Repo Dosen ULM

Pendidikan Inklusif : Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua

Show simple item record

dc.contributor.author Mansur, Hamsi
dc.date.accessioned 2021-02-08T04:12:17Z
dc.date.available 2021-02-08T04:12:17Z
dc.date.issued 2019
dc.identifier.isbn 978-623-7323-15-0
dc.identifier.uri https://repo-dosen.ulm.ac.id//handle/123456789/18921
dc.description.abstract PENDIDIKAN INKLUSIF PENULIS Dr. H. Hamsi Mansur, M. M. Pd MODUL PENDIDIKAN INKLUSIF Penulis : Dr. H. Hamsi Mansur, M. M. Pd Sampul : @bay Layout : John Budi Cetakan : Pertama, September 2019 ISBN : 978-623-7323-15-0 Diterbitkan oleh: Parama Publishing Jl. Nyi Wiji Adisoro, Pelemsari RT 01/03 Prenggan Kotagede Yogyakarta.Telp. 082225044238 ISI DILUAR TANGGUNG JAWAB PERCETAKAN KATA PENGANTAR Pendidikan inklusif pada dasarnya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan Pendidikan untuk semua anak dengan fokus pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi. Dengan Pendidikan inklusif diharapkan Pendidikan bagi semua anak dapat terlaksana bukan hanya slogan tetapi dengan sungguh-sungguh mengayomi seluruh anak tanpa terkecuali. Semua sekolah harus menerima keberagaman setiap peserta didiknya tanpa memandang perbedaan dari segi fisik, emosi, sosial, agama, ekonomi, dan sebagainya. Untuk itulah, Pendidikan yang terselenggarakan hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan dalam mengembangkan potensinya, yang sejalan dengan ideologi sistem Pendidikan nasional. “Parama Publishing” sebagai salah satu penerbit dio Jogja yang memilki kepedulian terhadap Pendidikan menyadari akan keterbatasan ketersediaan dan keberadaan buku/referensi yang membahas tentang “khususnya” Pendidikan inklusif ini (Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus). Dengan hadirnya buku ini semoga dapat memberikan kontribusi positif dan manfaat yang luas bagi khasanah Pendidikan. Kami sadar buku ini masih perlu terus diperdalam dan dikaji lanjut karenanya kritik dan saran positif sangat diharapkan untuk perbaikan pada penerbitan edisi-edisi berikutnya. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................... v BAB I : PENDAHULUAN ....................................... 1 BAB II : KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF ....... 11 A. Sejarah Pendidikan Inklusi............................... 11 B. Landasan Pendidikan Inklusif......................... 17 C. Pengertian Pendidikan Inklusi........................ 22 D. Sekolah Inklusif ..................................................... 28 E. Karakteristik Sekolah Inklusi .......................... 31 BAB III : KONSEP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS................................................. 35 A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus..... 35 B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ...... 40 C. Karakteristik dan Kebutuhan Pembelajaran ABK................................................ 42 BAB IV : KONSEP IDENTIFIKASI 70 A. Aspek yang Perlu Diidentifikasi 70 B. Tujuan Identifikasi 72 C. Sasaran Indentifikasi 75 D. Petugas Indetifiwkasi 76 E. Pelaksanaan Indetifikasi 77 F. Asesmen 80 G. Program dan Strategi Pembelajaran untuk Semua Anak 81 H. Hasil Belajar Siswa 85 I. Penilaian Berkelanjutan 86 BAB V : MANAJEMEN SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF 89 A. Pengertian 89 B. Ruang Lingkup 91 BAB VI : KOMPETENSI GURU 98 A. Definisi Kompetensi Guru 98 B. Tugas Guru 99 C. Pembelajaran Kolaboratif 103 BAB VII: PENGAYAAN (HASIL PENELITIAN) 106 vvv BAB I PENDAHULUAN elayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan suatu bentuk pendidikan yang mengikutsertakan mereka didalam berbagai kegiatan dengan masyarakat luas. layanan pendidikan yang dimaksudkan adalah mampu mengakomodir segala kebutuhan ABK tanpa adanya bentuk diskriminasi. Maka diterapkanlah pendidikan inklusif di sekolah reguler, agar ABK dapat ikut serta mengoptimalkan kemampuannya bersama dengan anak-anak pada umumnya. Pendidikan inklusif pada dasarnya sebagai upaya untuk mememenuhi kebutuhan pendidikan untuk semua anak dengan fokus pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi. Dengan pendidikan inklusif diharapkan pendidikan bagi semua anak dapat terlaksana bukan hanya sebagai slogan tetapi dengan sungguh-sungguh mengayomi seluruh anak tanpa terkecuali. Semua sekolah harus menerima keberagaman setiap peserta didiknya tanpa memandang perbedaan dari segi fisik, emosi, sosial, agama, ekonomi, dan sebagainya. Untuk itulah, pendidikan yang terselenggara hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak akan men­ dapatkan pelayanan dalam mengembangkan potensinya, yang sejalan dengan ideologi sistem pendidikan nasional. Indonesia menuju pendidikan inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak tanpa terkecuali. Sebuah fakta di negeri ini bahwa perbedaan seringkali menjadi hal yang dipertentangkan, didiskriminasikan bahkan dimarginalkan. Masyarakat terkadang belum terbiasa hidup berdampingan dengan sebuah kenyataan atau kondisi yang berbeda sehingga sulit rasanya menciptakan sebuah keadilan diberbagai bidang di negeri ini, termasuk keadilan dalam bidang pendidikan. October 27, 2015 5 Anak Berkebutuhan Khusus yang Sukses Setiap anak yang lahir ke dunia adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan baik. Bagaimana pun kondisi dan keadaan si bayi saat dilahirkan, mereka tetap akan membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Tidak terkecuali bagi anak yang terlahir dengan kondisi yang tidak normal. Sebagian besar keluarga menganggap hadirnya bayi seperti ini di tengah-tengah kehidupan mereka dapat menimbulkan masalah, terutama bagi kedua orang tuanya. Namun jika kita tetap memperhatikan dan merawat si anak dengan baik, bukan tidak mungkin mereka menghasilkan sebuah talenta yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. 5 Anak Berkebutuhan Khusus yang Sukses Berikut sejumlah anak yang berkebutuhan khusus namun sukses dalam karir yang dijalaninya. 1. Stephanie Handoyo Gadis yang lahir pada 5 November 1991 ini merupakan anak penderita down syndromeyang berhasil memecahkan rekor MURI sebagai pemain piano yang mampu membawakan 22 lagu berturut­ turut, serta pembawa obor Olimpiade London 2012. Selain itu jejak prestasi Stephanie sudah tergores di sejumlah deretan piala penghargaan mulai dari juara I di bidang renang gaya dada 50 meter Pekan Olahraga Nasional Special Olympic Indonesia 2010, dan gaya dada 50 meter Specual Olympics World Summer Games 2011 Athena. Stephanie putri pasangan dari Maria Yustina dan Santoso Handojo sejak kecil memang sudah mulai mengikuti kegiatan positif khususnya di bidang olahraga seperti berenang dan bulutangkis. Bahkan, saat menginjak usia 12 tahun, ia berhasil meraih juara 1 pada kejuaraan Porcada. 2. Reviera Novitasari Putri kelahiran 30 Oktrober 1993 merupakan anak penderita down syndrome yang berhasil mendapatkan medali perunggu renang 100 meter gaya dada pada kejuaraan renang internasional di Canberra, Australia, 11-13 April 2008. Kemampuan renangnya sudah menonjol sejak kecil dibandingnya anak cacat lainnya. Sadar akan bakat anak keempatnya itu, orang tuanya memfasilitasi Reviera dengan latihan renang seminggu dua kali di Club SOINA (Special Olympic Indonesia) Sunter Jakarta. Derita yang dialami Reviera tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan bahkan selama tiga tahun kedua orang tuanya tidak bisa menerima kehadirannya. Hingga akhirnya dia disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Dian Grahita Kemayoran Jakarta. Bahkan ketika menginjak kelas 2 SMP di luar dugaan terjadi, gadis cantik ini mementahkan ramalan dokter dengan tiba-tiba bisa menulis, membaca dan berhitung. 3. Habibie Afsyah Putra kelahiran Jakarta 6 Januari 1988 ini bukanlah penyandang cacat fisik sejak lahir. Sebuah penyakit bernama muscular dytrophylah yang perlahan-lahan merenggut fungsi motorik tubuh Habibie sehingga ia mulai tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Habibie adalah sosok internet marketing yang sukses menghasilkan duit di dunia maya. Awal dirinya mengenal dunia internet ketika ibunya mengajak Habibie mengikuti kursus internet di Singapura. Meski awalnya Habibie menolak, namun akhirnya sang ibu berhasil meyakinkan putra bungsunya untuk belajar marketing dan hidup secara mandiri. Dengan tekun, Habibie terus berusaha hingga nilai komisinya meningkat menjadi US$ 124, US$ 500, US$1.000 dan US$2.000. Penghasilan dari Amazon tersebut kemudian digunakan Habibie untuk mengikuti berbagai kursus lainnya seperti Dokterpim, dan Indonesia Bootcamp. Saat ini Habibie sudah berhasil menerbitkan e-book panduan sukses dari Amazon, membuat situs jual beli properti (rumah101.com) dan menjadi trainer di acara seminar Eprofitmatrix bersama sang guru, Suwandi Chow. 4. Ade Wonder Irawan Dia adalah sang pianis tuna netra kelas dunia yang lahir di Colchester Inggris 15 Januari 1994. Pemuda berwajah tampan dan bertubuh atletis ini lahir dengan potensi yang sangat besar, kepiawaiannya telah diakui oleh para master pianis di dunia. Ade terlahir sebagai tuna netra dari keluarga Irwan Subajio dan Endang Irawan. Meski tergolong pendiam namun hal ini berbanding terbalik ketika ia berada di depan piano, ia berubah menjadi pemuda yang expresif dan energik memainkan jari jemarinya di atas deretan tuts piano. Selain bermain piano, Ade juga biasa melakukan scatting yang banyak dipelajari dari penyanyi jazz kelas dunia yaitu George Benson. Ade sudah mengenal piano pada usia 3 tahun, ketika dia sudah mengenal musik dan sering memainkan piano mainan miliknya dan sering menonton pertunjukan jazz. Setelah ia mendengarkannya sekitar 30 menit sanpai 1 hari, dia telah mampu memainkan musik tersebut dengan sangat baik. 5. Rafi Abdurrahman Ridwan Keterbatasan alat indera tidak menghalangi Rafi Abdurrahman Ridwan pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 2002 untuk berkarya dan berprestasi sebagai desainer cilik. Lewat rancangan busananya, nama Rafi melambung di luar negeri. Bahkan super model Amerika Serikat, Tyra Banks memuji Rafi saat perhelatan final America’s Next Top Model di Bali beberapa bulan lalu. Rafi menderita tuna rungu sejak lahir, derita yang dialaminya ini terkait dengan virus Rubella saat di dalam kandungan. Sejak kecil Rafi hobi menggambar dan semakin dewasa kreativitas Rafi dalam hobi menggambar justru terasah. Coretan kasar Rafi tentang baju lambat laun berubah jadi desain yang unik. Siapa sangka, berawal dari coretan itulah, karya Rafi diakui tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Nah, ternyata keterbatasan yang mereka miliki tidak menghalangi semangatnya untuk berkarya, sukses, dan membanggakan orang tua. Bagi kita yang tidak memiliki keterbatasan hendaknya harus lebih semangat lagi dalam mengembangkan diri agar dapat sukses. (Visited 1,588 times, 1 visits today) vvv BAB II KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF A. Sejarah Pendidikan Inklusi endidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari waktu ke waktu terus mengalami evolusi. Perubahan tersebut terjadi dengan terus berkembanganya pendidikan dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan. Demikian juga dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus, satu persatu masyarakat mulai merubah cara pandangnya terhadap pelayanan pendidikan bagi mereka, meskipun hal tersebut tidak bisa berjalan secara serentak. Seperti yang dikemukakan oleh Skjorten (2003) dan Foreman (2001), bahwa terjadi gradasi pemikiran yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah : pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusi. Konsep dari pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi terjadi perkembangan pemikiran bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya. Anak dengan kebutuhan khusus memiliki kemung- kinan lebih besar disbanding anak-anak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar masuk sekolah. Hal tersebut disebabkan karena selama ini pendidikan yang disediakan sebagian besar belum dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan mereka atau dengan kata lain hanya menyediakan layanan untuk anak-anak pada umumnya. Sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih sedikit. Kini mulai diperkenalkan istilah inklusi