata yang terdiri dari konsonan- vokal (KV)
b. Membaca suku kata vocal- konsonan-vokal (VKV)
c. Membaca suku kata konsonan- vokal-konsonan
(KVK)
3. Membaca kata a. Membaca kata terdiri dari dua suku kata
b. Membaca kata terdiri dari tiga suku kata
c. Membaca kata dengan akhiran
/nya/ dan /ng/
4. Membaca kalimat sederhana a. Membaca kalimat yang terdiri dari tiga kata
b. Membaca kalimat terdiri dari empat kata
c. Membaca kalimat dengan kata
/nya/ dan /ng/
3) Asesmen menulis
Asesmen menulis permulaan adalah pengumpulan data tentang keterampilan menulis permulaan. Untuk lebih jelasnya kisi-kisi instrument menulis permulaan akan disajikan pada table berikut ini:
Tabel instrument menulis permulaan
Aspek kemampuan menulis Butir instrument
1. Memegang alat tulis a. Memegang pinsil
b. Menulis di udara
c. Menulis di pasir
d. Menulis di buku
e. Menulis pada kertas yang disediakan guru/asesor
f. Menulis pada papan pasir
2. Menggerakkan alat tulis a. Menggerakkan pinsil ke atas
b. Menggerakkan pinsil ke bawah
c. Menggerakkan pinsil ke kiri
d. Menggerakkan pinsil ke kanan
e. Menggerakkan pinsil melingkar
f. Menggerakkan pinsil melengkung
g. Menggerakkan pinsil zigzag
h. Menggerakkan pinsil bergelombang naik turun
3. Menyalin huruf, kata, kalimat dengan huruf balok a. Menyalin huruf vocal
b. Menulis huruf vocal yang sama berulang-ulang
c. Menulis huruf balok
d. Menyalin huruf konsonan
e. Menulis huruf konsonan yang sama berulang-ulang
f. Menulis huruf konsonan balok
g. Menyalin suku kata (KV/VK)
h. Menyalin kata
i. Menulis kata sebanyak- banyaknya
j. Menyalin kalimat
4. Menulis namanya dengan huruf balok a. Menulis huruf pertama dari namanya
b. Menulis huruf pertama (dari namanya) yang sama secara berulang-ulang
c. Menulis nama pendek
d. Menulis nama panjang
e. Menulis namanya dengan huruf kecil
f. Menulis namanya dengan
huruf capital
5. Menyalin huruf balok dari jarak jauh a. Menulis huruf vocal balok dari jarak jauh
b. Menulis huruf vocal balok yang sama secara berulang- ulang
c. Menulis huruf konsonan balok secara berulang- ulang
d. Menulis huruf konsonan
balok secara berulang- ulang dari jarak jauh.
6. Menyalin huruf, kata, a. Menulis huruf vocal latin
kalimat dengan tulisan bersambung b. Menulis huruf konsonan latin
c. Menyalin suku kata (kv/vk) dengan tulisan latin bersambung
d. Menyalin kalimat dengan
tulisan latin bersambung.
7. Menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh a. Menyalin suku kata dengan tulisan latin bersambung dari jarak jauh
b. Menyalin kata dengan tulisan bersambung dari jarak jauh.
c. Menyalin kalimat dengan tulisan latin bersambung
dari jarak jauh
4) Penyekoran
Cara penghitungan skor untuk hasil asesmen adalah sebagai berikut:
a) Penilaian dilakukan dengan cara memberi skor dengan kriteria: Skor 1 untuk jawaban yang benar, dan skor 0 untuk jawaban yang salah.
b) Setelah diperoleh data nilai dan skor setiap siswa, data kemudian dikonfersikan ke dalam persentase dengan rumus:
Jumlah jawaban benar x 100%
Jumlah skor ideal
c) Selanjutnya siswa dikelompokkan berdasarkan tingkat pemahamannya dengan kriteria:
• Independent level (level mandiri) jika siswa memperoleh persentase 90-100%
• Instruction level (level bimbingan) jika siswa memperoleh persentase 51-89%
• Frustation level (level belum mampu) jika siswa memperoleh persentase 50% kebawah.
d) Siswa yang termasuk dalam Frustation level (level belum mampu) selanjutnya guru merancang modifikasi kurikulum.
b. Asesmen sensoris dan motorik:
Asesmen sensoris untuk mengetahui gangguan penglihatan, pendengaran. Sedangkan asesmen motorik untuk mengetahui gangguan motorik kasar, motorik halus, keseimbangan dan lokomotor yang dapat mengganggu pembelajaran bidang lain. Dalam menyusun instrument asesmen sensorisdan motoric acuannya adalah teori karakteristik siswa berkebutuhan khusus
c. Asesmen psikologis, emosi dan sosial
Asesmen psikologis dapat digunakan untuk mengetahui potensi intelektual dan kepribadian anak. Juga dapat diperluas dengan tingkat emosi dan sosial anak. Ada bagian-bagian tertentu yang dalam pelaksanaan asesmen membutuhkan tenaga professional sesuai dengan kewenangannya. Guru dapat membantu dan memfasilitasi terselenggaranya asesmen tersebut sesuai dengan kemampuan orangtua dan sekolah.
BAB V
MANAJEMEN SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Pengertian
Manajemen pendidikan inklusif merupakan proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan inklusif yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan dan evaluasi dengan menggunakan dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia baik personel, material, maupun spritual untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Perencanaan pendidikan inklusif merupakan kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan manusia, keuangan, metode, peralatan serta seluruh sumber daya yang ada untuk efektifitas pencapaian tujuan pendidikan inklusif. Pengorganisasian pendidikan inklusif menyangkut pembagian tugas untuk diselesaikan setiap anggota dalam upaya pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Pengelolaan pendidikan inklusif meliputi kepemimpinan, pelaksanaan supervisi, serta pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat sehingga tujuan sekolah inklusif dapat tercapai. Evaluasi pendidikan inklusif dilakukan untuk menilai apakah segala kegiatan yang telah dilakukan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pada tatapan mikro, manajemen pendidikan inklusif diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensi secara optimal. Konsep dasar manajemen pendidikan inklusif secara komprehensif dikemukakan oleh Stuubs (2002). Konsep tersebut digambarkan sebagai berikut.
INPUT PROCESS OUTCOMES
School Achievements
School Climates
Student Characteristics Attainment
Teaching/Learning
Family/ Community Characteristics Standards
CONTEXTUAL FACTORS
B. Manajemen Pelaksanaan Pendidikan Inklusif
Dari uraian di atas dapat dijabarkan sebagai berikut tentang standar penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu:
1. Tenaga Pendidik
a) Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif wajib memiliki kompetensi pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya maupun berkebutuhan khusus.
b) Setiap satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, wajib memiliki guru pembimbing khusus.
c) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang belum memiliki guru pembimbing khusus sebagaimana dimaksud pada ayat dua (2), dapat bekerja sama dengan guru pembimbing khusus dari sekolah atau lembaga lain.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat menyerahkan tugas dan tanggungjawab kepada anak itu sendiri dan mendorong terjadinya pembelajaran yang aktif untuk semua anak. Spesifikasi manajemen tenaga kependidikan pada pendidikan inklusif adalah dalam pengaturan pembagian tugas dan pola kerja antar tenaga kependidikan khususnya antara guru reguler dan pembimbing khusus dalam memberikan layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus.
Menurut buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).
2. Kesiswaan
Penerimaan siswa baru pada sekolah inklusif hendaknya memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah inklusif terdekat. Seperti yang dikemukakan oleh Sapon-Shevin O’neil (1995) bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak dapat bersekolah di sekolah terdekat dari tempat tinggalnya. Untuk tahap awal, agar memudahkan pengelolaan kelas, seyogyanya setiap kelas inklusif dibatasi tidak lebih dari dua anak
berkebutuhan khusus atau paling banyak 10% dari jumlah kuota siswa yang disediakan sekolah.
Pada tahap awal anak berkebutuhan khusus masuk ke sekolah, maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi dan asesmen yang melibatkan tenaga ahli, guru dan orangtua. Identifikais dan asesmen dilakukan pihak sekolah bukan untuk menentukan apakah siswa berjebutuhan khusus diterima atau ditolak, tetapi tujuan identifikasi dan asesmen dilakukan untuk merencanakan pembelajaran.
