dc.description.abstract |
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah karena berkat rahmat Nya jualah, penyusunan buku Pedoman Pendidikan Jasmani Adptif bagi Anak dengan Hambatan Pendengaran terselenggara atas kerja sama antara Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan Nasional dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Buku pedoman ini menggambarkan tentang proses pembelajaran adaptif untuk anak dengan hambatan pendengaran . Adanya hambatan dan atau gangguan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus terutama pada anak tuna rungu menjadikan siswa berkebutuhan khusus mengalami keterbatasan bahkan tidak mampu untuk mengikuti keseluruhan program pendidikan jasmani yang di tawarkan sekolah. Sehingga dalam rangka mengaktualisasikan pemberian layanan pendidikan dengan kualitas yang sama pada semua peserta didik, dalam pendidikan jasmani untuk peserta didik Tunarungu perlu dilakukan beberapa penyesuaian (adaptasi). Pelaksanaan pendidikan jasmani yang disesuaikan dengan jenis dan kebutuhan khusus peserta didik selanjutnya disebut sebagai pendidikan jasmani adaptif.
Pentingnya pendidikan jasmani untuk peserta didik Tunarungu pada satu sisi dan ketidak pahaman guru dalam membelajarkan peserta didik berkebutuhan khusus di sisi lain, mengimplikasikan perlunya pedoman pembelajaran pendidikan jasmani adaptif di sekolah inklusi maupun SD-LB. Pedoman ini disusun dalam rangka untuk menjembatani kesenjangan/permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan jasmani di Sekolah Inklusi dan SD LB.Semoga buku ini bermanfaat untuk pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus.
Penyusunan buku ini dapat diselesaikan berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Direktorat PKLK Dikdas Kementerian Pendidikan Nasional beserta tim penyusun yang telah bekerja keras menyelesaikan buku pedoman ini. Semoga segala usaha kita memberi dampak yang signifikan terhadap upaya peningkatan mutu Pendidikan Dasar pada umumnya dan Sekolah Inklusif serta Sekolah Dasar Luar Biasa pada khususnya.
Banjarmasin, Desember 2014
Dekan,
DR.H.AHMAD SOFYAN, MA
PENDAHULUAN
Sekarang ini dunia pendidikan kita dihadapkan kepada berbagai tuntutan yang semakin berat. Pada satu sisi pendidikan kita dituntut mengejar ketertinggalannya dengan pendidikan negara-negara lain. Hasil survey berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita semakin jauh tertinggal dibandingkan kualitas pendidikan negara-negara lain. Hasil survey IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) menunjukkan bahwa di bidang kemampuan membaca para siswa SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika siswa SMP ada di urutan ke-34 dari 38 negara; dan kemampuan bidang IPA untuk SMP ada di urutan ke-32 dari 38 negara yang disurvey.
Sementara itu, pada sisi yang lain, pendidikan kita harus bisa mengantisipasi tuntutan pendidikan global. Unesco telah mencanangkan empat pilar pendidikan kesejagatan abad XXI. Keempat pilar pendidikan itu adalah learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (lihat Delors dkk., 1999). Dalam konteks learning to know, pendidikan kita harus mampu mendorong siswa mau dan mampu berbuat untuk menguasai instrumen-instrumen pengetahuan, baik sebagai alat maupun tujuan hidup; learning to do terkait dengan upaya mendorong siswa agar mampu bertindak secara kreatif di lingkungannya; learning to live together terkait dengan upaya agar siswa mampu berperan dan bekerja sama dengan orang lain dalam semua kegiatan manusia; dan learning to be terkait dengan upaya memaksimalkan perkembangan siswa seutuhnya – jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan rasa estetika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual.
Gejala di atas harus segera diatasi sehingga pendidikan kita mampu menjawab segala tuntutan, baik tuntutan global, regional, maupun lokal. Kegagalan dalam mengakomodasi segala tuntutan itu akan semakin memperparah keterpurukan pendidikan kita. Pada gilirannya, kegagalan itu akan berdampak kepada ketidakmampuan pendidikan kita dalam menghasilkan sumber manusia yang mempunyai daya saing tinggi. Hanya pendidikan yang berkualitaslah yang akan mampu menghasilkan manusia-manusia yang kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap berbagai tuntutan, baik tuntutan global, nasional, atau pun regional.