diamggap sebagai suatu alternative penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sebagai jawaban tuntutan akan semboyan ‘pendidikan untuk semua’. Pemb. Di SLB Pemb. Di sekolah Inklusif Pendidikan untuk semua menjadi awal pemikiran untuk menjalankan sebuah pendidikan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap siapa pun, termasuk ABK. Dengan adanya konsep pendidikan untuk semua ini menimbulkan reformasi kurikulum pendidikan dari yang selamainidijalankan. Menurut APEID(Asiaand the Pasifik Programme of Educational Inovation for Development) bahwa dalam reformasi kurikulum menunjuk pada perubahan-perubahan, dalam hal ini yaitu landasan filosofis dan pendekatan kurikulum sekolah, seperti yang dikemukakan John Naisbit dan Patricia Abundance dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/ Inklusi (2004:195­196), yang mengemukakan bahwa Reformasi kurikulum yang disebabkan oleh adanya perubahan paradigm pendidikan untuk semua (EFA) menunjuk pada perubahan-perubahan dalam ini, landasan filosofi dan pendekatan kurikulum sekolah tersebut disebabkan oleh sepuluh hal: pendidikan untuk semua, relevansi kurikulum terhadap inidividu dan masyarakat, pengembangan ketepatan nilai dan sikap, pengembangan proses, berkenaan dengan mempertemukan kebutuhan dengan seluruh individu, memaksimumkan perkembangan potensi setiap anak secara penuh terlepas dari status sosial dan ekonomi mereka, proses belajar mengajar yang berorientasi pada siswa, belajar tuntas (mastery learning), evaluasi kinerja yang holistik, dan menanggulangi atau menguasai dan/atau mengelola perubahan. Pendidikan untuk semua (EFA) merujuk pada reformasi kurikulum yang berupaya mengakomodasikan kenyataan bahwa siswa­ siswa sekolah memilki karakteristik yang heterogen. Selain itu merujuk pada perlunya materi pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individual dan kebutuhan masyarakat. Menurut sebuah artikel yang dimuat oleh Media Bawean, terdapat tiga juta anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan layanan khusus. Pendidikan inklusi adalah strategi kunci untuk menangani anak-anak tersebut. Prinsip dasar pendidikan inklusi adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada diskriminasi apapun yang mendasarinya. Hal ini berarti bahwa sekolah reguler/umum harus diperlengkapi untuk dapat melihat dan memenuhi kebutuhan- kebutuhan siswa yang heterogen, termasuk mereka yang secara tradsional telah tersingkirkan, baik dari akses ke sekolah peran serta yang ada di sekolah. Sebagai upaya mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya ABK, maka dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 ayat 1 Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus pun berhak memperoleh kesempatan yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya dalam hal pendidikan. Sementara dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan alternatif lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang selama ini masih adanya diskriminasi dan pemisahan antara pendidikan bagi ABK dengan pendidikan bagi anak- anak pada umumnya. Dalam pasal 15 dijelaskan tentang pendidikan khusus, yang disebutkan bahwa: Pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan khusus dan Pendidikan layanan khusus. Kecenderungan penyelenggaraan pendidikan inklusi bermula dari ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan segregatif, yang menyebabkan anak- anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, meskipun mereka telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup layak di masyarakat. Kecenderungan pendidikan inklusi juga dipicu oleh terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang tumbuh menjadi pribadi yang mampu berprestasi, tidak hanya untuk mengurus diri sendiri tetapi juga mampu berprestasi pada tingkat nasional maupun internasional. Hasil- hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak­anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dapat berkembang dengan baik dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dalam era pendidikan inklusi sekolah dikelola secara khas yang sangat menekankan terciptanya suasana kooperatif. Sikap kooperatif tersebut harus dimiliki oleh semua tenaga kependidikan. B. Landasan Pendidikan Inklusif Indonesia memiliki semboyan negara yang memiliki kemiripan arti dengan filosofi pendidikan Inklusi yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini mengakui kebinekaan atau perbedaan yang memang mewarnai bangsa Indonesia baik perbedaan suku bangsa, agama, tempat tinggal, budaya, dan kemampuan. Dalam Undang – Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) 1945 terdapat pasal – pasal mengenai hak asasi manusia yang salahsatunyaadalahhakdalammendapatkanpendidikan bagi setiap orang yaitu pada pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Lebih jelas lagi tentang pendidikan bagi penyandang cacat, terdapat pada Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Dalam Pasal 6 dituliskan tentang enam hak penyandang cacat dimana hak nomor 1 adalah berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jenis, dan jenjang pendidikan. Undang – Undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, mengatur bentuk pendidikan secara lebih terperinci seperti pada pasal 4 Ayat (1) “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan pada Pasal 15 yang berbunyi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus beserta Penjelasan Pasal 15 yaitu Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Selain itu, terdapat juga beberapa dokumen internasional yang melandasi pendidikan inklusi seperti : 1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang membahas keseluruhan hak manusia dalam 30 pasal. Diantara semua pasal itu terdapat satu pasal yaitu pasal 26 ayat (1) yang menyinggung tentang hak manusia atas pendidikan “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cumacuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan”. 2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak Jika Deklarasi Universal HAM membahas Hak Asasi Manusia secara umum, konvensi ini berisi khusus mengenai Hak Anak. Di dalamnya terdapat pasal mengenai diakuinya hak anak terhadap pendidikan, secara lebih terperinci tentang arah pendidikan dan hal – hal yang harus dilakukan sebuah negara untuk mencapai hak terhadap pendidikan ini. 3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien Dalam Deklarasi ini terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang­orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam system pendidikan umum. Deklarasi Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi semua orang, mengakui bahwa kelompok­kelompok tertentu terasingkan dan menyatakan bahwa sebuah komitmen aktif harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan terhadap kelompok-kelompok yang tdak mendapatkan haknya atas pendidikan. Dalam Sue Stubbs (2002:16) Deklarasi Jomtien juga secara khusus menyebutkan kelompok penyandang cacat dalam Pasal II ayat 5 bahwa “langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan”. 4. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus Pernyataan Salamanca hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek Pendidikan Inklusi. Dokumen ini mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang belum dibahas dalam dokumen- dokumen sebelumnya. Terdapat satu paragraf pada pasal 2 yang memaparkan tentang efektivitas sekolah inklusi “Sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusi memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan”. 5. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar Dalam kerangka Dakar pasal 8, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya berjanji untuk: Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusi dan dilengkapi dengan sumber- sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua (Sue stubbs 2002:20) Kerangka Dakar juga menyatakan dalam penjelasan pada paragraf 33: ... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak dari kelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, system pendidikan harus merespon secara fleksibel ... Sistem pendidikan harus inklusi, secara aktif mencari anak yang belum bersekolah dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan kebutuhan semua siswa” (Sue Stubbs 2002:20). C. Pengertian Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terbaru model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Khusus pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, bulan Juni 1994 bahwa “Prinsip dasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. Prinsip yang dijadikan pedoman dalam kerangka aksi ini adalah bahwa sekolah dapat mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Kondisi-kondisi tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan. Dalam konteks kerangka aksi ini, istilah “kebutuhan pendidikan khusus” mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya. Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Beberapa ahli mengemukakan mengenai pengertian pendidikan inklusi sebagai berikut :  Stainback dan stainback (1990), “Sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama”.  Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa “Pendidikan Inklusi adalah penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang berat secara penuh di kelas reguler”.  Menurut Sapon­Shevin (1991) bahwa “pendidikan inklusi sebagai sistem layanan Pendidikan yang mempersyaratkan agar semua ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya”. Selanjutnya dalam program pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007 diuraikan bahwa pendidikan inklusi adalah “suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dari pelaksanaan yang ekslusif”. Pendidikan inklusi berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagi semua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainan. Pendidikan inklusi melihat perbedaan individu bukan sebagai suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak. Pendidikan inklusi melaksanakan hak setiap anak untuk tidak terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB United Nation Convention on Right of the Child (UNCRC) tentang hak anak. Pendidikan inklusi menghendaki sistem pendidikan dan sekolah lebih menjadikan anak sebagai pusatdari pembelajaran, fleksibel dan dapat menerima perbedaan karakteristik dan latar belakang setiap anak untuk hidup bersama. Hal ini merupakan langkah awal untuk mempromosikan hidup yang lebih toleran, damai dan demokratis. Kasus bullying di salahsatu Universitas terhadap mahasiswa berkebutuhan khusus Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial maupun kondisi lainnya. Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa memandang perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan setiap anak. Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di lembaga pendidikan dan tempat lain. Mengutip pendapat Sunanto (2009) dkk bahwa pendidikan inklusi sebagai berikut: Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak, tidak terkecuali. Pendidikan yang memberikan layananterhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial,emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik dikelas sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak,(Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, 2007). Selanjutnya dijelaskan bahwa karakteristik “Pendidikan Inklusi”, yaitu : Pendidikan untuk semua, menggunakan kurikulum biasa tapi yang fleksibel, pembelajaran bersifat memenuhi kebutuhan individual, lingkungan pembelajaran ramah, menekankan pada proses pembelajaran, pendidikan berpusat pada anak, menggunakan pendekatan yang komprehensif, dan memberikan kesamaan kesempatan bagi semua anak. Menurut Mc Conkey et.all (2001:32) bahwa pendidikan inklusi : (1) mengakui semua anak berhak belajar dan mereka membutuhkan dukungan dalam pembelajarannya; (2) bermaksud mengarahkan dan meminimalkan hambatan belajar; (3) adanya perluasan pendidikan formal termasuk di rumah dan masyarakat dan kesempatan lainnya diluar pendidikan di sekolah; (4) kurikulum dan lingkungan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan semua anak: (5) adanya proses dinamis yang terus menerus berkembang berdasarkan budaya lokal dan strategi untuk menuju masyarakat inklusi. Maka untuk dapat menerapkan pendidikan inklusi di sekolah maka lingkungan sekolah diharapkan bisa menyediakan pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan siswanya. Menurut Skjorten (Jhonsen & Skjorten, 2003:48-51) “sekolah mengambil kunci dasar pendidikan sebagai berikut: penghargaan bagi identitas siswa, dan variasi dipandang sebagai sumber daya bukan suatu masalah”. Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi terkandung unsur adanya :  Layanan pendidikan yang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas reguler/biasa terdekat tempat tinggalnya.  Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.  Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak. D. Sekolah Inklusif Sekolah inklusif adalah sekolah biasa/reguler yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, mental, cerdas, berbakat istimewa, suku terasing, korban bencana alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak nomaden dan lain- lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Jadi, sekolah inklusi adalah sekolah yang mengakomodasi kebutuhan belajar siswa. Sekolah inklusi mengadopsi keyakinan bahwa sebisa mungkin semua anak dapat belajar berdasarkan potensi mereka. Prinsip mendasar dari sekolah inklusi adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusi harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda­beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Di dalam sekolah inklusi, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya. Pengiriman anak secara permanen ke Sekolah Luar Biasa - atau kelas khusus atau unit khusus di sebuah sekolah regular seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus- kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu. Sekolah (inklusif) ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, Tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Sedangkan menurut Choate (Dyah, 2008:5) “sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapatbelajar di kelas pendidikan umum”. Berdasarkan definisi­definisi tersebut diatas dapat dirumuskan sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memliki kebutuhan khusus untuk untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum, dimana peserta didik berkebuthan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan utama di dalam kelas umum dan dibawah tanggungjawab seorang guru kelas umum, serta menyediakan program pendidikan yag layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agaranak-anak berhasil. E. Karakteristik Sekolah Inklusi Setiap sekolah reguler hendaknya melaksankan pendidikan inklusi agar pendidikan untuk semua dapat terlaksana. Dimana sekolah yang inklusi memiliki karaktiristik yang berbeda dengan sekolah yang belum inklusi. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan Alimin dkk (2008), dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi memiliki karakteristik, sebagai berikut: 1) Tidak diskriminatif. Artinya sekolah inklusi harus memberikan layanan pendidikan kepada setiap anak tanpa terkecuali. 2) Pegakuan dan penghargaan terhadap keragaman individual anak. Sekolah inklusi harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan; harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pemebelajaran yang bersifat individual, bersifat fleksibel dan dinamis, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak; iklim belajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang sesuai dengan kemampuan anak. 3) Fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak. Sarana fisik sekolah memudahkan, aman dan nyaman untuk digunakan oleh setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (aksesibel). 4) Guru bekerja dengan tim. Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Proses pembelajaran tidak terkotak-kotak, tetapi merupakan pembelajaran terpadu dengan menerapkan tim indisipliner. 5) Keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap sekolah. Guru dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan. Keterlibatan orangtua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah maupun di rumah. Selain itu juga ada keterlibatan dan partisipasi dari LSM dan masyarakat secara luas. Spect (2009) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian, sekolah inklisif yang efektif memiliki karakteristik berikut ini: 1) Lingkungan yang suportif. Budaya dan iklim sekolah merujuk pada atmosfir, nilai, dan kebijakan sekolah. Faktor-faktor ini mengarah pada harapan dan perilaku tertentu dari staf sekolah maupun siswa. Sekolah efektif merupakan sekolah yang memilki harapan yang tinggi terhadap staf dan siswa, memberikan dukungan kepada staf dan siswa, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi baik dalam setting kelas mapun sekolah yang lebih luas. Atmosfr sekolah yang ramah, budaya sekolah yang menerima perbedaan perilaku di kelas, dan tidak membuat asumsi tentang kemampuan anak, akan meningkatkan perasaan diterima. 2) Hubungan yang positif. Guru membangkitkan perkembangan hubungan melalui keputusan mereka tentang tempat duduk anak di kelas. Tindakan yang lebih formal mencakup menunjukkan model peran kepada siswa dan membangun hubungan pertemanan. Beberapa strategi dapat digunakan untuk meningkatkan inklusi sosial semua anak. 3) Perasaan mampu. Anak­nak perlu yakin bahwa mereka memiliki kemampuan dalam sesuatu dan yakin bahwa orang lain percaya bahwa mereka akan berhasil. Anak dapat mengembangkan konsep diri yang uat dalam berbagai area berda. Anak-anak dapat merasa kompeten dalam area yang berhubungan dengan kemampuan dan kualitas sosial, atletik, moral, dan kreatif, serta dalam kemampuan untuk belajar. Dengan memahami area kekuatan mereka, anak-anak akan menghargai diri mereka sendiri dan mengembangkan rasa menghargai diri sendiri (rasa harga diri) 4) Kesempatan untuk berpartisipasi. Semua anak membutuhkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang memberikan mereka kesempatan untk memahami harapan masyarakat. Mereka bisa memperoleh kompetensi fisik dan sosial yang dibutuhkan untk berfungsi disekolah, rumah, dan masyarakat luas. Dengan demikian, mereka juga akan memperoleh pemahaman tentang kekuatan mereka dan hubungan mereka dengan oranglain. vvv BAB III KONSEP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus onsep anak berkebutuhan khusus tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran sekarang ini mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk membantu anak dan remaja beserta keluarganya. yang telah mengalami perubahan yang signifikan. Pergeseran paradigma itu juga berdampak terhadap peristilahan yang melahirkan predikat anak berkebutuhan khusus.Hal ini dapat dimaknai dari perubahan filosofi, sikap dan praktek professional yang terkait dengan bantuan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Sampai akhir tahun 1970-an, intervensi didominasi oleh apa yang disebut sebagai “pendekatan berpusat pada para profesional’. Orientasi ini berimplikasi bahwa para profesional membuat diagnosis, memberi resep untuk perlakuan, dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Sementara itu pada tahun 1980-an, praktek profesional seperti itu berubah dibanyak bidang menjadi apa yang dapat disebut sebagai pendekatan yang lebih berorientasi keluarga. Tahun 1990-an terdapat perubahan lebih lanjut menuju pendekatan berpusat pada keluarga dalam melaksanakan intervensi. Konsep baru kemudian diperkenalkan melalui pernyataan Salamanca dan beberapa konsep diperkenalkan sebelumnya. Konsep - konsep ini penting karena menggambarkan proses dan perubahan saat ini. Pernyatan Salamanca menekankan semua anak dapat dididik walaupun mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat. Skjorten, M.D, (2003:87) menegaskan bahwa, Semua anak memiliki kebutuhan khusus hanya ada yang bersifat temporer dan ada yang bersifat permanen. Anak-anak berkebutuhan khusus baik itu permanen maupun temporer dapat dilihat dari kondisi sosial emosional, dan /atau kondisi ekonomi, dan /atau kondisi politik, dan/atau kelainan bawaan dan/atau kelainan yang didapat pada awal kehidupannya atau kemudian. Dengan kata lain, hambatan belajar dan perkembangan dapat terdiri dari banyak bentuk. Dimasa lalu, pendekatan-pendekatan pengajaran anak berkebutuhan khusus ditentukan oleh diagnosis media yang diberikan kepada mereka dengan pendekatan tersebut, anak-anak dengan diagnosis yang serupa harus diajar dengan cara yang sama. Sekarang disadari bahwa walaupun pembelajaran akan dipengaruhi oleh kelainan, tetapi ada faktor-faktor lain yang lebih penting. Faktor-faktor tersebut dapat terletak dalam pengalaman yang tergantung pada lingkungan, termasuk sikap terhadap anak-anak padaumumnya dan terhadap anak tertentu seperti karena lingkungan kurang responsif, kurang stimulasi, kesalah pahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pengajaran dan materi pembelajaran. Faktor lainnya adalah faktor dalam diri anak seperti keingin tahuan, motivasi, inisiatif, tempramen dan sebagainya. Dari poin-poin tersebut disadari konsep hambatan belajar dan perkembangan pada kesulitan dan tantangan yang dapat muncul disetiap kelas, kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapi oleh semua anak. Namun konsep ini juga membantu menyadari besarnya implikasi dari hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor sensori, motorik, kognitif, emosional dan lingkungan. Ini membantu kita menyadari bahwa, misalnya; penguasaan Braille oleh seorang anak tunanetra tidak mengatasi semua hambatan akibat ketunanetraan. Konsep anak berkebutuhan khusus di Indonesia secara formal tersiratdalam perkembangan konsep anak cacat, anak luar biasa dan sebagainya yang dapat ditelusuri dari mulai PP No 002/U/1986 tentang pendidikan terpadu bagi anak cacat, yang mengemukakan bahwa: ...anak cacat ialah anak yang mempunyai kelainan jasmani dan atau rohani yang terdiri dari cacat netra, cacat rungu, cacat grahita, cacat daksa,cacat laras, dan oleh karenanya dapat mengganggu pertumbuhan danperkembangan baik jasmani, rohani dan atau sosial sehingga tidak dapat mengikuti pendidikan dengan wajar . Sementara itu Peraturan menteri Pendidikan No.70/2009 menegaskan bahwa peserta didik berkelinan yang memerlukan pendidikan khusus meliputi: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda. Dalam pedoman penyelengaraan pendidikan terpadu/inklusi (2004), anak berkebutuhan khusus adalah “anak yang dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik, mental ­ intelektual, sosial, emosional dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus”. Dari batasan tersebut juga dapat berarti bahwa, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan /penyimpangan tersebut jika tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi melibatkan sejumlah besar anak yang masuk sekolah, termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus (permanen). Maka, kelas yang inklusi akan menjadi kelas yang sangat beragam (heterogen). Dengan demikian pemahaman terhadap anak berkebutuhan khusus sangatlah penting dalam pendidikan inklusi. Skjorten (2003: 39) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, baik permanen maupun temporer, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang disesuaikan, yang disebabkan oleh: (1) kondisi sosial ekonomi, dan/atau (2) kondisi ekonomi, dan/ atau (3) Kondisi politik, dan/atau (4) Kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian Dengan kata lain, tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang ekslusif dan bukan hanya anak yang berkelainan saja tetapi meliputi sebagianbesar anak yang sedang belajar. Untuk lebih jelasnya konsep anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut diatas selanjutnya dapat dilihat pada gambar berik Gambar 1.1 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi anak berkebutuhan khusus temporer dan permanen. Anak berkebutuhan khusus permanen meliputi: 1. Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra), a. Anak Kurang Awas (low vision) b. Anak tunanetra total (totally blind). 2. Anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (Tunarungu/Wicara), a. Anak kurang dengar (hard of hearing) b. Anak tuli (deaf) 3. Anak dengan kelainan Kecerdasan a. Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata­rata (tunagrahita) 1) Anak tunagrahita ringan ( IQ IQ 50 – 70). 2) Anak tunagrahita sedang (IQ 25 – 49). 3) Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah). b. Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata 1) Giffted dan Genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas ratarata 2) Talented, yaitu anak yang memiliki keberbakatan khusus 4. Anak dengan gangguan anggota gerak (Tunadaksa). a. Anak layuh anggota gerak tubuh (polio) b. Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy) 5. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (Tunalaras) a. Anak dengan gangguan prilaku 1) Anak dengan gangguan perilaku taraf ringan 2) Anak dengan gangguan perilaku taraf sedang 3) Anak dengan gangguan perilaku taraf berat b. Anak dengan gangguan emosi 1) Anak dengan gangguan emosi taraf ringan 2) Anak dengan gangguan emosi taraf sedang 3) Anak dengan gangguan emosi taraf berat 6. Anak gangguan belajar spesifik 7. Anak lamban belajar (slow learner) 8. Anak Autis 9. Anak ADHD 1. Anak dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra) Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihataan sedemikian rupa, sehingga membutuhkaan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Layanan khusus dalam pendidikan bagi mereka, yaitu dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang tunanetra total, dan bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar atau diperbesar. Di samping itu diperlukan latihan orientasi dan mobilitas. Untuk mengenali mereka, kita dapat melihat ciri-ciri sebagai berikut: a. Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter. b. Kesulitan mengambil benda kecil didekatnya. c. Tidak dapat menulis mengikuti garis lurus. d. Sering meraba­raba dan tersandung waktu berjalan, e. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/ bersisik kering. f. Tidak mampu melihat. g. Peradangan hebat pada kedua bola mata, h. Mata bergoyang terus Anak dengan gangguan penglihatan dapat juga dikelompokkan berdasarkan: 1. Berdasarkan ukuran ketajaman penglihatan, anak tunanetra dapat dibagi menjadi: a) Mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70 artinya anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet (6 meter) sedangkan orang normal dari jarak 70 feet (21 meter). Mereka digolongkan ke dalam low vision(keterbatasan penglihatan) b) Mampu membaca huruf paling besar di Snellen Chart dari jarak 20 feet [acuity 20/200–legal blind] dikategorikan tuna- netra total. Ini berarti anak tunanetra melihat huruf E dari jarak 6 meter, sedangkan anak normal dari jarak 60 meter. 2. Anak dengan keterbatasan penglihatan (low vision). Karakteristik anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (low vision): a) Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak. b) Menghitung jari dari berbagai jarak. c) Tidak mengenal tangan yang digerakan. 3. Kelompok yang mengalami keterbatasan penglihatan berat (tunanetra total): a) Mempunyai persepsi cahaya [light perception) b) Tidak memiliki persepsi cahaya [ no light perception ] 4. Dalam perspektif pendidikan, tunanetra dikelompokan menjadi: a) Mereka yang mampu membaca huruf cetak standar. b) Mampu membaca huruf cetak standar, tetapi dengan bantuan kaca pembesar. c) Mampu membaca huruf cetak dalam ukuran besar [ukuran huruf no. 18.]. d) Mampu membaca huruf cetak secara kombinasi, cetakan reguler, dan cetakan besar. e) Menggunakan huruf Braille tetapi masih bisa melihat cahaya. 5. Keterbatasan anak tunanetra: a) Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru. b) Keterbatasan dalamberinteraksi dalam lingkungan. c) Keterbatasan dalam mobilitas. 6. Kebutuhan pembelajaran anak tunanetra Karena keterbatasan anak tunanetra seperti tersebut di atas maka pembelajaran bagi mereka mengacu pada prinsif- prinsif sebagai beikut: a) Kebutuhan akan pengalaman konkrit. b) Kebutuhan akan pengalaman yang terintegrasi. c) Kebutuhan dalam berbuat dan bekerja dalam belajar 7. Media belajar anak tunanetra dikelompokan menjadi dua yaitu: a) Kelompok tunanetra total dengan media baca tulis huruf Braille. b) Kelompok low vision dengan media baca tulis biasa yang diperbesar [misalnya hurup diperbesar dan menggunakan alat pembesar]. 2. Anak dengan Gangguan Pendengaran (Tunarungu) a. Konsep Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus. Abjad bahasa isyarat Ciri-ciri anak tunarungu adalah sebagai berikut: 1) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar. 2) Banyak perhatian terhadap getaran. 3) Terlambat dalam perkembangan bahasa 4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi atau suara, 5) Terlambat perkembangan bahasa, 6) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, 7) Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara, 8) Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/ monoton, b. Kebutuhan Belajar Kebutuhan pembelajaran anak tunarungu, secara umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Tetapi mereka memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain: 1) Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya 2) Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru. 3) Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk mendengarkan. 4) Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah 5) dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak. 6) Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas. 3. Anak dengan Gangguan Intelektual (Tunagrahita) a. Pengertian Tunarahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual di bawah rata­rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikam khusus. Ketunagrahitaan mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata­rata. Para tunagrahita mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. b. Ciri-ciri Seseorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga indikator, yaitu:(1) Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah ratarata, (2) Ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif, dan (3) Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan biasa dikelompokkan ke dalam tingkatan sebagai berikut: 1) Tunagrahita ringan memiliki IQ 70-55 2) Tunagrahita sedang memiliki IQ 55-40 3) Tunagrahita berat memiliki IQ 40-25 4) Tunagrahita berat sekali memiliki IQ <25 Ciri­ciri fisik dan penampilan anak tuna­ grahita: 1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar, 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, 3) Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan 4) Kordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali) c. Kebutuhan dan Hambatan Belajar Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunagrahita: 1) Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajarnya. 2) Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebayanya, Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam hal yaitu: a) Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah b) Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru c) Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas. 4. Anak dengan Gangguan Gerak Anggota Tubuh (Tunadaksa) a. Pengertian Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada anggota gerak [tulang, sendi, otot]. Mereka mengalami gangguan gerak karena kelayuan otot, atau gangguan fungsi syaraf otak (disebut Cerebral Palsy/CP]. Pengertian anak Tunadaksa bisa dilihat dari segi fungsi fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai seseorang yang fisik dan kesehatanya terganggu sehingga mengalami kelainan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Untuk meningkatkan fungsinya diperlukan program dan layanan pendidikan khusus. Peristilahan dalam kelumpuhan dibagi menurut daerah kelumpuhannya. Kelumpuhan sebelah badan disebut hemiparalise, kelumpuhan kedua anggota gerak bawah disebut paraparalise. b. Ciri-ciri Ciri-ciri anak tunadaksa dapat di lukiskan sebagai berikut: 1) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, 2) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa, 3) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali, bergetar) 4) Terdapat cacat pada anggota gerak, 5) Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh. c. Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunadaksa Guru sebelum memberikan pelayanan dan pembelajaran bagi anak tundaksa harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Segi kesehatan anak Apakah ia memililki kelainan khusus seperti kencing manis atau pernah dioperasi, kalau digerakkan sakit sendinya, dan masalah lain seperti harus meminum obat dan sebagainya 2) Kemampuan gerak dan mobilitas Apakah anak ke sekolah menggunakan transportasi khusus, alat bantu gerak, dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan lingkungan yang harus dipersiapkan. 3) Kemampuan komunikasi Apakah ada kelainan dalam berkomunikasi, dan alat komunikasi yang akan digunakan (lisan, tulisan, isyarat) dan sebagainya. 4) Kemampuan dalam merawat diri Apakah anak dapat melakukan perawatan diri dalam aktivitas sehari-hari atau tidak. Misalnya; dalam berpakaian, makan, mandi dll. 5) Posisi Bagaimana posisi anak tersebut pada waktu menggunakan alat bantu, duduk pada saat menerima pelajaran, waktu istirahat, di kamar kecil (toilet), saat makan dan sebagainya. Sehinga physical therapis sangat diperlukan. 5. Anak dengan gangguan Perilaku dan Emosi (Tunalaras) a. Pengertian Anak dengan gangguan perilaku (Tunalaras) adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus. Di dalam dunia PLB dikenal dengan nama anak tunalaras (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur: 1) Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum. 2) Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim. 3) Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan. b. Ciri-ciri Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri: 1) Cenderung membangkang 2) Mudah terangsang emosinya/emosional/ mudah marah 3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu 4) Sering bertindak melanggar norma sosial/ norma susila/hukum 5) Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah c. Kebutuhan dan hambatan pembelajaran anak Tunalaras. Kebutuhan pembelajaran bagi anak tunalaras yang harus diperhatikan guru antara lain adalah: 1) Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak. 2) Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak. 3) Adanyakegiatanyangbersifatkompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak. 4) Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh dari lingkungan. 6. Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (gifted dan talented) a. Pengertian Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai ”gifted & talented children”. b. Ciri-ciri Anak cerdas istimewa memiliki ciri­ciri sebagai berikut: 1) Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang luas 2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi 3) Mempunyai inisiatif, kreatif dan original dalam menunjukkan gagasan 4) Mampu memberikan jawaban­jawaban atau alasan yang logis, sistimatis dan kritis 5) Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan 6) Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati, 7) Senang mencoba hal-hal baru, 8) Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi, Mempunyai daya imajinasi dan ingatan yang kuat, 9) Senang terhadap kegiaan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah, 10) Cepat menangkap hubungan sebab akibat, 11) Tidak cepat puas atas prestasi yang dicapainya 12) Lebih senang bergaul dengan anak yang lebih tua usianya. 13) Dapat menguasai dengan cepat materi pelajaran Anak talented adalah anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang tertentu, misalnya hanya dalam bidang matematik, ilmu pengetahuan alam, bahasa, kepemimpinan, kemampuan psikomotor, penampilan seni. c. Kebutuhan pembelajaran anak cerdas istimewa dan bakat istimewa 1) Program pengayaan horisontal, yaitu: a) mengembangkan kemampuan eksplo- rasi. b) mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum biasa c) excekutif intensive dalam arti mem- berikan kesempatan untuk mengikuti program intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam waktu tertentu 2) Program pengayaan vertikal, yaitu: a) Acceleration, percepatan/maju berke- lanjutan dalam mengikuti program yang sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu, atau tingkatan kelas. b) Independent study, memberikan seluas- luasnya kepada anak untuk belajar dan menjelajahi sendiri bidang yang diminati. c) Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan para ahli yang ada di masyarakat. 