3. Sarana Prasarana
Sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolah yang bersangkutan dan ditambah aksesibilitas serta media pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Di samping menggunakan sarana prasarana seperti yang digunakan sekolah reguler, anak membutuhkan layanaan pendidikan khusus, perlu pula menggunakan sarana prasarana serta peralatan khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak. Manajemen sarana dan prasarana bertugas: merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, meng- koordiasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan pembelajaran.
Menurut buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang
dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu. Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
4. Pendanaan
Komponen keuangan sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar- mengajar bersama komponen-komponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya.
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1) Kegiatan identifikasi input siswa, (2) Modifikasi kurikulum, (3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, (4) Pengadaan sarana-prasarana, (5) Pemberdayaan peran serta masyarakat, dan
(6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada tahap perintisan sekolah inklusi, diperlukan dana bantuan sebagai stimulasi, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun untuk penyelenggaraan program selanjutnya, diusahakan agar sekolah bersama-sama orang tua siswa dan masyarakat (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah), serta pemerintah daerah dapat menanggulanginya.
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan menganut asas pemisahan tugas antara fungsi : (1) Otorisator; (2) Ordonator; dan (3) Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.
Kepala Sekolah, sebagai manajer, berfungsi sebagai Otorisator dan dilimpahi fungsi Ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak dibenarkan melaksanakan fungsi Bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan ke dalam. Sedangkan Bendaharawan, di samping mempunyai fungsi- fungsi Bendaharawan, juga dilimpahi fungsi Ordonator untuk menguji hak atas pembayaran.
5. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan Masyarakat)
Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah. Lembaga pendidikan lain sepert imasyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salahsatu bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar
mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.
Sekolah sebagai suatu system social merupakan bagian integral dari system social yang lebih besar, yaitu masyarakat. Maju mundurnya sumber daya manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah, namun sangat bergantung kepada tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, akan semakin maju pula sumber daya manusia pada daerah tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, akan semakin mundur pula sumber daya manusia pada daerah tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan pendidikan di daerah. Masyarakat hendaknya ditumbuhkan “rasa ikut memiliki” sekolah di daerah sekitarnya. Maju-mundurnya sekolah di lingkungannya juga merupakan tanggungjawab bersama masyarakat setempat. Sehingga bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru yang memikirkan maju mundurnya sekolah, tetapi masyarakat setempat terlibat pula memikirkannya.
Untuk menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal,
antara lain dengan cara memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.
6. Kurikulum
Anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus harus memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum reguler, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman adalah memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya. Kurikulum digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang relefan, dengan memperhatikan pluralitas kebutuhan indifidual setiap siswa.
Bagi anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus, disediakan dukungan yang berkesinambungan. Mulai dari bantuan minimal di kelas reguler, hingga program pelajaran di sekolah. Untuk layanan ketrampilan khusus, perlu staf pendukung eksternal, antara lain: speach therapist, dokter spesialis, okupasional therapist, fisiotherapist, dan profesi lain yang terkait.
Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler
perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
Kurikulum yang digunakan menurut Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif yaitu satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, dan minatnya.
Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu proses belajar mengajar, sementara itu mutu proses belajar mengajar sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
a. Bahan Ajar
Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum, Sumber Daya Manusia dapat diarahkan dan kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah reguler (Kurikulum Nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus dengan
mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
b. Strategi Pelaksanaan Pembelajaran
Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari masing-masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita menggunakan strategi pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman (differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda- beda. Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/ hadiah. Tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama.
Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak. Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan pada keunggulan
visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya).
Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/ hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan perkembangan belajar dari masing- masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler. Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu
dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing- masing.
Siswa yang belajarnya cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan temannya yang autis. Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya. Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui penghargaan/penguatan; di dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru.Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan
walaupun tidak sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak autis dan anak yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan semua anakuntuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joyful of learning dan fun of learning).
1) Modifikasi Alokasi Waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
2) Modifikasi Isi/Materi
Modifikasi isi/materi disesuaikan dengan kemampuan siswa. Jika intelegensi anak di atas normal, materi dapat diperluas atau ditambah materi baru. Jika intelegensi anak relatif normal, materi dapat tetap dipertahankan. Jika intelegensi anak di bawah normal, materi dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan bagian tertentu. 3) Modifikasi Proses Belajar Mengajar
a) Menggunakan pendekatan Student Centered yang menekankan perbedaan individual setiap anak.
b) Lebih terbuka (divergent).
c) Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen.
d) Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
e) Disesuaikan dengan tipe belajar siswa.
4) Modifikasi Sarana dan Prasarana
a) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di atas normal maka perlu disediakan laboratorium, alat praktikum dan sumber belajar lainnya yang memadai.
b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi relatif normal, dapat menggunakan sarana-prasana seperti halnya anak normal.
c) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah normal, maka perlu tambahan sarana dan prasarana khusus yang lebih banyak terutama untuk memvisualkan hal-hal yang abstrak agar menjadi lebih konkrit.
5) Modifikasi Lingkungan Belajar
a) Diupayakan lingkungan yang kondusif untuk belajar
b) Ada sudut baca (perpustakaan kelas)
6) Modifikasi Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas hendaknya fleksibel, yang memungkinkan mudah dilaksanakannya pembelajaran kompetitif (individual), pembelajaran kooperatif (kelompok/ berpasangan) dan pembelajaran klasikal.
Sedangkan pengelolaan kelas terdiri dari dua kata yaitu pengelolaan dan kelas. Pengelolaan merupakan terjamahan dari kata “management”. Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengelolaan adalah penyelenggaraan atau pengurusan agar sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien. Winarno Hamiseno mengemukakan pengelolaan adalah substantifa dari mengelola. Sedangkan mengelola berarti tindakan yang dimulai dari penyusunan data, merencana, mengorganisasikan, melaksanakan sampai dengan pengawasan dan penilaian. Sehingga pengelolaan menghasilkan sesuatu, dan sesuatu itu dapat merupakan sumber penyempurnaan dan peningkatan pengelolaan selanjutnya.
Dalam kelas inklusif tentunya terdapat keberagaman karakteristik siswa yang berkebutuhan khusus. Keberagaman tersebut dapat guru jadikan sebagai alat untuk siswa saling bekerjasama. Maka dari itu diperlukan strategi pengelolaam kelas. Bagi siswa hambatan intelektual tentunya sangat sulit untuk belajar secara mandiri. Hal tersebut dikarenakan hambatan yang dimiliki.
Sebelum menerapkan strategi pengelolaan kelas guru harus memperhatikan hasil asesmen yang telah dilakukan. Tujuannya adalah agar guru dapat melakukan pemetaan siswa (level mandiri, bimbingan dan belum mampu). Artinya startegi pengelolaan kelas dapat berjalan
dengan baik jika diawali dengan asesmen. Berikut adalah contoh gambar pengelolaan kelas di kelas inklusif.
Gambar setting kelas inklusif
Keterangan: O = siswa mandiri
= siswa hambatan intelektual
= siswa hambatan yang lain
Gambar di atas menunjukan siswa belajar secara kelompok atau saling berkolaborasi. Hal ini untuk mencegah ketimpangan pembelajaran di dalam kelas. Tujuan lain adalah diharapkan timbulnya sikap bekerjasama dan saling memahami antar siswa satu sama lainnya.
c. Penilaian Hasil Belajar Siswa
Tiap kegiatan belajar harus mempunyai suatu tujuan yang perlu dinilai dengan beberapa cara. Penilaian harus menjabarkan hasil belajar; yaitu memberikan gambaran seberapa jauh siswa berhasil dalam mengembangkan serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan perilaku selama pembelajaran dengan topik atau kurikulum yang fleksibel. Hasil akhir untuk siswa harus berhubungan dengan apa yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan apa yang dapat mereka lakukan sekarang. Hal ini tidak ada hubungannya dengan ujian standar yang dilakukan tiap akhir tahun ajaran. Siswa dalam kelompok usia atau kelas yang sama mungkin mempunyai setidaknya tiga tahun perbedaan dalam hal kemampuan umum dibandingkan teman-teman sebayanya dan dalam matematika bisa sampai tujuh tahun perbedaannya. Ini berarti bahwa membandingkan sesama siswa dengan menggunakan tes yang distandarisasi adalah tidak adil untuk seluruh anak (termasuk mereka yang kemampuan akademisnya jauh di bawah rata-rata kelasnya dan mereka yang kecerdasannya sangat jauh di atas teman-teman sebayanya). Seorang guru, orangtua atau konselor harus melihat UASBN ini sebagai penilaian penting sejauh pertimbangan mereka pada peserta didiknya. Salah satu penyebab terbesar rendahnya penghargaan diri pada siswa adalah penggunaan perbandingan, khususnya di sekolah.