Bagaimana cara mengatasi gejala di atas? Buchori (2001) mengusulkan adanya reformasi pendidikan. Untuk mengatasi keterpurukannya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilakukan reformasi terhadap dunia pendidikan kita. Reformasi dalam arti upaya sadar, berencana, dan berkelanjutan untuk mengubah perspektif dan praktik pendidikan kita ke arah yang lebih baik sehingga mampu menjawab tuntutan global, nasional, maupun regional.
Banyak aspek pendidikan kita yang perlu direformasi, misalnya standar kurikulum dan standar kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, atau yang lain. Standar dari aspek-aspek pendidikan yang kita berlakukan selama ini banyak yang tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan pendidikan abad XXI.
Hingga saat ini sudah mulai tampak adanya berbagai upaya reformasi pendidikan. Pemerintah telah mengeluarkan perangkat perundang-undangan dan peraturan pemerintah dalam rangka mempercepat terjadinya reformasi pendidikan. Perangkat perundang-undangan itu antara lain Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Undang-undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional; Keputusan Mendiknas RI Nomor 052/U/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, serta yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan tentang kurikulum 2013.
Semua perangkat perundang-undangan dan peraturan pemerintah itu sifatnya mengikat sehingga semua pelaku pendidikan, baik pada tingkat pusat hingga daerah harus melaksanakannya. Efektivitas implementasi dari berbagai perundangan tersebut akan baik bila ujung tombak pelaksana pendidikan itu, yakni guru, mempunyai kompetensi.
Beberapa permasalahan yang muncul dalam implementasi kurikulum 2013 di Indonesia utamanya berhubungan dengan layanan pendidikan bagi peserta didik Tunarungu di sekolah Inklusi maupun SLB. Betapa tidak, sekolah inklusi harus melayani peserta didik yang beragam sementara SLB melayani anak berkebutuhan khusus yang juga beragam jenisnya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya diperlukan adaptasi baik kurikulum maupun materi pembelajarannya sehingga layanan pendidikan bagi peserta didik pada umumnya maupun anak berkebutuhan khusus dapat maksimal.
Penyesuaian tersebut juga perlu dilaksanakan dalam pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan yang merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan ditujukan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Adanya hambatan dan atau gangguan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus terutama pada anak tuna rungu menjadikan siswa berkebutuhan khusus mengalami keterbatasan bahkan tidak mampu untuk mengikuti keseluruhan program pendidikan jasmani yang di tawarkan sekolah. Sehingga dalam rangka mengaktualisasikan pemberian layanan pendidikan dengan kualitas yang sama pada semua peserta didik, dalam pendidikan jasmani untuk peserta didik Tunarungu perlu dilakukan beberapa penyesuaian (adaptasi). Pelaksanaan pendidikan jasmani yang disesuaikan dengan jenis dan kebutuhan khusus peserta didik selanjutnya disebut sebagai pendidikan jasmani adaptif.
Pentingnya pendidikan jasmani untuk peserta didik Tunarungu pada satu sisi dan ketidak pahaman guru dalam membelajarkan peserta didik berkebutuhan khusus di sisi lain, mengimplikasikan perlunya pendoman pembelajaran pendidikan jasmani adaptif di sekolah inklusi maupun SD-LB. Pedoman ini disusun dalam rangka untuk menjembatani kesenjangan/permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan jasmani di sekolah inklusi dan SD-LB.
Di Sekolah inklusi maupun SDLB Guru olahraga sebagai praktisi pendidikan jasmani adaptif memegang peranan sentral dalam keberhasilan pembelajaran pendidikan jasmani adaptif. Keberadaan pedoman ini diharapkan dapat mempermudah guru olahraga dalam memahami karakteristik pendidikan siswa Tunarungu, sehingga memberikan kontribusi bagi keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran pendidikan jasmani adaptif di sekolah dasar.