7. Anak Lamban Belajar (Slow Learner) a. Pengertian Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah anak normal, tetapi tidak termasuk anak tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 80- 85). Dalam beberapa hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan kemampuan untuk beradaptasi, tetapi lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita. Mereka membutuhkan waktu belajar lebih lama dibanding dengan sebayanya. Sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. b. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak lamban belajar: 1) Rata-rata prestasi belajarnya rendah (kurang dari 6), 2) Menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya, 3) Daya tangkap terhadap pelajaran lambat, 4) Pernah tidak naik kelas c. Anak lamban belajar membutuhkan pem- belajaran khusus antara lain: 1) Waktu yang lebih lama dibanding anak pada umumnya 2) Ketelatenan dan kesabaran guru untuk tidak terlalu cepat dalam memberikan penjelasan 3) Memperbanyak latihan dari pada hapalan dan pemahaman 4) Menuntut digunakannya media pembelajar- an yang variatif oleh guru 5) Diperlukan adanya pengajaran remedial. 8. Anak Berkesulitan Belajar Spesifik a. Pengertian Dalam pelayanan pendidikan di sekolah reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau kesulitan belajar salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik atau disebut specific learning disabilities Anak berkesulitan belajar adalah individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, ber- bicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan, budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru. Secara garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua. Pertama, yang berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial. Kedua yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher, 1986: Mulyono Abdurahman, 1996: Hidayat, 1996). Kesulitan belajar dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari siswa yang berkecerdasan rata­ rata, sampai yang berinteligensi tinggi. Kesulitan belajar dapat berdampak negatif tidak saja dalam penguasaan prestasi akademik, tetapi juga perkembangan kepribadiannya. Kesulitan belajar yang dialaminya bukanlah sesuatu yang menetap, sebab intervensi dini dan pendekatan profesional secara terpadu dapat menangani kesulitan belajar yang mereka hadapi. Sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya, guru di sekolah reguler memiliki posisi strategis dalam turut membantu siswanya yang berkesulitan belajar. Guru merupakan ujung tombak dalam membantu mengatasi masalah­masalah yang dihadapi para siswanya, termasuk permasalahan yang dihadapi anak kesulitan belajar. Untuk itu, sejalan dengan bervariasinya jenis dan tingkat kesulitan belajar yang dihadapi anak, langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mampu melakukan identifikasi atau penjaringan terhadap mereka melalui pengenalan ciri-ciri atau karakteristik yang ditampilkannya. Kedua, mampu melakukan assesmen, merumuskan dan melaksanakan program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, permasalahan, dan kebutuhannya. Dan, kemampuan melakukan kerja sama secara terpadu dengan propesi lain yang terkait dengan kondisi anak. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan dalam mata pelajaran lain, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti. b. Ciri-ciri anak berkesulitan belajar spesifik: Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) 1) Kesulitan membedakan bentuk, 2) Kemampuan memahami isi bacaan rendah, 3) Sering melakukan kesalahan dalam membaca c. Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia) 1) Sangat lamban dalam menyalin tulisan 2) Sering salah menulis hurup b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya, 3) Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca, 4) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. 5) Menulis huruf dengan posisi terbalik (p ditulis q atau b) d. Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia) 1) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, = 2) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan, 3) Sering salah membilang secara berurutan 4) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, 5) Sulit membedakan bangun-bangun geometri. e. Kebutuhan Pembelajaran Anak Berkesulitan belajar khusus Anak berkesulitan belajar khusus memiliki dimensi kelainan dalam beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, diantaranya: 1) Materi pembelajaran hendaknya disesuikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi anak 2) Memerlukan uratan belajar yang sistimatis yaitu dari pemahaman yang konkrit ke yang abstrak 3) Menggunakan berbagai media pembelajaran yang sesuai dengan hambatannya. 4) Pembelajaran sesuai dengan urutan dan tingkatan pemahaman anak 5) Pembelajaran remedial. 9. Anak Autis a. Pengertian Autis dari kata auto, yang berarti sendiri, dengan demikian dapat diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya. Anak autis cenderung mengalami hambatan dalam interaksi, komunikasi, perilaku sosial. b. Anak autis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mengalami hambatan di dalam bahasa 2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial 3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresi- kan perasaan 4) Kurang memiliki perasaan dan empati 5) Sering berperilaku diluar kontrol dan meledak-ledak 6) Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku 7) Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri 8) Keterbatasan dalam mengekspresikan diri 9) Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan c. Kebutuhan Pembelajaran Anak Autis: Anak autis membutuhkan pembelajaran khusus antara lain sebagai berikut: 1) Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok 2) Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip) 3) Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan 4) Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan. vvv BAB IV KONSEP IDENTIFIKASI A. Aspek yang Perlu Diidentifikasi stilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Dalam buku ini istilah identifikasi ABK dimaksudkan sebagai usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak- anak normal). Setelah dilakukan identifikasi dapat diketahui kondisi seseorang, apakah pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kelainan/ penyimpangan atau tidak. Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) Tunanetra, (2), Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa (5) Anak Tunalaras, (6) Anak lamban belajar, (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, (8) Anak Autis (9) Anak Berbakat, (10). Anak ADHD (gangguan perhatian dan hiperaktif). Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tegolong ABK atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orangorang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuh, guru dan pihak lain yang terkait dengannya. Sedangkan langkah selanjutnya, dapat dilakukan screening khusus secara lebih mendalam yang sering disebut assesmen yang apabila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain. B. Tujuan Identifikasi Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (pisik, intelektual, sosial, emosional). Disebut mengalami kelainan/ penyimpangan tentunya jika dibandingkan dengan anak lain yang sebaya dengannya. Hasil dari identifkasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan progam pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu: 1) Penjaringan (screening), 2) Pengalihtanganan (referal), 3) Klasifikasi, 4) Perencanaan pembelajaran, dan 5) Pemantauan kemajuan belajar. Adapun penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai berikut: 1. Penjaringan (screening) Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus. Contoh alat identifikasi terlampir. Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak­ anak mana yang menunjukan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus. Dengan alat identifikasi ini guru, orangtua, maupun tenaga profesional terkait, dapat melakukan kegiatan penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut. 2. Pengalihtanganan (referal) Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Pertama, ada Anak yang perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak yang perlu dikonsultasikan keahlian lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan therapis, kemudian ditangani oleh guru. Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referal). Bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pendidikan Khusus (Guru PLB) atau konselor. 3. Klasifikasi Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ketenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga profesional ditemukan masalah yang perlu penangan lebih lanjut (misalnya pengobatan, terapi, latihanlatihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi terapi sendiri, melainkan memfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya memberi pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda­tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan kekelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler. C. Sasaran Indentifikasi Secara umum sasaran indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah seluruh anak usia pra- sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangakan secara khusus (operasional), sasaran indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah: a. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah reguler Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi seder­ hana (contoh terlampir), melakukan penjaringan terhadap seluruh peserta didik yang ada di sekolah tersebut untuk menemukan anak-anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang terjaring melalui proses identifikasi, perlu dilakukan langkah-langkah untuk pemberian bantuan pendidikan khusus sesuai kebutuhannya. b. Anak yang baru masuk di Sekolah reguler Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi seder­ hana (contoh terlampir) melakukan penjaringan terhadap seluruh murid baru (peserta didik baru) untuk menemukan apakah di antara mereka terdapat ABK yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang terjaring melalui proses identifikasi ini, perlu diberikan tindakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. c. Anak yang belum/tidak bersekolah Guru Kelas atau tim khusus yang ditugasi sekolah, dengan menggunakan panduan identifikasi seder­ hana, dan/atau bekerjasama dengan Kepala Desa/ Kelurahan, atau Ketua RW dan RT setempat, melakukan pendataan anak berkebutuhan khusus usia sekolah di lingkungan setempat yang belum bersekolah. Anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang belum bersekolah dan terjaring melalui pendataan ini, dilakukan langkah-langkah untuk pemberian tindakan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. D. Petugas Indetifiwkasi Untuk mengindentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan Khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh: 1. Guru kelas; 2. Guru Mata pelajaran/Guru BK 3. Guru Pendidikan Khusus 4. Orang tua anak; dan atau 5. Tenaga profesional terkait. E. Pelaksanaan Indetifikasi Ada beberapa langkah identifikasi anak berke­ butuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out, maka sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan di masyarakat kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat dan posyandu. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya. Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa di sekolah, indentifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menghimpun Data Anak Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasarkan gejala yang nampak pada siswa) dengan menggunakan Alat Indentifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AIABK). Lihat Format 3 terlampir. 