Ujian akhir ini harus menjadi salah satu komponen penilaian komprehensif dari kemajuan siswa. Ujian ini ditujukan pada peningkatan kesadaran guru, peserta didik dan orangtua
atau pembimbing tentang kemampuan siswa. Ini juga harus digunakan untuk mengembangkan strategi mencapai kemajuan selanjutnya. Kita tidak boleh menekankan pada kelemahan atau kekurangan siswa. Tapi, kita harus menayakan apa yang telah dicapai siswa dan menentukan bagaimana kita dapat membantu mereka untuk belajar lebih banyak lagi. Dengan disertai penilaian autentik dan berkelanjutan, maka guru dapat mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan dikuasai anak didik serta beberapa penyebab mengapa siswa tidak termotivasi belajar dan menyelesaikan soal ujian.
d. Penilaian Berkelanjutan
Untuk menilai hasil belajar ABK tentunya tidak hanya didasarkan pada hasil UASBN, tetapi juga mempertimbangkan dari hasil penilaian berkelanjutan. Penilaian berkelanjutan dilakukan untuk mengamati secara terus menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan oleh siswa. Penilaian ini dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir tahun melalui: obserasi; portofolio; bentuk ceklis (keterampilan, pengetahuan, dan perilaku); tes, kuis; dan penilaian diri serta jurnal reflektif. Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru dapat mengadaptasi perencanaan dan pengajarannya sesuai fase perkembangan belajar siswa, sehingga semua siswa akan mendapatkan peluang untuk belajar dan sukses.
ABK di Sekolah Dasar (SD) Dengan model UASBN tentunya setiap siswa diwajibkan menyelesaikan semua soal untuk menguji kemampuan siswa dalam menguasai materi
pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA). Pada kenyataannya ketika UASBN ini dilaksanakan, siswa berkebutuhan khusus di Sekolah yang paradigmanya inklusi mengalami banyak hambatan dalam menyelesaikan soal ujiannya, karena mereka mendapatkan soal yang memiliki tingkat kesulitan dan standar kelulusan yang sama dengan anak-anak lainnya, akibatnya materi yang telah dikuasai oleh ABK tidak cukup memadai untuk menjawab soal-soal yang diujikan. Di samping itu juga cukup dilematis bagi ABK di sekolah reguler, karena mereka tidak mungkin ikut UASBN SDLB yang secara administratif di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi, sementara USBN SD di bawah otonomi masing-masing Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sehingga ABK yang belajar di SD dalam setting Pendidikan Inklusif mendapatkan lembaran soal yang bobotnya sama dengan anak-anak lainnya. Padahal idealnya bahan ujiannya yang menyesuaikan pada kondisi, kompotensi, dan program belajar ABK. Adapun dampak negatif bagi ABK yang mendapatkan soal yang tidak relevan dengan kompetensinya adalah sebagai berikut: (a) Motivasi dan semangat mereka untuk mengikuti ujian menjadi menurun karena mendapat soal ujian yang belum dipahami. (b) Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan soal-soal yang baru dikenalinya.
(c) Konsentrasi, atensi, dan rasa percaya diri mereka menjadi berkurang, sehingga potensi dan kemampuan belajar yang telah dikuasainya tidak dapat diwujudkan secara optimal. (d) Peluang ABK untuk mencapai standar kelulusan relatif kecil.
6. Manajemen Layanan Khusus
Oleh karena para siswa sekolah inklusi terdiri atas anak- anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus, agar anak- anak luar biasa tidak sampai terabaikan, dapat dilakukan manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan, dan lingkungan.Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini.
7. Struktur Organisasi Sekolah
Agar semua komponen di atas dapat dilaksanakan sebaik mungkin, struktur organisasi Sekolah Inklusi dapat dibuat seperti alternatif di bawah ini.
Alternatif 1: Terutama untuk Sekolah besar, yang memiliki lebih dari 12 rombongan belajar.
Alternatif 2: Terutama untuk Sekolah cukup besar, yang memiliki lebih dari 6 rombongan belajar.
Catatan:
Kes-Ling : Kesiswaan dan Lingkungan
Akademik : Kurikulum, Sarana-Prasarana, dan Kegiatan belajr Mengajar
Alternatif 3: Terutama untuk Sekolah kecil, yang memiliki tidak lebih dari 6 rombongan belajar.
Pembagian Tugas Pimpinan Sekolah
a) Kepala Sekolah
Kepala Sekolah berfungsi dan bertugas sebagai manajer, administrator, educator, dan supervisor.Kepala Sekolah adalah penanggung jawab pelaksanaan pendidikan sekolah, termasuk di dalamnya adalah penanggung jawab pelaksanaan administrasi sekolah. Kepala Sekolah mempunyai tugas merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, dan mengevaluasi seluruh proses pendidikan di sekolah, meliputi aspek edukatif dan administratif, yaitu pengaturan:
1) Administrasi kesiswaan
2) Administrasi kurikulum
3) Administrasi ketenagaan
4) Administrasi sarana-prasarana
5) Administrasi keuangan
6) Administrasi hubungan dengan masyarakat
7) Administrasi kegiatan belajar-mengajar.
Agar tugas dan fungsi Kepala Sekolah berjalan baik dan dapat mencapai sasaran perlu adanya jadwal kerja Kepala Sekolah yang mencakup:
1) Kegiatan harian
2) Kegiatan mingguan
3) Kegiatan bulanan
4) Kegiatan semesteran
5) Kegiatan akhir tahun pelajaran, dan
6) Kegiatan awal tahun pelajaran.
b) Tata Usaha
Kepala Tata Usaha adalah penanggung jawab pelayanan pendidikan di sekolah. Ruang lingkup tugasnya adalah membantu Kepala Sekolah dalam menangani pengaturan:
1) Administrasi kesiswaan
2) Administrasi kurikulum
3) Administrasi ketenagaan
4) Administrasi sarana-prasarana
5) Administrasi keuangan
6) Administrasi hubungan dengan masyarakat
7) Administrasi kegiatan belajar-mengajar.
c) Wakil Kepala Sekolah
Tugas Wakil Kepala Sekolah adalah membantu tugas Kepala Sekolah dan dalam hal tertentu mewakili Kepala Sekolah baik ke dalam maupun keluar, bila Kepala Sekolah berhalangan. Sesuai dengan banyaknya cakupan tugas, 7 (tujuh) urusan yang perlu penanganan terarah di sekolah, yaitu:
1) Urusan Kesiswaan, Ruang lingkupnya mencakup: a) Pengarahan dan pengendalian siswa dalam rangka menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah; b) Pembinaan dan pelaksanaan koordinasi keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, kekeluargaan, dan kerindangan (6K); c) Pengabdian masyarakat.
2) Urusan Kurikulum, Ruang lingkupnya meliputi pengurusan kegiatan belajar-mengajar, baik kurikuler, ekstra kurikuler, maupun kegiatan pengembangan kemampuan guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG)
atau pendidikan dan pelatihan (diklat), serta pelaksanaan penilaian kegiatan sekolah.
3) Urusan Ketenagaan, Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan ketenagaan.
4) Urusan sarana-prasarana, Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan sarana-prasarana sekolah.
5) Urusan Keuangan, Ruang lingkupnya mencakup merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan keuangan/pendanaan sekolah.
6) Urusan Hubungan dengan Masyarakat (Humas), ruang lingkupnya mencakup:
a) Memberikan penjelasan tentang kebijaksanaan sekolah, situasi, dan perkembangan sekolah sesuai dengan pendelegasian Kepala Sekolah;
b) Menampung saran-saran dan pendapat masyarakat untuk memajukan sekolah;
c) Membantu mewujudkan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan usaha dan kegiatan pengabdian masyarakat.