BAB I
PESERTA DIDIK DENGAN HAMBATAN PENDENGARAN
A. Konsep Dasar
Konsep peserta didik dengan hambatan pendengaran yang digunakan selama ini mewakili beberapa istilah yang dalam literature asing dinyatakan sebagai hearing impairment, hearing loss, deaf, deaf mute, dan hard of hearing yang berarti menunjukkan kesulitan, gangguan atau kehilangan pendengaran. Moores (2001: 11) mendefinisikan peserta didik dengan hambatan pendengaranan sebagai berikut: “A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent precludes the understanding of speech throught the ear alone, with or without the use of a hearing aid” yang artinya orang yang tuli adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar biasanya pada tingkat 70 dB atau lebih yang menghambat pemahaman bicara melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Lebih lanjut Moores mengemukakan bahwa “A hard of hearing person is one whose hearing is disabled to extent that makes difficult, but does not preclude, the understanding of speech through the ear alone, with or without a hearing aid” yang artinya orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami ketidak mampuan mendengar biasanya pada tingkat 35-69 dB sehingga mengalami kesulitan, tetatpi tidak menghambat pemahaman bicara melalui pendengarannya, tanpa atau dengan menggunakan alat bantu dengar.
Hallahan dan Kaufman memandang peserta didik dengan hambatan pendengaranan dari dua sisi psikologi dan orientasi pendidikan. Dari sisi orientasi pendidikan lebih menekankan pada seberapa besar dampak peserta didik dengan hambatan pendengaran terhadap kemampuan berbicara maupun perkembangan bicara. Keterkaitan yang erat antara kehilangan pendengaran dengan hambatan perkembangan bicara peserta didik dinyatakan Brill, MacNeil, & Newman (Hallahan & Kauffman, 1994: 304) dalam Definisi-definisi sebagai berikut : (1) Hearing impairment : a generic term indicating a hearing that may range in severety from mild to profound : it includes the subsets of deaf and hard of hearing. (2) A deaf person : is one whose hearing disability reccludes successful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. (3) A hard of hearing person is one who, generally with the use of a heaing aid has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information through audition. Artinya bahwa peserta didik dengan hambatan pendengaran (hearing impairment merupakan suatu istilah umum yang menunjukkan ketidak mampuan mendengar dari ringan sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing)
Boothroyd (Bunawan, 2000: 7) menggunakan istilah peserta didik dengan hambatan pendengaran (Hearing Impairment) untuk menunjukkan pada segala gangguan dalam daya dengar, terlepas dari sifat, faktor penyebab, dan tingkat atau derajat peserta didik dengan hambatan pendengaranan. Secara rinci Boothoyd menggolongkan peserta didik dengan hambatan pendengaranan ringan, sedang dan berat. Menurut A. Van Uden (Bunawan, 2000: 6-7) peserta didik dengan hambatan pendengaran didasarkan atas terjadinya peserta didik dengan hambatan pendengaran yang dikaitkan dengan taraf penguasaan bahasa seorang pesrta didik yaitu tuli pra-bahasa (Prelingually Deaf) yang merujuk pada peserta didik dengan hambatan pendengaran sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia di bawah 1,6 tahun) dan tuli purna bahasa (Postlingually Deaf), yaitu peserta didik dengan hambatan pendengaran yang diperoleh setelah menguasai suatu bahasa dimana penyandangnya telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungannnya.
B. Dampak Hambatan Pendengaran
1. Perkembangan Bicara dan Bahasa
Hambatan Pendengaran akan membawa dampak bagi perkembangan peserta didik. Dampak terbesar dari hambatan pendengaran adalah perkembangan bicara dan bahasa yang mengakibatkan kemiskinan dalam berbahasa. Bencie Woll (Widiati, 2005: 43) menyatakan bahwa pola vokalisasi bayi tuli dengan bayi normal tidak berbeda pada beberapa bulan pertama. Selanjutnya Lennerberg menambahkan apabila bahasa tidak dipelajari pada masa perkembangan, maka seorang peserta didik akan mengalami kesulitan dalam menguasai bahasa.