2. Menganalisis Data dan Mengklasifikasikan Anak Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong Anak Berkebutuhan Khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar namanama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang disediakan seperti terlampir (Lihat Format 4). Sedangkan untuk anak- anak yang tidak menunjukan gejala atau tanda- tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut. 3. Menginformasikan Hasil Analisis dan Klasifikasi Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah, orang tua siswa, dewan komite sekolah untuk mendapatkan saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya. 4. Menyelenggarakan Pembahasan Kasus (case conference) Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data Anak Berkebutuhan Khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru;(3) orangtua/walisiswa; (4) tenagaprofesional terkait, jika tersedia dan memungkinkan; (5) Guru Pembimbing/Pendidikan Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing- masing guru mengenai hasil indentifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pencegahan serta penanggulangannya. 5. Menyusun Laporan Hasil Pembahasan Kasus Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format hasil pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti pada lampiran (Lihat Format 5). F. Asesmen Sebagai tindak lanjut dari kegiatan indentifikasi anak berkelaian untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: Asesmen merupakan kegiatan penyaringan ter- hadap anak­anak yang telah teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus. Kegiatan asesmen dapat dilakukan oleh guru, orang tua (untuk beberapa hal), dan tenaga profesional lain yang tersedia sesuai dengan kompetensinya. Kegiatan asesmen meliputi beberapa bidang, antara lain: a. Asesmen akademik: Asesmen akademik sekurang-kurangnya meliputi 3 aspek yaitu kemampuan membaca, menulis dan berhitung. b. Asesmen sensoris dan motorik: Asesmen sensoris untuk mengetahui gangguan penglihatan, pendengaran. Sedangkan ases- men motorik untuk mengetahui gangguan motorik kasar, motorik halus, keseimbangan dan lokomotor yang dapat mengganggu pembelajaran bidang lain. c. Asesmen psikologis, emosi dan sosial Asesmen psikologis dapat digunakan untuk mengetahui potensi intelektual dan kepribadian anak. Juga dapat diperluas dengan tingkat emosi dan sosial anak. Ada bagian-bagian tertentu yang dalam pelaksanaan asesmen membutuhkan tenaga professional sesuai dengan kewenangannya. Guru dapat membantu dan memfasilitasi terselenggaranya asesmen tersebut sesuai dengan kemampuan orangtua dan sekolah. Untuk merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari masing- masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita menggunakan strategi pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman (differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda. Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/ hadiah. Tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak. Sedangkan untuk anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers) mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan sebagainya). Demikian pula dalam alokasi waktu, penghargaan/ hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan per- kembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing- masing kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak- anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler. Apabila program dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Siswayangbelajarnyacepattidakharusmendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group) atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan temannya yang autis. Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannnya. Dengan kata lain, anak harus dihargai apa adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih ‘menyenangkan’. Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui penghargaan/penguatan; di dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru. Begitu juga bantuan dan bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang lebih lambat belajarnya. Pada anak-anak autis dan anak yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat mengantarkan semua anakuntuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joyful of learning dan fun of learning). H. Hasil Belajar Siswa Tiap kegiatan belajar harus mempunyai suatu tujuan yang perlu dinilai dengan beberapa cara. Penilaian harus menjabarkan hasil belajar; yaitu memberikan gambaran seberapa jauh siswa berhasil dalam mengembangkan serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan perilaku selama pembelajaran dengan topik atau kurikulum yang fleksibel. Hasil akhir untuk siswa harus berhubungan dengan apa yang dapat mereka lakukan sebelumnya dan apa yang dapat mereka lakukan sekarang. Hal ini tidak ada hubungannya dengan ujian standar yang dilakukan tiap akhir tahun ajaran. Siswa dalam kelompok usia atau kelas yang sama mungkin mempunyai setidaknya tiga tahun perbedaan dalam hal kemampuan umum dibandingkan teman-teman sebayanya dan dalam matematika bisa sampai tujuh tahun perbedaannya. Ini berarti bahwa membandingkan sesama siswa dengan menggunakan tes yang distandarisasi adalah tidak adil untuk seluruh anak (termasuk mereka yang kemampuan akademisnya jauh di bawah rata­rata kelasnya dan mereka yang kecerdasannya sangat jauh di atas teman- teman sebayanya). Seorang guru, orangtua atau konselor harus melihat UASBN ini sebagai penilaian penting sejauh pertimbangan mereka pada peserta didiknya. Salah satu penyebab terbesar rendahnya penghargaan diri pada siswa adalah penggunaan perbandingan, khususnya di sekolah. Ujian akhir ini harus menjadi salah satu komponen penilaian komprehensif dari kemajuan siswa. Ujian ini ditujukan pada peningkatan kesadaran guru, peserta didikdanorangtuaataupembimbingtentangkemampuan siswa. Ini juga harus digunakan untuk mengembangkan strategi mencapai kemajuan selanjutnya. Kita tidak boleh menekankan pada kelemahan atau kekurangan siswa. Tapi, kita harus menayakan apa yang telah dicapai siswa dan menentukan bagaimana kita dapat membantu mereka untuk belajar lebih banyak lagi. Dengan disertai penilaian autentik dan berkelanjutan, maka guru dapat mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan dikuasai anak didik serta beberapa penyebab mengapa siswa tidak termotivasi belajar dan menyelesaikan soal ujian. I. Penilaian Berkelanjutan Untuk menilai hasil belajar ABK tentunya tidak hanya didasarkan pada hasil UASBN, tetapi juga mempertimbangkan dari hasil penilaian berkelanjutan. Penilaian berkelanjutan dilakukan untuk mengamati secara terus menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan oleh siswa. Penilaian ini dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir tahun melalui: obserasi; portofolio; bentuk ceklis (keterampilan, pengetahuan, dan perilaku); tes, kuis; dan penilaian diri serta jurnal reflektif. Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru dapat mengadaptasi perencanaan dan pengajarannya sesuai fase perkembangan belajar siswa, sehingga semua siswa akan mendapatkan peluang untuk belajar dan sukses. ABK di Sekolah Dasar (SD) Dengan model UASBN tentunya setiap siswa diwajibkan menyelesaikan semua soal untuk menguji kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA). Pada kenyataannya ketika UASBN ini dilaksanakan, siswa berkebutuhan khusus di Sekolah yang paradigmanya inklusi mengalami banyak hambatan dalam menyelesaikan soal ujiannya, karena mereka mendapatkan soal yang memiliki tingkat kesulitan dan standar kelulusan yang sama dengan anak- anak lainnya, akibatnya materi yang telah dikuasai oleh ABK tidak cukup memadai untuk menjawab soal­soal yang diujikan. Di samping itu juga cukup dilematis bagi ABK di sekolah reguler, karena mereka tidak mungkin ikut UASBN SDLB yang secara administratif di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi, sementara USBN SD di bawah otonomi masing­masing Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sehingga ABK yang belajar di SD dalam setting Pendidikan Inklusif mendapatkan lembaran soal yang bobotnya sama dengan anak-anak lainnya. Padahal idealnya bahan ujiannya yang menyesuaikan pada kondisi, kompotensi, dan program belajar ABK. Adapun dampak negatif bagi ABK yang mendapatkan soal yang tidak relevan dengan kompetensinya adalah sebagai berikut: (a) Motivasi dan semangat mereka untuk mengikuti ujian menjadi menurun karena mendapat soal ujian yang belum dipahami. (b) Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan soal-soal yang baru dikenalinya. (c) Konsentrasi, atensi, dan rasa percaya diri mereka menjadi berkurang, sehingga potensi dan kemampuan belajar yang telah dikuasainya tidak dapat diwujudkan secara optimal. (d) Peluang ABK untuk mencapai standar kelulusan relatif kecil. vvv BAB V MANAJEMEN SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF A. Pengertian anajemen pendidikan inklusif merupakan proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan inklusif yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan dan evaluasi dengan menggunakan dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia baik personel, material, maupun spritual untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Perencanaan pendidikan inklusif merupakan kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan manusia, keuangan, metode, peralatan serta seluruh sumber daya yang ada untuk efektifitas pencapaian tujuan pendidikan inklusif. Pengorganisasian pendidikan inklusif menyangkut pembagian tugas untuk diselesaikan setiap anggota dalam upaya pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Pengelolaan pendidikan inklusif meliputi kepemimpinan, pelaksanaan supervisi, serta pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat sehingga tujuan sekolah inklusif dapat tercapai. Evaluasi pendidikan inklusif dilakukan untuk menilai apakah segala kegiatan yang telah dilakukan telah mencapai tujuan yang ditetapkan. Pada tatapan mikro, manajemen pendidikan inklusif diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensi secara optimal. Konsep dasar manajemen pendidikan inklusif secara komprehensif dikemukakan oleh Stuubs (2002). Konsep tersebut digambarkan sebagai berikut. INPUT PROCESS OUTCOMES School Achievements School Climates Student Characteristics Attainment Teaching/Learning Family/ Community Characteristics Standards CONTEXTUAL FACTORS B. Ruang Lingkup Adapun komponen atau ruanglingkup manajemen sekolah inklusif adalah meliputi: pengelolaan peserta didik, kurikulum, pembelajaran, tenaga kependidikan, sarana -prasarana, pembiayaan, lingkungan (hubungan sekolah dan masyarakat). 1. Kesiswaan Penerimaan siswa baru pada sekolah inklusif hendaknya memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah inklusif terdekat. Seperti yang dikemukakan oleh Sapon­Shevin O’neil (1995) bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak dapat bersekolah di sekolah terdekat dari tempat tinggalnya. Untuk tahap awal, agar memudahkan pengelolaan kelas, seyogyanya setiap kelas inklusif dibatasi tidak lebih dari dua anak berkebutuhan khusus atau paling banyak 10% dari jumlah kuota siswa yang disediakan sekolah. Pada tahap awal anak berkebutuhan khusus masuk ke sekolah, maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi dan asesmen yang melibatkan tenaga ahli, guru dan orangtua. Identifikais dan asesmen dilakukan pihak sekolah bukan untuk menentukan apakah siswa berjebutuhan khusus diterima atau ditolak, tetapi tujuan identifikasi dan asesmen dilakukan untuk merencanakan pembelajaran. 2. Kurikulum Kurikulum yang digunakan di kelas inklusif adalah kurikulum yang berlaku secara Nasional atau yang digunakan oleh anak pada umumnya (normal). Meskipun untuk anak berkebutuhan khusus yang mempunyai hambatan dalam hal intelektual (tunagrahita, lamban belajar, berkesulitan belajar, CI­BI) memerlukan fleksibilitas dalam hal indikator pencapaian belajar. Pengembangan kurikulum di sekolah penyeleng- gara pendidikan inklusif mengacu pada kurikulum nasional dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Relevansi, Dua relevansi internal dan relevansi eksternal. Internal kebutuhan mengembangkan potensi anak dan mengatasi hambatan anak dan eksternal berupa kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup dimasyarakat dimasa kini dan masa yang akan datang. b. Praktis dan fungsional, Praktis maksudnya dapat dikerjakan oleh anak dengan latihan, dan fungsional dapat digunakan untuk keterampilan di daerah lingkungan keluarga (domestic), sebagai rekreasi, keterampilan di masyarakat, dan keterampilan bekerja. c. Fleksibilitas, Dalam impelementasi, setiap pencapaian kompetensi dasar dibutuhkan waktu belajar, metode dan evaluasi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. d. Berorientasi pada peserta didik, Setiap penetapan kompetensi inti dan kompetensi dasar memerhatikan kebutuhan anak akan kecakapan-kecakapan aktivitas kehidupan sehari-hari dan pada implementasi berdasarkan deskripsi kondisi anak yang telah dimiliki dalam setiap aspek kecakapan. e. Kontinuitas, berkesinambungan, mulai dari kebidupan awal anak sampai kemandirian dalam keluarga dan masyarakat. f. Integratif, Mengintegrasikan bebagai subtansi dasar membaca, menulis dan berhitung dan domain karakter, pengetahuan, sikap dan keterampilan ke dalam penggunaan belajar aspek kecakapan aktivitas kehidupan sehari- hari. g. Program kompensatoris, program pengalihan hambatan anak, misalnya tunanetra belajar menulis dan membaca dengan menggunakan braile. h. Efektivitas dan efisien, semua penggunaan sumber daya pendukung pembelajaran yang digunakan untuk mencapai kompetensi inti dan dasar dilakukan secara efektif dan efisien. 