7) Urusan Kegiatan Belajar Mengajar, Ruang lingkupnya mencakup mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation), hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan oleh guru.
8. Aplikasi Manajemen Pendidikan Inklusif Dalam Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Manajemen pendidikan inklusif dalam pendidikan luar biasa merupakan suatu proses keseluruhan kegiatan secara bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, dan pengawasan dengan mendayagunakan sumber-sumber yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya berupa material demi tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam merencanakan pendidikan inklusif, sebgai berikut:
a. Identifikasi Kebutuhan Anak. Seluruh anggota tim perlu memahami secara tepat apa yang menjadi kebutuhan anak. Orang tua diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan jujur mengenai keberadaan anak mereka. Informasi yang tepat akan sangat
membantu terhadap ketepatan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
b. Identifikasi Sumber-Sumber Pendukung. Setelah kebutuhan anak telah teridentifikasi kemudian tim membuat daftar semua hal yang bisa mendukung berhasilnya pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak.
c. Memilih Kelas untuk Anak. Setelah diidentifikasi secara tepat kebutuhan anak dan sarana pendukung yang ada,tim kemudian dapat menentukan kelas yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus.
d. Menyiapkan Program Pembelajaran. Materi yang diberkan nantinya harus sesuai dengan kebutuhan anak dan sarana yang ada.
e. Membuat Jadwal Kegiatan. Jadwal kegiatan sehari-hari meliputi: tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, tempat pembelajaran, dan sumber-sumber yang dibutuhkan.
f. Pelatihan Bagi Guru. Setiap guru perlu diberikan pelatihan menyangkut cara menangani anak berkebutuhan khusus dan cara menciptakan kelas yang kondusif.
Jadi melalui manajemen pendidikan inklusif, anak akan merasa percaya diri, bangga terhadap diri sendiri serta mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat umum. Bagi guru, dapat meningkatkan kemampuan mengajar dengan berbagai model sesuai kebutuhan masing-masing anak. Bagi orang tua, merasa bangga karena anaknya memperoleh pendidikan tanpa
diskriminasi. Dan bagi masyarakat, merasa dihargai karena dilibatkan dalam proses Pendidikan Inklusif.
C. Monitoring dan Evaluasi
Dalam buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek, manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu tahun.
Pembinaan, pengawasan, dan evaluasi menurut Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Manajemen Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif yaitu:
a) Pembinaan, pengawasan, evaluasi penyelenggaraan pendidikan.
b) Inklusif dilaksanakan oleh Dinas.
c) Pengawasan sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif.
d) Dilakukan oleh Pengawas Satuan Pendidikan, Pengawas Pendidikan.
e) Luar Biasa (PLB), dan Pengawas Pendidikan Agama.
f) Laporan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berikut ini akan dijelaskan tentang mengukur efektivitas pelaksanaan program pendidikan inklusif.
1. Pengertian Efektivitas
Aan Komariah dan Cepi Triana menyatakan bahwa efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran/tujuan (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Pendapat lain dari Mulyasa dengan mangatakan efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota.
Lipham dan Hoeh meninjau efektivitas suatu kegiatan dari faktor pencapaian tujuan, yang memandang bahwa efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan bersama bukan pencapaian tujuan pribadi. Suatu organisasi dan lembaga, termasuk sekolah dikatakan efektif jika tujuan bersama dapat dicapai, dan belum bisa dikatakan efektif meskipun tujuan individu yang ada di dalamnya dapat terpenuhi. Sedangkan menurut William N. Dunn efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Sedangkan menurut Mulyasa menyatakan bahwa efektivitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang telah direncanakan.
2. Program
Banyak ahli memberikan pengertian tentang konsep program. Suharsimi Arikunto menyatakan bahwa program adalah “rencana”. Dengan demikian maka program itu bertujuan dan keberhasilannya dapat diukur. Pencapaian tujuan tersebut diukur dengan cara dan alat tertentu. Sudjana berpendapat bahwa program adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, dan/organisasi (lembaga) yang memuat komponen-komponen program.
Komponen-komponen itu meliputi tujuan, sasaran, isi dan jenis kegiatan, proses kegiatan, waktu, fasilitas, alat, biaya, organisasi penyelenggaraan, dan lain sebagainya. S. Eko Putro Widoyoko menyatakan bahwa program diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan seksama dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang. Dalam pengertian tersebut ada empat pokok unsur dapat dikategorikan sebagai program yaitu:
a) Kegiatan yang direncanakan atau dirancang dengan seksama, bukan asal rancangan, tetapi rancangan kegiatan yang disusun dengan pemikiran yang cerdas dan cermat.
b) Kegiatan tersebut berlangsung secara berkelanjutan dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain. Dengan kata lain ada keterkaitan antar-kegiatan sebelum dengan kegiatan sesudahnya.
c) Kegiatan tersebut berlangsung dalam sebuah organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non formal kegiatan individual.
d) Kegiatan tersebut dalam implementasi atau pelaksanaannya melibatkan banyak orang, bukan kegiatan yang dilakukan perorangan tanpa ada kaitannya dengan kegiatan orang lain.
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safaruddin Abdul Jabar menyatakan bahwa program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Pelaksanaan program selalu terjadi di dalam sebuah organisasi yang artinya harus melibatkan sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu: 1) realisasi atau implementasi suatu kebijakan; 2) terjadi dalam waktu relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan; dan 3) terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Dari definisi efektivitas pelaksanaan program di atas dapat disimpulkan bahwa sejauh mana tingkat kemampuan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan program tersebut sesuai dengan fungsinya agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara tepat dan optimal. Dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan, yaitu dalam pemilihan tujuan yang hendak dicapai, sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
3. Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas suatu program kegiatan bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan jasa. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian yaitu:
a) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.
b) Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai sasaran- sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.
c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah itetapkan artinya kebijakan harus
mampu menjembatani tujuantujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.
d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.
f) Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemampuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.
g) Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.
h) Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.
Rumusan di atas tentunya harus menjadi satu kesatuan yang utuh dalam sebuah program kegiatan. Karena tidak akan mungkin sebuah program kegiatan dikatakan efektif apabila salah satu unsur di atas tidak terpenuhi. Misalnya dalam hal sarana dan
prasarana. Untuk mencapai tujuan, program kegiatan tentunya membutuhkan sarana dan prasana. Apabila sarana dan prasarana tidak terpenuhi, maka program tersebut sulit mencapai tujuan yang diharapkan.
Sedangkan Duncan yang dikutip Richard M. Steers dalam bukunya “Efektrivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut:
a) Pencapaian Tujuan adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa aktor, yaitu: Kurun waktu dan sasaran yang merupakan target kongkrit.
b) Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi.
c) Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.
Definisi lain menurut Hendyat Soetopo, keefektifan adalah ketepatan sasaran dari suatu proses yang berlangsung untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan keefektifan suatu lembaga adalah ketepatan sasaran suatu proses yang terjadi pada lembaga formal yang menyelenggarakan suatu kerjasama dengan komponen-komponen yang saling dikordinasikan untuk mencapai tujuan. Suatu organisasi dikatakan efektif jika organisasi telah mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan dapat mendayagunakan sumber-sumber sehingga dicapai keharmonisan. Dalam mencapai tujuannya organisasi menggunakan fasilitas fisik, energi manusia dan teknologi.
Mahmudi berpendapat bahwa efektivitas merupakan hubungan antara output dan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi. Suatu organisasi dinilai efektif apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan yang diteraoka. Ukuran efektivitas yaitu mengukur kesuksesan organisasi, program, atau efektivitas dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Pengukuran efektivitas mengukur hasil akhir suatu pelayanan yang dikaitkan dengan outputnya (cost of outcome). Karena output yang dihasilkan organisasi sector publik lebih banyak bersifat output tidak berwujud yang tidak mudah dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan (judgment).