Bayi yang terlahir dengan hambatan pendengaran, memasuki tahap babling atau mengoceh pada waktu yang sama seperti bayi yang mendengar, tetapi ocehan bayi dengan hambatan pendengaran dengan bayi mendengar secara kualitas berbeda. Perbedaan itu terjadi karena pada bayi mendengar ocehannya diperkuat dengan mendengar ocehannya sendiri dan mendapat respon verbal dari orang dewasa sekitarnya. Sedangkan pada bayi dengan hambatan pendengaran tidak mendengar suaranya sendiri dan tidak mendengar respon verbal orang-orang yang ada disekitarnya sehingga babling peserta didik hambatan pendengaran terhenti.
2. Prestasi Akademik
Prestasi akademik merupakan kecakapan nyata dari hasil peserta didik dalam belajar atau menguasai materi pelajaran yang sesuai dengan kriteria dan kurikulum yang berlaku di sekolah. Kaitannya dengan peserta didik dengan hambatan pendengaran, pada umumnya memiliki intelegensi normal namun sering ditemui prestasi akademiknya lebih rendah dibandingkan dengan peserta didik mendengar seusianya. Bunawan (2000: 10) mengemukakan bahwa peserta didik dengan hambatan pendengaranan tidak mengakibatkan kekurangan dalam potensi kecerdasan mereka, akan tetapi peserta didik dengan hambatan pendengaran sering menampakkan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan peserta didik yang mendengar seusianya.
3. Perkembangan Sosio-emosi
Gangguan pendengaran sering menimbulkan salah sangka pada peserta didik dengan hambatan pendengaran, pada gilirannya ketika dihadapkan pada keharusan melakukan kontak dengan lingkungan sering timbul keraguan dalam dirinya, kondisi demikian menimbulkan keadaan emosi mereka menjadi sering tidak stabil. Uden (Bunawan, 2000: 27-29) mengemukakan beberapa karakteristik kepribadian dan emosi peserta didik dengan hambatan pendengaran pertama sifat egosentris, kuatir terhadap lingkungan baru, ketergantungan pada orang lain, kedua memiliki sifat impulsif yaitu tindakan tanpa perencanaan yang hati-hati dan jelas. Ketiga cepat putus asa dan sikap ketergantungan pada orang lain. Keempat mudah marah dan cepat tersinggung karena memiliki keterbatasan dalam berbahasa lisan.
C. Karakteristik Peserta didik dengan Hambatan Pendengaran
Karakteristik peserta didik dengan hambatan pendengaran dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang khas, karena secara fisik tidak mengalami gangguan yang terlihat. Dampaknya peserta didik dengan hambatan pendengaran memiliki karakteristik yang khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995: 35-39) mendeskripsikan karakteristik peserta didik dengan hambatan pendengaranan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial.
1. Karakteristik dari Segi Intelegensi
Intelegensi peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak berbeda dengan peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran yaitu tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya peserta didik dengan hambatan pendengaran memiliki entelegensi normal dan rata-rata. Prestasi peserta didik dengan hambatan pendengaran seringkali lebih rendah daripada prestasi peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran karena dipengaruhi oleh kemampuan peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, peserta didik dengan hambatan pendengaran memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran. Prestasi peserta didik dengan hambatan pendengaran yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat.
2. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara
Kemampuan peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak bisa mendengar bahasa, maka peserta didik dengan hambatan pendengaran mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga peserta didik dengan hambatan pendengaran akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Peserta didik dengan hambatan pendengaran memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara peserta didik dengan hambatan pendengaran juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Kemampuan berbicara pada peserta didik dengan hambatan pendengaran akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran baik suara, irama dan tekanan suara terdengar monoton berbeda dengan peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran.
3. Karakteristik dari segi emosi dan sosial
Peserta didik dengan hambatan pendengaranan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan. Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti:
a. Egosentrisme yang melebihi peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran
Sifat ini disebabkan oleh peserta didik dengan hambatan pendengaran memiliki dunia yang kecil akibat interaksi dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran, peserta didik dengan hambatan pendengaran hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya melihat apa yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan. Karena peserta didik dengan hambatan pendengaran mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka aka timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka harus untuk melihat, dan hal itu semakin membesarkan egosentrismenya.
b. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
Perasaan takut yang menghinggapi peserta didik dengan hambatan pendengaran seringkali disebabkan oleh kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan berbahasanya yang rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak mampu menyatukan dan menguasai situasi yang baik.