3. Pengelolaan Kelas Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai ’siasat’, ’kiat’,’trik’, atau ’cara’. Sedang secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal adalah dinamakan dengan metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Strategi juga dapat diartikan istilah, teknik dan taktik mengajar. Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode. Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu. Sedangkan mengenai bagaimana menjalankan strategi, dapat ditetapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan tehnik yang dianggapnya relevan dengan metode, dan penggunaan tehnik guru memiliki taktik yang mungkin berbeda antara guru yang satu dengan guru yang lain. Mengacu pada konteks belajar mengajar bahwa strategi dalam penelitian ini adalah tehnik atau siasat yang digunakan guru dan diperagakan oleh guru dan siswa dalam berbagai peristiwa pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Sedangkan pengelolaan kelas terdiri dari dua kata yaitu pengelolaan dan kelas. Pengelolaan merupakan terjamahan dari kata “management”. Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengelolaan adalah penyelenggaraan atau pengurusan agar sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien. Winarno Hamiseno mengemukakan pengelolaan adalah substantifa dari mengelola. Sedangkan mengelola berarti tindakan yang dimulai dari penyusunan data, merencana, mengorganisasikan, melaksanakan sampai dengan pengawasan dan penilaian. Sehingga pengelolaan menghasilkan sesuatu, dan sesuatu itu dapat merupakan sumber penyempurnaan dan peningkatan pengelolaan selanjutnya. Dalam kelas inklusif tentunya terdapat keberagamankarakteristiksiswayangberkebutuhan khusus. Keberagaman tersebut dapat guru jadikan sebagai alat untuk siswa saling bekerjasama. Maka dari itu diperlukan strategi pengelolaam kelas. Bagi siswa hambatan intelektual tentunya sangat sulit untuk belajar secara mandiri. Hal tersebut dikarenakan hambatan yang dimiliki. Sebelum menerapkan strategi pengelolaan kelas guru harus memperhatikan hasil asesmen yang telah dilakukan. Tujuannya adalah agar guru dapat melakukan pemetaan siswa (level mandiri, bimbingan dan belum mampu). Artinya startegi pengelolaan kelas dapat berjalan dengan baik jika diawali dengan asesmen. Berikut adalah contoh gambar pengelolaan kelas di kelas inklusif. Gambar setting kelas inklusif Keterangan: O = siswa mandiri = siswa hambatan intelektual V = siswa hambatan yang lain Gambar di atas menunjukan siswa belajar secara kelompok atau saling berkolaborasi. Hal ini untuk mencegah ketimpangan pembelajaran di dalam kelas. Tujuan lain adalah diharapkan timbulnya sikap bekerjasama dan saling memahami antar siswa satu sama lainnya. 1. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusif berbeda dengan kelas yang regular. Mengingat kelas inklusif terdiri dari keberagaman peserta didik. Berikut adalah contoh RPP yang telah dikembangkan berdasarkan keberagaman peserta didik. vvv BAB VI KOMPETENSI GURU A. Definisi Kompetensi Guru eperti yang telah dideskripsikan, Sekolah inklusif adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka, termasuk anak berkebutuhan pendidikan khusus. Sekolah inklusif sebagai sarana yang ditujukan untuk menanggapi berbagai kebutuhan dari semua peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, serta mengurangi eksklusi atau pengenyampingan dalam dan dari pendidikan. Dengan demikian diperlukan perubahan dan modifikasi dari isi, pendekatan, struktur, strategi, dengan pandangan wajar yang melindungi semua anak; dan merupakan tanggung jawab dari sistem pendidikan reguler untuk mendidik semua anak. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang melihat bagaimana mengubah sistem pendidikan dalam rangka menanggapi keanekaragaman peserta didik. Hal ini memungkinkan baik guru maupun peserta didik merasa nyaman dengan keanekaragaman dan melihatnya sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, daripada sebagai problem. Guru di sekolah inklusif dituntut memiliki penge- tahuan dan keterampilan tentang konsep pendidikan inklusif agar mampu memberikan layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Para guru membutuhkan peningkatan profesional dan mempraktekkan kompetensi pedagogik- nya agar mampu menjalankan tugas sebagai pendidik satuan pendidikan inklusif. B. Tugas Guru Adapun tugas guru di satuan pendidikan penyelenggara inklusif adalah: (1) menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak merasa nyaman belajar; (2) menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak, baik anak berkebutuhan khusus (ABK) atau reguler, untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya; (3) menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus; (4) melaksanakan kegiatan belajar- mengajar dan mengadakan penilaian; (5) memberikan program remidi pembelajaran, pengayaan/ percepatan bagi siswa yang membutuhkan, dan; (5) melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya (Direktorat PLB, 2004: 6-7). Gagasan bahwa guru perlu merubah kelas dan lingkungan belajar agar semua anak bisa belajar, menjadi tuntutan di sekolah inklusif. Oleh karena itu, harapan bahwa guru akan melakukan apapun untuk menjamin bahwa setiap siswa akan belajar dengan baik. Perubahan praktek mengajar secara efektif menuntut inisiatif dan tanggung jawab tingkat tinggi. Para Guru membutuhkan keleluasaan waktu dan energi untuk mengejar pengembangan profesionalitas dan adaptasi praktek secara kontinu. Untuk itu, menurut Weiner (2003:12) guru perlu menumbuhkan hal-hal seperti: (1) belajar dari pengalaman secara terus-menerus; (2) melakukan refleksi; (3) melakukan teoritisasi tentang bagaimana yang terbaik untuk menemukan kebutuhan siswa, baik secara individual maupun secara kolektif; (4) belajar melalui kolaborasi dengan kolega secara terus menerus. Guru perlu melihat keragaman siswa sebagai tantangan yang dapat mereka hadapi secara sukses. Dengan dukungan, para guru dapat berusaha untuk melatih komitmen moral mereka untuk menangani semua siswa sebagai kecakapan untuk menemukan standar prestasi yang tinggi. Dalam keterbatasan pemahaman dan penerimaan akan keberadaan anak berkebutuhan pendidikan khusus, guru membutuhkan pengetahuan dan pengalaman dalam menangani anak berkebutuhan pendidikan khusus. Latar belakang pendidikan yang tidak memberi bekal tentang anak berkebutuhan pendidikan khusus menyebabkan hampir semua guru reguler menghadapi permasalahan dalam menangani mereka. Selain itu, pengetahuan yang terbatas, penerimaan guru juga dapat mempengaruhi perlakuan guru terhadap anak berkebutuhan pendidikan khusus. Penerimaan tersebut juga masih jarang dijumpai (Pavri & Luftig, 2000:24) sehingga tidak mengherankan bila pandangan negatif masih banyak tertuju pada anak berkebutuhan pendidikan khusus. Pujian yang jarang dilakukan, harapan yang rendah, penolakan secara aktif, sering ditujukan kepada anak berkebutuhan pendidikan khusus dibandingkan dengan anak pada umumnya (Pavri & Luftig, 2000:32). Lopes dkk (2004) juga mengemukakan hal serupa bahwa guru reguler merasakan banyak beban ketika menghadapi anak berkebutuhan pendidikan khusus yang membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih banyak daripada teman­ teman yang lain dan tidak menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Pengabaian kebutuhan khusus anak berkebutuhan pendidikan khusus menjadi pengalaman serta pembelajaran konkrit bagi anak yang lain tentang minoritas yang tersisihkan dan hal ini bertolak belakang dengan esensi pendidikan. Perubahan paradigma diperlukan untuk memandang keberadaan anak berkebutuhan pendidikan khusus bukan sebagai anak yang bermasalah dan merepotkan melainkan sebagai tantangan. Keberadaan mereka merupakan peluang bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan sumber belajar bagi teman-teman lain untuk mengembangkan sikap-sikap positif. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Vaidya & Zaslavsky (2000:17) yang mengemukakan bahwa keberadaan anak dengan kebutuhan khusus di kelas reguler membawa dampak positif bagi anak­anak yang lain, antara lain: (1) kehangatan dan kemampuan menjalin persahabatan; (2) mengembangkan pemahaman personal tentang keragaman anak; (3) meningkatkan kepedulian kepada anak lain; (4) pengembangan kemampuan sosial; dan (5) penurunan kecemasan akan perbedaan manusia yang menimbulkan kenyamanan dankesadaran. Oleh karena itu, penanganan anak berkebutuhan pendidikan khusus sejak dini melalui kolaborasi pembelajaran perlu dilakukan. Hal ini tidak saja bermanfaat bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus, namun bagi anak yang lain juga dapat belajar untuk menghargai keragaman potensi. Guru sebagai aktor utama dan yang paling menentukan situasi kelas menjadi fokus dalam penelitian ini. Oleh karena itu, guru diharapkan Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Inklusif dalam Penanganan Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus mampu menerima, menyesuaikan diri dan mengembangkan strategi yang sesuai dengan kondisi maupun kebutuhan anak dalam belajar. Hal tersebut menjadi landasan kuat dalam upaya peningkatan kompetensi guru dalam melakukan kolaborasi pembelajaran. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas untuk semua siswa dalam setting inklusif merupakan tantangan, kepentingan dan isu dalam pendidikan. C. Pembelajaran Kolaboratif Pada masa mendatang sekolah perlu menyiapkan guru yang dapat mengajar pada setting inklusif dan menemukan kebutuhan semua siswa. Salah satu usaha dalam mengatasi permasalahan kompetensi guru sekolahinklusif adalah melalui pembelajaran kolaboratif. Pembelajarankolaboratifanakberkebutuhanpendidikan khusus merupakan bagian integral dari pembelajaran semua anak di sekolah inklusif, namun demikian apakah para guru reguler dan guru pembimbing khusus telah melaksanakan pembelajaran kolaboratif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan pendidikan khusus. Fenomena menunjukkan bahwa belum semua guru reguler dan guru pembimbing khusus telah melaksanakan pembelajaran kolaboratif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif. Berdasarkan hasil studi, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain bahwa guru reguler dan guru pembimbing khusus belum mempunyai kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran kolaboratif terhadap anak berkebutuhan pendidikan khusus. Pembelajaran kolaboratif adalah proses pem- belajaran yang dilakukan oleh guru umum/ reguler dan guru pembimbing khusus dalam menciptakan kegiatan bersama yang terkoordinasi untuk bersama- sama melakukan pembelajaran terhadap kelompok siswa yang heterogen, termasuk anak berkebutuhan pendidikan khsusus dalam setting pendidikan inklusif. Dalam pembelajaran kolaboratif, baik guru umum/ reguler maupun guru pembimbing khusus secara simultan hadir di kelas umum memelihara tanggung jawab bersama untuk menspesifikasikan pembelajaran yang terjadi dalam setting pembelajaran inklusif dimaksud. Selain itu, “Collaboration is an going process whereby educators with difference areas of expertise voluntary work together to create solutions to problems that impeding students success, as well as to carefully monitor and refine those solution... collaboration is a process rather than a specific service delivery model (Walker, Kay, & Ovington (2007:3). Bauwens, Hourcade, & Friend, (1989:36) menyatakan bahwa: Collaborative teaching is a proactive educational approach in which general and special educators and related service providers work in co-active and coordinated fashion to jointly assess, plan for, teach, and evaluate academically and behaviorally heterogeneous groups of students in an educationally integrating setting (i.e.regular classroom). Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif dapat dimaknai sebagai pendekatan dalam pendidikan pro- aktif yang mana guru umum/ reguler dan guru khusus serta penyelenggara layanan terkait, menciptakan kegiatan bersama yang terkoordinasi untuk bersama- sama melakukan akses, rencana pembelajaran dan evaluasi akademik serta perilaku terhadap kelompok siswa yang heterogen termasuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam setting pendidikan terintegrasi/inklusif. vvv BAB VII PENGAYAAN (HASIL PENELITIAN) ebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan sekolah penyelenggara pendidikan inklsuif di Kota Banjarmasin. Maka penulis akan memparkan Rekomendasi Hasil Penelitian Disertasi mengenai evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Banjar menghasilkan rekomendasi sebagai berikut: 1. Pada komponen persiapan (antecendent), pelaksanaan pendidikan inklusif di SMP Negeri 14 dan SMP Negeri 10 mulai dari rekrutmen siswa, rekrutmen guru pendamping khusus (GPK), kurikulum, sarana dan prasarana, pembiayaan dan komite sekolah dapat dikatakan belum berjalan secara efektif. Ketidakefektifan ini didasarkan pada beberapa komponen yang masih belum berjalan sesuai harapan dan kriteria stakeholder. Adapun beberapa komponen tersebut antara lain: Pertama, rekrtumen siswa. Pada proses penerimaan ABK sekolah masih memberikan batasan berupa perjanjian persetujuan pengupahan GPK dan penggunaan tes akademik. Penggunaan batasan tersebut bertentangan dengan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 dan filosofi pendidikan inklusi (pendidikan untuk semua). Kedua, rekrutmen Guru Pendamping Khusus (GPK). Dalam proses rekrutmen GPK pada kedua SMP terdapat perbedaan. Perbedaan ini didasarkan pada kemampuan sekolah dalam membiayai guru GPK. Di SMP Negeri 14 proses rekrutmen GPK berjalan dengan baik dan telah sesuai dengan pedoman disebabkan karena sekolah tersebut mendapatkan bantuan dari orangtua siswa. Sedangkan di SMP Negeri 10 belum mampu melakukan rekrutmen GPK karena tidak adanya kesepakatan antara sekolah dan orangtua siswa. Ketiga, modifikasi kurikulum. Di kedua sekolah masih tetap menggunakan kurikulum reguler yang belum disesuaikan dengan kondisi ABK. Hal ini sangat bertentangan dengan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 tentang Pengembangan Kurikulum. Keempat, sarana dan prasarana. Siswa (ABK) belum memiliki media pembelajaran khusus, meskipun di salah satu SMP telah ada media pembelajaran khusus berupa kartu bergambar, namun hal tersebut belum efektif untuk mendukung kegiatan pembelajaran. Kelima, pembiayaan/pengupahan. Pengupahan bagi GPK masih belum optimal karena upah GPK masih jauh di bawah standar UMP. Mereka hanya menerima dari orangtua ABK dan selebihnya dari sekolah. Sedangkan pembiayaan program pendidikan inklusif masih sangat minim atau belum optimal khususnya bantuan yang diberikan pihak Pemerintah. Dengan keterbatasan tersebut menyebabkan sekolah belum pernah menyusun LPJ tentang pengelolaan dana pendidikan inklusif dengan alasan pengelolaan dana masih sangat terbatas. Keenam, komite sekolah. Dukungan dan partisipasi komite sekolah sudah baik, namun tidak menutup harapan untuk ditingkatkan. Ketujuh, kepuasan orangtua siswa (pengguna). Kepuasan orangtua siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kurang utamanya dalam hal sarana-prasarana, sumber belajar, pendanaan, dan pendekatan pembelajaran untuk ABK. 2. Pada komponen proses (transaction), pelaksanaan pendidikan inklusif dalam hal kemampuan guru merencanakan pembelajaran, kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, dan kemampuan guru dalam melakukan penilaian hasil belajar siswa ABK belum berjalan secaraefektif. Pada komponen ini belum berjalan efektif karena RPP yang disusun masih bersifat reguler/klasikal dan guru pendamping khusus belum menyusun program pembelajaran individual (PPI). Sementara PPI merupakan program pengembangan potensi siswa (ABK) yang sifatnya sangat insidental. Kemudian pada pelaksanaan pembelajaran, meskipun guru telah menfasilitasi pembelajaran yang dapat diakses oleh semua siswa termasuk ABK, namun proses pembelajaran belum dapat dikatakan efektif karena terbatasnya sumber dan media pembelajaran untuk ABK. Dalam hal penilaian pun juga sama. Penilaian hasil belajar ABK belum efektif karena sekolah belum menyediakan penilaian secara kualitatif, artinya masih belum optimal. Penilaian kualitatif ini mencakup aspek perkembangan sosial. 3. Pada komponen produk (outcomes), pelaksanaan pendidikan inklusif belum berjalan secara efektif. Pada komponen ini pada hakikatnya secara keseluruhan berjalan sesuai harapan, akan tetapi pada aspek KKM masih ada sebagaian kecil yang belum memenuhi harapan, sehingga hal tersebut menyebabkan pada komponen ini belum dapat dikatakan efektif. Dengan selesainya penelitian ini, bisa jadi ada beberapa kejadian dan temuan-temuan yang dirasa belum maksimal atau berada di luar dugaan peneliti. Untuk itu, peneliti ingin memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak sebagai berikut: 1. Kepada Pihak Pemerintah a. Sebagai penentu kebijakan pendidikan di bumi nusantara ini, peneliti sarankan dan sangat berharap kepada pihak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan membantu sekolah dalam menyusun buku pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif sesuai dengan SDM dan SDA yang dimiliki. Dalam hal ini Dinas pendidikan dan sekolah perlu melibatkan ahli dalam bidang pendidikan maupun bidang Pendidikan Luar Biasa inklusif (guru SLB) yang jarak sekolahnya dekat dengan Sekolah Inklusif agar peran SLB sebagai Resource Center dapat dioptimalkan untuk pengembangan sekolah inklusi. b. Sebagai pemangku kebijakan pendidikan, peneliti sarankan dan sangat berharap kepada pihak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan membantu sekolah dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sarana dan pra-sarana, sumber belajar, dan media pembelajaran lainnya guna efektifitas proses pembelajaran ABK. c. Perlunya dilakukan sosialisasi secara intens. Dinas pendidikan dan sekolah diharapkan mengadakan kegiatan sosialisasi dengan berbagai cara misalnya; mengadakan kegiatan pentas seni dan budaya yang seluruh pengisi acaranya adalah peserta didik yang berkebutuhan khusus. d. Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Pendidikan diharapkan segera membuka lowongan tenaga pengajar tetap yang memiliki keahlian dalam bidang PLB untuk ditempatkan di sekolah inklusif. e. Perlunya Dinas Pendidikan bekerjasama dengan akademisi dalam melakukan pendampingan di sekolah penyelenggara pendidikan inklsuif untuk meningkatkan kemampuan SDM. f. Dinas pendidikan dan sekolah mengikutkan guru-guru dalam berbagai kegiatan/ pelatihan mengenai strategi pembelajaran di kelas yang inklusif. g. Dalam proses penyesuaian penilaian, Dinas Pendidikan dan pihak sekolah membekali pengetahuan kepada guru-guru mengenai sistem penilaian dengan mengundang ahli atau akademisi ke sekolah secara berkelanjutan. h. Untuk mendukung sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tentang adanya penghargaan bagi guru-guru yang memiliki beban mengajar melebihi batas minimal dan dapat mengembangkan program pembelajaran individual (PPI). Penghargaan tersebut baik berupa materiil (tunjangan hidup) maupun moriil (kenaikan pangkat atau penghargaan yang bersifat akademik). i. Dinas pendidikan mengadakan monitoring ke sekolah secara berkelenjautan terkait penyelenggaraan program pendidikan inklusif dengan melibatkan akademisi dari Universitas. 2. Kepada Pihak Sekolah a. Sekolah merubah sistem perekrutan peserta didik yang berkebutuhan khusus. Sistem yang dimaksud adalah dengan menerapkan kuota minimal 10% dan maksimal 20% setiap tahun ajaran baru. b. Sekolah mengundang ahli atau akademisi dari PLB di Universitas Lambung Mangkurat dalam membantu melakukan identifikasi dan asesmen bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. c. Sekolah mengundang ahli atau akdemisi untuk memberikan pengetahuan kepada guru-guru dalam mengembangkan kurikulum bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. d. Dalam proses pembelajaran, Sekolah perlu melakukan studi banding ke sekolah yang telah melaksanakan pendidikan inklusif dengan baik. e. Sekolah mengundang guru senior atau guru yang telah berpengalaman dalam mengelola pendidikan inklusif untuk memberikan tips tentang strategi pembelajaran bagi ABK. f. Siswa ABK diikutkan dalam ujian nasional inklusif. g. SMA penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan menerima siswa ABK. h. Sekolah perlu menetapkan kebijakan yang menjadi peraturan wajib terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan mengacu pada pedoman penyeleng- garaan pendidikan inklusif Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2007 mulai dari rekrutmen guru, rekrutmen siswa, modifikasi kurikulum sesuai ABK, dan proses pembelajaran dengan menggunakan program pembelajaran individual (PPI). 3. Kepada Pihak Kampus Mahasiswa PLB di Universitas Lambung Mangkurat yang memperoleh beasiswa dari pemerintah wajib membuat surat pernyataan siap ditempatkan pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. vvv DAFTAR PUSTAKA Ali M. (1985). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Aksara Alimin Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak yang mengalami Kehilangan fungsi Penglihatan [on line]. Tersedia http//z.alimin.blogspot. com/2011/11/hambatan-belajar-dan- hambatan.html Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE. Depdiknas. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Jakarta: Depdiknas Furqon. (1999). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Ichrom & Watterdal, T. M. (eds) .(2004). Mengelola Kelas Inklusif dengan Pembelajaran yang Ramah. Jakarta: Direktorat PLB dan Braillo Norway Jhonsen. B. H. &Skjorten ,M. D. (Eds.) (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Alih Bahasa: Susi. S. R. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Mariam. (2001). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar (terjemahan). Bandung: Program Pascasarjana UPI Mc.Conkey, R. at. al. (2001).Understanding and Responding to Children’s Need Inclusive Classroom a Guide for Teachers, Paris: Unesco Mudjito. (2005). Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusiv. Depdiknas. Raven and Rubin. (1983). Sosial Pshicology second Edition. Jhon Wiley and Sons: Canada Sapon-Shevin, M. (1991).Because We Can Change The World: An Practical Guide to Building Cooperative, Inclusive Classroom Communities. Boston: Allyn and Bacon. Stubbs S. (2002). Inclusive Education Where there are a Few Resuerce. Atlas Allience: Oslo Stainback, W. & Stainback, S. (1990). Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H. Brooks. Staub, D. & Peck, C.A. (1995).What are the outcomes for nondisabled students? Educational Leadership.Baltimore: Paul H. Brooks. Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Tentang Pendidikan Nasional Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997. Tentang Perlindungan terhadap Penyandang Cacat. Jakarta: BP Restindo Mediatama UNESCO. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendiidkan Kebutuhan Khusus. Jakarta UNESCO OFFICE . (1999). Open file Inclution. Paris: UNESCO Publisher Sunanto, Djuang. 2009. Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI. Tarsidi, D. (2002). “Jaringan Kerja Untuk Inklusi”. Makalah pada Seminar Pendidikan Inklusif Peringatan Hari Kemerdekaan Louis Braille, Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung. vvv en_US
dc.publisher Parama Publishing en_US
dc.title Pendidikan Inklusif : Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua en_US
dc.type Other en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search DSpace


Browse

My Account