Dari sejumlah definisi-definisi pengukur tingkat efektivitas yang telah dikemukakan diatas, perlu peneliti tegaskan bahwa dalam rencana penelitian ini digunakan teori pengukuran efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Siagian bahwa suatu lembaga dapat dikatakan efektif apabila; Adanya kejelasan
tujuan yang hendak dicapai, Kejelasan strategi pencapaian tujuan; Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap; Perencanaan yang matang; Penyusunan program yang tepat; Tersedianya sarana dan prasarana; Pelaksanaan yang efektif dan efisien; Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik. Dari keseluruhan kriteria ini dapat dikatakan efektif apabila menjadi satu kesatuan. Sehingga apabila terdapat salah satu atau sebagian dari kriteria tersebut tidak terlaksana, maka lembaga tersebut tidak dapat dikatakan efektif.
Kemudian dari teori tersebut disingkronkan dengan pedoman umum dan pedoman khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif Direktorat PLB. Dari pedoman tersebut dikaji dan dianalisis apa saja yang menjadi prasyarat Sekolah untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan inklusif yang baik, efektif, dan efesien (sesuai tujuan).
4. Kriteria Efektivitas Program Pendidikan Inklusif
Untuk pengukuran tingkat efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diperlukan karakteristik atau ciri-ciri bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut berjalan secara efektif. Penyusunan kriteria ini disesuaikan dengan konsep efektivitas dan acuan efektivitas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Luar Biasa. Karakteristik atau ciri-ciri efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dikatakan efektif paling tidak jika memenuhi kriteria efektivitas.
Istilah “kriteria” dalam penilaian sering dikenal dengan kata “tolok ukur” atau “standar” yaitu sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. Sedangkan menurut William N. Dunn, menyatakan bahwa dengan kriteria keputusan dimaksudkan secara eksplisit sebagai nilai- nilai yang dinyatakan yang melandasi rekomendasi untuk tindakan. Oleh karena itu peneliti menggunakan kriteria pendidikan inklusif mengacu pada buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Direktorat PLB. Sebagai kriteria sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sebagai berikut:
a) Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua).
b) Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah.
c) Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain).
d) Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar.
e) Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan.
f) Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak.
g) Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusif.
h) Sekolah tersebut telah terakreditasi.
i) Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan.
Kriteria efektivitas sebagai acuan dalam evaluasi program pendidikan inklusi akan ditampilkan pada tabel berikut ini:
Kriteria Efektivitas Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
No ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS
A. Antecendent 1. Kuota siswa ABK setiap
tahunnya adalah 20%.
2. Terdapat minimal 1 GPK
di Sekolah
3. Terdapat pengembangan kurikulum modifikasi dan
akomodasi
4. Terdapat sarana dan
prasaran bagi siswa ABK
5. Terdapat sumber dana yang jelas untuk pengelolaan pendidikan
inkluif
6. Terdapat peran serta
komite sekolah
7. Orangtua siswa mendukung program pendidikan inklusif
B. Transaction 1. Terdapat kurikulum yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa ABK.
2. Terdapat Rencana Program Pembelajaran secara kalisakal dan
individual
3. Guru menerapkan strategi pembelajaran yang terjangkau bagi
semua siswa
4. Terdapat sistem penilaian yang telah disesuaikan dengan
kemampuan siswa ABK
C. Outcomes 1. Hasil beljar siswa telah
memenuhi KKM yang telah ditetapkan
2. Siswa saling menghargai
satu dan lainnya
3. Siswa lulus Ujian
Nasional dan melanjutkan pendidikan.
Dari kriteria efektivitas sebagaimana digambarkan pada tabel di atas dan mengacu pada teori pengukuran efektivitas dan pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagaimana
dijelaskan tersebut, maka dapat dirumuskan efektivitas penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagai berikut:
a. Antecedent
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
1
Antecendent 1. Kuota siswa ABK setiap tahunnya adalah 20%. √
2. Terdapat
minimal 1 GPK di Sekolah. √
3. Terdapat
pengembang an kurikulum modifikasi dan akomodasi. √
4. Terdapat
sarana dan √
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
prasaran bagi siswa ABK.
5. Terdapat
peran serta komite sekolah. √
6. Terdapat
sumber dana yang jelas untuk pengelolaan pendidikan inklusif √
7. Orangtua siswa mendukung program pendidikan
inklusif √
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
8. Terdapat
kepuasan orangtua terhadap layanan dan program pendidikan
Inklusif √
Efektif Apabila Ketercapaian Indikator 100%
Pada rumusan kriteria efektivitas penyelenggaran pendidikan inklusif untuk aspek Antecendent dikatakan efektif apabila 8 (delapan) kriteria yang telah dirumuskan di atas ketercapaiannya sampai 100%.
b. Transaction
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
1 Transaction 1. Terdapat
Rencana √
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
Program Pembelajaran secara kalisakal
dan individual
2. Guru menerapkan strategi pembelajaran yang terjangkau bagi semua
siswa. √
3. Terdapat sistem penilaian yang telah disesuaikan dengan kemampuan
siswa ABK √
Tidak Efektif Karena Ketercapain Indikator Kurang dari 100%
Pada rumusan kriteria efektivitas penyelenggaran pendidikan inklusif untuk aspek transaction dikatakan tidak efektif. Ketidakefektifan ini karena kriteria yang telah dirumuskan di atas ketercapaiannya belum sampai 100%.
c. Outcome
No
ASPEK INDIKATOR EFEKTIVITAS HASIL EVALUASI
Tercapai Belum
tercapai
1 Outcomes 1. Hasil belajar siswa telah memenuhi KKM yang telah
ditetapkan √
2. Siswa saling menghargai
satu dan lainnya √
3. Siswa lulus Ujian Nasional dan melanjutkan
pendidikan. √
Tidak Efektif Karena Indikator Efektivitas Ketercapainnya Nol
(0%)
Pada rumusan kriteria efektivitas penyelenggaran pendidikan inklusif untuk aspek Outcome dikatakan tidak efektif. Ketidakefektifan ini karena kriteria yang telah dirumuskan di atas ketercapaiannya Nol (0%).
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, efektif dan tidaknya penyelenggaraan pendidikan inklusif apabila semua kriteria efektivitas yang telah
dirumuskan menjadi satu kesatuan utuh dan menyuluruh. Dalam artian, apabila pada salah satu atau sebagian dari kriteria yang telah dirumuskan tidak terpenuhi, maka penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut dapat dikatakan tidak efektif. Alasan ini berdasarkan pada teori ukuran efektivitas sebagaimana yang dirumuskan Siagian yang mengatakan bahwa efektivitas sebuah organisasi apabila kriteria efektivitas tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh pada proses pelaksanaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini untuk menghasilkan judgment “efektif atau tidak” penyelenggaraan pendidikan inklusif, maka acuannya ketercapaian indikator yang telah dirumuskan. Semakin banyak ketidaktercapaian indikator, maka semakin tidak efektif begitupun sebaliknya.
D. Pembinaan Sekolah Inklusi
1. Alternatif (1) Sekolah reguler (SD/SMP/SMA) yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi bila belum memiliki Guru Pembimbing Khusus (Guru Tetap), berlokasi tidak lebih dari
5 km dari SDLB/SLB Basis. Dengan demikian, Guru SDLB/SLB yang diberi tugas sebagai Guru Pembimbing Khusus di Sekolah Inklusi (mungkin beberapa sekolah) merasa tidak terlalu jauh, sehingga dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif.
2. Alternatif (2) Sekolah reguler (SD/SMP/SMA) yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi memiliki Guru Pembimbing Khusus (Guru Tetap) yang berlatar belakang pendidikan luar biasa atau berlatar belakang pendidikan umum tetapi sudah
mendapatkan pelatihan yang memadai tentang ke-PLB-an, sehingga factor jarak dengan lokasi SDLB/SLB tidak menjadi pertimbangan, karena Sekolah ini sudah dapat mandiri. Sekolah Dasar ini disebut (SD/SMP/SMA) Inklusi Basis (memiliki Guru Pembimbing Khusus Tetap).
BAB VI SEBUAH CATATAN
A. KESIMPULAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian Disertasi Penulis , maka dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan inklusif sebagai berikut:
1. Pada komponen persiapan (antecendent), pelaksanaan pendidikan inklusif di SMP Negeri 14 dan SMP Negeri 10 mulai dari rekrutmen siswa, rekrutmen guru pendamping khusus (GPK), kurikulum, sarana dan prasarana, pembiayaan dan komite sekolah dapat dikatakan belum berjalan secara efektif. Ketidakefektifan ini didasarkan pada beberapa komponen yang masih belum berjalan sesuai harapan dan kriteria stakeholder. Adapun beberapa komponen tersebut antara lain: Pertama, rekrtumen siswa. Pada proses penerimaan ABK sekolah masih memberikan batasan berupa perjanjian persetujuan pengupahan GPK dan penggunaan tes akademik. Penggunaan batasan tersebut bertentangan dengan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 dan filosofi pendidikan inklusi (pendidikan untuk semua).
Kedua, rekrutmen Guru Pendamping Khusus (GPK). Dalam proses rekrutmen GPK pada kedua SMP terdapat perbedaan. Perbedaan ini didasarkan pada kemampuan sekolah dalam
membiayai guru GPK. Di SMP Negeri 14 proses rekrutmen GPK berjalan dengan baik dan telah sesuai dengan pedoman disebabkan karena sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari orangtua siswa. Sedangkan di SMP Negeri 10 belum mampu melakukan rekrutmen GPK karena tidak adanya kesepakatan antara sekolah dan orangtua siswa.
Ketiga, modifikasi kurikulum. Di kedua sekolah masih tetap menggunakan kurikulum reguler yang belum disesuaikan dengan kondisi ABK. Hal ini sangat bertentangan dengan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 tentang Pengembangan Kurikulum. Keempat, sarana dan prasarana. Siswa (ABK) belum memiliki media pembelajaran khusus, meskipun di salah satu SMP telah ada media pembelajaran khusus berupa kartu bergambar, namun hal tersebut belum efektif untuk mendukung kegiatan pembelajaran.
Kelima, pembiayaan/pengupahan. Pengupahan bagi GPK masih belum optimal karena upah GPK masih jauh di bawah standar UMP. Mereka hanya menerima dari orangtua ABK dan selebihnya dari sekolah. Sedangkan pembiayaan program pendidikan inklusif masih sangat minim atau belum optimal khususnya bantuan yang diberikan pihak Pemerintah. Dengan keterbatasan tersebut menyebabkan sekolah belum pernah menyusun LPJ tentang pengelolaan dana pendidikan inklusif dengan alasan pengelolaan dana masih sangat terbatas. Keenam, komite sekolah. Dukungan dan partisipasi komite sekolah sudah baik, namun tidak
menutup harapan untuk ditingkatkan. Ketujuh, kepuasan orangtua siswa (pengguna). Kepuasan orangtua siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kurang utamanya dalam hal sarana-prasarana, sumber belajar, pendanaan, dan pendekatan pembelajaran untuk ABK.
2. Pada komponen proses (transaction), pelaksanaan pendidikan inklusif dalam hal kemampuan guru merencanakan pembelajaran, kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, dan kemampuan guru dalam melakukan penilaian hasil belajar siswa ABK belum berjalan secara efektif. Pada komponen ini belum berjalan efektif karena RPP yang disusun masih bersifat reguler/klasikal dan guru pendamping khusus belum menyusun program pembelajaran individual (PPI). Sementara PPI merupakan program pengembangan potensi siswa (ABK) yang sifatnya sangat insidental. Kemudian pada pelaksanaan pembelajaran, meskipun guru telah menfasilitasi pembelajaran yang dapat diakses oleh semua siswa termasuk ABK, namun proses pembelajaran belum dapat dikatakan efektif karena terbatasnya sumber dan media pembelajaran untuk ABK. Dalam hal penilaian pun juga sama. Penilaian hasil belajar ABK belum efektif karena sekolah belum menyediakan penilaian secara kualitatif, artinya masih belum optimal. Penilaian kualitatif ini mencakup aspek perkembangan sosial.
3. Pada komponen produk (outcomes), pelaksanaan pendidikan inklusif belum berjalan secara efektif. Pada komponen ini
pada hakikatnya secara keseluruhan berjalan sesuai harapan, akan tetapi pada aspek KKM masih ada sebagaian kecil yang belum memenuhi harapan, sehingga hal tersebut menyebabkan pada komponen ini belum dapat dikatakan efektif.
sesuai dengan pedoman disebabkan karena sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari orangtua siswa. Sedangkan di SMP Negeri 10 belum mampu melakukan rekrutmen GPK karena tidak adanya kesepakatan antara sekolah dan orangtua siswa.
Ketiga, modifikasi kurikulum. Di kedua sekolah masih tetap menggunakan kurikulum reguler yang belum disesuaikan dengan kondisi ABK. Hal ini sangat bertentangan dengan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 tentang Pengembangan Kurikulum. Keempat, sarana dan prasarana. Siswa (ABK) belum memiliki media pembelajaran khusus, meskipun di salah satu SMP telah ada media pembelajaran khusus berupa kartu bergambar, namun hal tersebut belum efektif untuk mendukung kegiatan pembelajaran.
Kelima, pembiayaan/pengupahan. Pengupahan bagi GPK masih belum optimal karena upah GPK masih jauh di bawah standar UMP. Mereka hanya menerima dari orangtua ABK dan selebihnya dari sekolah. Sedangkan pembiayaan program pendidikan inklusif masih sangat minim atau belum optimal khususnya bantuan yang diberikan pihak Pemerintah. Dengan keterbatasan tersebut menyebabkan
sekolah belum pernah menyusun LPJ tentang pengelolaan dana pendidikan inklusif dengan alasan pengelolaan dana masih sangat terbatas. Keenam, komite sekolah. Dukungan dan partisipasi komite sekolah sudah baik, namun tidak menutup harapan untuk ditingkatkan. Ketujuh, kepuasan orangtua siswa (pengguna). Kepuasan orangtua siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kurang utamanya dalam hal sarana-prasarana, sumber belajar, pendanaan, dan pendekatan pembelajaran untuk ABK.
4. Pada komponen proses (transaction), pelaksanaan pendidikan inklusif dalam hal kemampuan guru merencanakan pembelajaran, kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, dan kemampuan guru dalam melakukan penilaian hasil belajar siswa ABK belum berjalan secara efektif. Pada komponen ini belum berjalan efektif karena RPP yang disusun masih bersifat reguler/klasikal dan guru pendamping khusus belum menyusun program pembelajaran individual (PPI). Sementara PPI merupakan program pengembangan potensi siswa (ABK) yang sifatnya sangat insidental. Kemudian pada pelaksanaan pembelajaran, meskipun guru telah menfasilitasi pembelajaran yang dapat diakses oleh semua siswa termasuk ABK, namun proses pembelajaran belum dapat dikatakan efektif karena terbatasnya sumber dan media pembelajaran untuk ABK. Dalam hal penilaian pun juga sama. Penilaian hasil belajar ABK belum efektif karena sekolah belum menyediakan penilaian secara kualitatif,
artinya masih belum optimal. Penilaian kualitatif ini mencakup aspek perkembangan sosial.
5. Pada komponen produk (outcomes), pelaksanaan pendidikan inklusif belum berjalan secara efektif. Pada komponen ini pada hakikatnya secara keseluruhan berjalan sesuai harapan, akan tetapi pada aspek KKM masih ada sebagaian kecil yang belum memenuhi harapan, sehingga hal tersebut menyebabkan pada komponen ini belum dapat dikatakan efektif.
B. REKOMENDASI
Dengan selesainya penelitian ini, bisa jadi ada beberapa kejadian dan temuan-temuan yang dirasa belum maksimal atau berada di luar dugaan peneliti. Untuk itu, peneliti ingin memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak sebagai berikut:
1. Kepada Pihak Pemerintah
a. Sebagai penentu kebijakan pendidikan di bumi nusantara ini, peneliti sarankan dan sangat berharap kepada pihak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan membantu sekolah dalam menyusun buku pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif sesuai dengan SDM dan SDA yang dimiliki. Dalam hal ini Dinas pendidikan dan sekolah perlu melibatkan ahli dalam bidang pendidikan maupun bidang Pendidikan Luar Biasa inklusif (guru SLB) yang jarak sekolahnya dekat dengan Sekolah Inklusif agar peran SLB sebagai
Resource Center dapat dioptimalkan untuk pengembangan sekolah inklusi.
b. Sebagai pemangku kebijakan pendidikan, peneliti sarankan dan sangat berharap kepada pihak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan membantu sekolah dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sarana dan pra-sarana, sumber belajar, dan media pembelajaran lainnya guna efektifitas proses pembelajaran ABK.
c. Perlunya dilakukan sosialisasi secara intens. Dinas pendidikan dan sekolah diharapkan mengadakan kegiatan sosialisasi dengan berbagai cara misalnya; mengadakan kegiatan pentas seni dan budaya yang seluruh pengisi acaranya adalah peserta didik yang berkebutuhan khusus.
d. Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Pendidikan diharapkan segera membuka lowongan tenaga pengajar tetap yang memiliki keahlian dalam bidang PLB untuk ditempatkan di sekolah inklusif.
e. Perlunya Dinas Pendidikan bekerjasama dengan akademisi dalam melakukan pendampingan di sekolah penyelenggara pendidikan inklsuif untuk meningkatkan kemampuan SDM.
f. Dinas pendidikan dan sekolah mengikutkan guru-guru dalam berbagai kegiatan/pelatihan mengenai strategi pembelajaran di kelas yang inklusif.
g. Dalam proses penyesuaian penilaian, Dinas Pendidikan dan pihak sekolah membekali pengetahuan kepada guru-guru mengenai sistem penilaian dengan mengundang ahli atau akademisi ke sekolah secara berkelanjutan.
h. Untuk mendukung sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tentang adanya penghargaan bagi guru-guru yang memiliki beban mengajar melebihi batas minimal dan dapat mengembangkan program pembelajaran individual (PPI). Penghargaan tersebut baik berupa materiil (tunjangan hidup) maupun moriil (kenaikan pangkat atau penghargaan yang bersifat akademik).
i. Dinas pendidikan mengadakan monitoring ke sekolah secara berkelenjautan terkait penyelenggaraan program pendidikan inklusif dengan melibatkan akademisi dari Universitas.
2. Kepada Pihak Sekolah
a. Sekolah merubah sistem perekrutan peserta didik yang berkebutuhan khusus. Sistem yang dimaksud adalah dengan menerapkan kuota minimal 10% dan maksimal 20% setiap tahun ajaran baru.
b. Sekolah mengundang ahli atau akademisi dari PLB di Universitas Lambung Mangkurat dalam membantu melakukan identifikasi dan asesmen bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
c. Sekolah mengundang ahli atau akdemisi untuk memberikan pengetahuan kepada guru-guru dalam mengembangkan kurikulum bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
d. Dalam proses pembelajaran, Sekolah perlu melakukan studi banding ke sekolah yang telah melaksanakan pendidikan inklusif dengan baik.
e. Sekolah mengundang guru senior atau guru yang telah berpengalaman dalam mengelola pendidikan inklusif untuk memberikan tips tentang strategi pembelajaran bagi ABK.
f. Siswa ABK diikutkan dalam ujian nasional inklusif.
g. SMA penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan menerima siswa ABK.
h. Sekolah perlu menetapkan kebijakan yang menjadi peraturan wajib terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan mengacu pada pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2007 mulai dari rekrutmen guru, rekrutmen siswa, modifikasi kurikulum sesuai ABK, dan proses pembelajaran dengan menggunakan program pembelajaran individual (PPI).
3. Kepada Pihak Kampus
a. Mahasiswa PLB di Universitas Lambung Mangkurat yang memperoleh beasiswa dari pemerintah wajib membuat surat pernyataan siap ditempatkan pada
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi Kalimantan Selatan.
b. Perangkat pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Inklusif di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat perlu ditingkatkan.
REFERENSI
Aan Komariah dan Cepi Triatna. Visionari Leadership, Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.
Ainscow, M. Index for Inclusion: Developing Learning and Participation in School. London: CSIE, 2000.
Auliani Ayi, Syarifah. “Pelaksanaan Pembelajaran dalam Setting Pendidikan Inklusi di Kota Bandung.” Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2011.
Alimin, Z, Pendidikan Inklusif. Bandung: UPI Press, 2009
Arikunto, Suharsimi, Cepi Saefuddin, dan Abdul Jabar. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
, Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
Brinkerhoff, Robert O., et al.Program Evaluation: A Practioner's Guide for Trainners and Educationer. Boston: Kluwer Nijboff Publishing, 1986.
Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Fisiologis dan Metodologi ke arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Dadang G, Pengantar Pendiidkan Inklusif. Refika Aditama: Bandung, 2015.
Dunn, N. William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Buku Public Policy Analysis: an Introduction Second Edition). Penerjemah: Samodra Wibawa, Dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, (2003).
Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PPS UNJ, 2000.
Don E. Gardner. Five Evaluation Frameworks: Implication for Decision Making in Higher Education. The Jurnal of Higher Education, Vol. 48 (5), 1977.
Efendi, M., Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara,2006
Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Haryono dan Ahmad Syaifudin, Evaluasi Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Provensi Jawa Tengah . Semarang: Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 32 nomor 2, 2015
Irham Hosni, Pembelajaran Adptif Anak Luar Biasa.
PPGK:Jakarta,2004
Johnsen. B. H. dan M. D. Skjorten. Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, terjemahan M. D. Skjorten. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2003.
John, M. Owen, Program Evaluation, Form and Approaches.
Sydney: Allen and Uwin, 2006.
Kaufman, Roger dan Thomas Susan. Evaluation without Fear.
London: New Viewpoints, 1980.
Kemendikbud, Modul Induksi Sekolah Baru, Kemitraan Pendidikan
Australia – Indonesia. DIKNAS: Jakarta, 2013
Lincoln, Yvonna S. dan Egon Guba. Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1981.
McConkey, Roy, et al. Understanding and Responding to Children’s Need Inclusive Classroom a Guide for Teachers. Paris: Unesco, 2001.
Mudjito. Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005.
Mulyatiningsih, Endang. Riset Terapan. Yogyakarta: UNY Press, 2011.
Munir. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasidan Komunikasi.
Bandung: Alfabeta, 2008.
Mulyasa. Manajemen Berbasisi Sekolah, Konsep, Strategi dan, Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. (2003).
Pratiwi, C.J. Sekolah Inklusi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Tanggapan Terhadap Tantangan Kedepannya. Proseding: UNS. 2015.
Robbinson, Bernadette.” The CIPP approach to Evaluation.”COLLIT Project, 2002.
Sanders, James R., et al. The Program Evaluation Standards.
California, Sage Publication Inc., 1994.
Sapon-Shevin, M. Because We Can Change The World: An Practical Guide to Building Cooperative, Inclusive Classroom Communities. Boston: Allyn and Bacon,1991.
Sudjana. Manajemen Program Pendidikan. Bandung: Falah Production, (2004).
Widoyoko, S. Eko Putro. Evaluasi Program Pembelajaran Panduan
Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2010).
Arikunto, Suharsim dan Safaruddin Jabar, Abdul. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, (2009).
Arikunto, Suharsimi. Penilaian Program Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Direktoral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, (1988).
Stufflebeam, Daniel L., dan Anthony J Shinkfield. Systematic Evaluation: A Self-Instruction Guide to Theory and Practice. Boston: Kluwer Nijhoff Publishing, 1986.
Sudjana, Nana. Penilaian Proses Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta, 2009.
Sunanto, Djuang. “Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kota Bandung.” Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2009.
____________.Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan–Sekolah Pascasarjana UPI, 2009.
Skjorten, Mariam D. Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana UPI, 2003.
Stainback, W., dan S. Stainback. Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H. Brooks, 1990.
Stake, Robert E. “The Countenance of Educational Evaluation Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation.” Paper University of Illinois, 2006.
Staub, D., dan C.A Peck. What Are The Outcomes For Nondisabled Students And Educational Leadership. Baltimore: Paul H. Brooks, 1995.
Stephen, Issac dan William B. Michael. Handbook in Research and Evaluation.San Diego California: Edits Publisher, 1982.
Tarsidi, Didi. “Jaringan Kerja Untuk Inklusi.” Makalah pada Seminar Pendidikan Inklusif Peringatan Hari Kemerdekaan Louis Braill. Bandung: Dinas Pendidikan Luar Biasa, 2002.
Therik, Munce R. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di SD X, Y, dan Z di Kupang Nusa Tenggara Timur. Bandung: UPI Press, 2010.
Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program dan lnstrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Ummah, U. Manajemen Penyelenggara Pendidikan Inklusif (Studi Kasus Terhadap Sebuah SD Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Kota Bandung dan Sidoarjo). Jurnal Pendidikan Inklusif, Vol. 2 (4), Spiring 2011.
Unesco. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam
Pendidikan Kebutuhan Khusus. Jakarta: Unesco Office, 1994.
Worthen, Blaine R., dan James R. Shanders. Educational Evaluation. London: Longman Inc., 1987.
LAMPIRAN
INSTRUMEN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (II ABK)
PETUNJUK PENGISIAN
INSTRUMEN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Gunakan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (II
– ABK) ini untuk seluruh siswa di kelas
2. Usahakan untuk melihat gejala-gejala yang nampak pada setiap anak dengan seksama, mungkin memerlukan waktu beberapa hari, jangan tergesa-gesa
3. Agar gejala mudah dikenali, pada beberapa pernyataan anak dapat terlebih dahulu diberi tugas tertentu baru kemudian diamati pada saat mereka mengerjakan tugas tersebut
4. Tiap gejala yang ditemukan pada setiap anak diberi nilai 1 (satu), sedangkan yang tidak ditemukan diberi nil 0 (nol)
5. Setelah diberi nilai keseluruhan, jumlahkan nilai yang diperoleh pada setiap jenis kelainan
6. Setelah diperoleh jumlah nilai dari setiap jenis kelainan, kemudian bandingkan hasilnya dengan nilai standar setiap jenis kelainan yang tertera pada AI-ABK ini
7. Bila nilai yang diperoleh sama dengan atau lebih tinggi dari nilai standar yang tertera pada setiap jenis kelainan,
maka anak tersebut dapat dikategorikan tergolong anak yang mengalami suatu jenis kelainan tertentu
8. Terdapat kemungkinan bahwa seorang anak mengalami lebih dari satu jenis kelainan (kelainan ganda) karena hal ini dapat terjadi
9. Untuk penjelasan penggunaan Form 1, Form 2, Form 4 dan Form 5 tercantum di setiap awal form dimaksud.
Isian Form 1 INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK
(Diisi oleh orang tua)
Petunjuk
Isilah daftar berikut pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi anak yang sebenarnya. Jika ada yang kurang jelas, konsultasikan kepada guru kelas tempat anak Bapak/Ibu bersekolah.
A. Identitas Anak
1. Nama :
2. Tempat dan tanggal
lahir/umur :
3. Jenis kelami : Laki-laki / Perempuan
4. Agama :
5. Status anak :
6. Anak ke dari jumlah
saudara :
7. Nama sekolah :
8. K e l a s :
9. Alamat rumah :
B. Riwayat Kelahiran
1. Perkembangan masa
kehamilan :
2. Penyakit pada masa kehamilan :
3. Usia kandungan :
4. Riwayat proses kelahiran :
5. Tempat kelahiran :
6. Penolong proses kelahiran :
7. Gangguan pada saat
bayi lahir :
8. Berat badan bayi :
9. Panjang badan bayi :
10. Tanda-tanda kelainan
pada bayi :
C. Perkembangan Masa Balita
1. Menetek ibunya hingga
umur :
2. Minum susu (Non ASI) hingga umur:
3. Imunisasi
(lengkap/tidak) :
4. Pemeriksaan/penimban gan rutin/tidak:
5. Kualitas makanan :
6. Kuantitas makanan :
7. Kesulitan makan (ya /
tidak) :
D. Perkembangan Fisik
1. Dapat berdiri pada
umur :
2. Dapat berjalan pada
umur :
3. Naik sepeda roda tiga
pada umur :
4. Naik sepeda roda dua
pada umur :
5. Bicara dengan kalimat
lengkap :
6. Kesulitan gerakan yang
dialami :
7. Status Gizi Balita (baik/kurang) :
8. Riwayat kesehatan (baik/kurang) :
E. Perkembangan Sosial
1. Masuk TK umur :
2. Lama pendidikan di TK :
3. Kesulitan selama di TK :
4. Masuk SD umur :
5. Kesulitan selama di SD :
6. Pernah tidak naik kelas :
7. Pelayanan khusus yang pernah
diterima anak :
8. Prestasi belajar yang
dicapai :
9. MP yang dirasa paling
sulit :
10. MP yang dirasa paling disenangi :
11. Keterangan lain yang dianggap perlu:
Banjarmasin, … 2108
Orang tua,
Isian Form 2
DATA ORANG TUA / WALI SISWA
(Diisi orang tua/wali siswa)
1. Nama Anak :
2. SD/SMP/SMA / MI :
3. K e l a s :
A. Identitas Orang tua/ Wali Ayah:
Nama ayah :
Umur :
Agama :
Status ayah :
Pendidikan Tertinggi :
Pekerjaan Pokok :
Alamat tinggal :
Ibu:
Nama ibu :
Umur :
Agama :
Status ibu :
Pendidikan Tertinggi :
Pekerjaan Pokok :
Alamat tinggal :
B. Hubungan Orang tua – anak
1. Kedua orang tua satu rumah :
2. Anak satu rumah dengan kedua Orang tua:
3. Anak diasuh oleh salah satu Orang tua :
4. Anak diasuh wali/saudara :
C. Sosial Ekonomi Orang tua
1. Jabatan formal ayah di kantor (jika ada) :
2. Jabatan formal ibu di kantor (jika ada) :
3. Jabatan informal ayah di luar kantor (jika ada) :
4. Jabatan informal ibu di luar kantor (jika ada) :
5. Rata-rata penghasilan (kedua orang tua)/bulan :
D. Tanggapan dan Tanggungan Keluarga
1. Jumlah anak :
2. Ybs anak yang ke :
3. Persepsi orang tua terhadap anak ybs :
4. Kesulitan orang tua terhadap anak ybs :
5. Harapan orang tua terhadap pendidikan anak ybs :
6. Bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak ybs :
Banjarmasin, 2108
Orang tua/wali murid
BIODATA PENULIS
Hamsi Mansur, lahir di Kalua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, 11 Nopember 1958. Ia merupakan anak ke 9 dari Bapak Mansur H. Nafis dengan Bulan. Pendidikannya dimulai di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) di Kelua, Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kalua, menyelesaikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri di Yogyakarta Tahun 1977. Kemudian untuk S1-nya dia mengambil Jurusan Didaktik Kurikulum di FIP IKIP Yogyakarta tahun 1983, sedangkan untuk S2-nya Ia mengambil Jurusan Manajemen Pendidikan di UNINUS Bandung 2004. Barulah kemudian pada Tahun 2012/2013 Ia melanjutkan S3 di Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana UNJ dan meraih Gelar Doktor oada tahun 2016/2017.
Pengalaman kerja menjadi Dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 1984 sampai sekarang dengan terakhir Lektor Kepala. Menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Luar
Biasa (PLB) Tahun 2010 s.d 2014 dan sejak tahun 2015 sampai sekarang menjadi ketua Program Studi Teknologi Pendidikan.
Pengalaman penelitian lima tahun terakhir antara lain; 1) Manajemen Pendidikan Inklusi di sekolah reguler Tahun 2010, 2) Kerangka Rancangan belajar BI- Tandur sebagai alternatif pembelajaran bagi siswa di kelas Inklusi, 3) Persepsi dan sikap guru SD terhadap pendidikan inklusi Tahun 2012, 4) Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di SD Banua Anyar 8 Tahun 2013, 5) Implementasi media move maker dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi anak Tunagrahita Tahun 2014, 6) Pembelajaran berbasis Teknologi di sekolah inklusi Tahun 2015, 7) Model pembelajaran bagi ABK di sekolah inklusif. 8. Human Traffiking di Kalimantan Selatan.
Menulis artikel Kearifan Lokal Budaya Banjar dalam setting pendidikan inklusi dalam Seminar Pendidikan Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Lambung Mangkurat Desember 2014, pembelajaran kontekstual dalam seminar Pendidikan di Malang pada Juni Tahun 2013, Implemintasi Movie Meker dalam seminar International ETAR September 2016 di Banjarmasin.
Menikah dengan Hj. Gusti Jumiati, S.Pd Tahun 1985 dan dikaruniao 3 anak; Noviana Sari S.HI.MA, M.Najih Adhiyatma, dan Ikhwanul Kiram. |
en_US |