c. Ketergantungan terhadap orang lain
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.
d. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan
Sempitnya kemampuan berbahasa pada peserta didik dengan hambatan pendengaran menyebabkan sempitnya alam fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal yang konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka peserta didik dengan hambatan pendengaran akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum dimengerti atau belum dialaminya. Peserta didik dengan hambatan pendengaran lebih miskin akan fantasi.
e. Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah
Peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Peserta didik dengan hambatan pendengaran akan jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Perasaan peserta didik dengan hambatan pendengaran biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
f. Lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya, peserta didik dengan hambatan pendengaran akan mengungkapkannya dengan kemarahan. Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah mereka mengerti perkataan orang lain, namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain sehingga peserta didik dengan hambatan pendengaran mengungkapkannya dengan kejengkelan dan kemarahan.
Berdasarkan karakteristik peserta didik dengan hambatan pendengaran dari beberapa aspek yang sudah dibahas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dampak dari hambatan pendengaran adalah kemampuan komunikasi yang rendah.
Intelegensi peserta didik dengan hambatan pendengaran umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan tinggi, namun prestasi peserta didik dengan hambatan pendengaran terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan berbahasanya yang rendah. Maka dalam pembelajaran di sekolah harus mendapatkan penanganan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Peserta didik dengan hambatan pendengaran akan berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang sudah dialaminya dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan. Peserta didik dengan hambatan pendengaran membutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya yaitu metode yang dapat menampilkan kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya. Metode pembelajaran untuk peserta didik dengan hambatan pendengaran haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan tidak membiarkan peserta didik untuk berfantasi mengenai hal yang belum diketahui.
D. Klasifikasi peserta didik dengan hambatan pendengaran
Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus. Hal ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya pembelajaran yang efektif. Dalam menentukan peserta didik dengan hambatan pendengaranan dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi peserta didik dengan hambatan pendengaranan adalah sebagai berikut. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau peserta didik dengan hambatan pendengaranan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau peserta didik dengan hambatan pendengaranan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau peserta didik dengan hambatan pendengaranan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau peserta didik dengan hambatan pendengaranan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau peserta didik dengan hambatan pendengaranan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi peserta didik dengan hambatan pendengaranan menjadi tiga, yakni berdasar pada sifat terjadinya berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa.
1. Berdasarkan sifat terjadinya
a. Peserta didik dengan hambatan pendengaranan bawaan, artinya ketika lahir peserta didik sudah mengalami/menyandang hambatan pendengaran, peserta didik dengan hambatan pendengaran dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.
b. Peserta didik dengan hambatan pendengaranan setelah lahir, artinya terjadinya peserta didik dengan hambatan pendengaran setelah peserta didik lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
2. Berdasarkan tempat kerusakan
a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif.
b. Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.
3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan.
4. Bersadarkan Sisa Kemampuan Mendengar
a. Kategori peserta didik yang kemampuan mendengarnya masih dapat difungsikan. Mereka yang kondisinya seperti ini dapat dilayani dengan cara mendekatkan posisi peserta didik dengan hambatan pendengaran sedekat mungkin kepada sumber suara. Cara lainnya yaitu dengan memaksimalkan frekuensi sumber suara.
b. Kategori peserta didik dengan hambatan mendengar yang pendengarannya sudah tidak dapat berfungsi total. Mereka yang kondisinya seperti ini dibantu dengan mengkompensasikan indra pendengaran kepada indra penglihatan, jadi informasi akan banyak disampaikan secara visual.
Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk menentukan bagaimana intervensi yang akan dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis klasifikasi termasuk yang sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi di atas merupakan jenis klasifikasi yang membagi peserta didik dengan hambatan pendengaran menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kehilangan pendengarannya dan tempat terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan memfokuskan subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi peserta didik dengan hambatan pendengaran bawaan, ketika lahir anak sudah mengalami peserta didik dengan hambatan pendengaran sehingga intervensi yang lambat mempengaruhi kemampuan berbahasa peserta didik dengan hambatan pendengaran.
E. Prinsip Pembelajaran
1. Prinsip pembelajaran umum
Tujuan pembelajaran harus tercapai secara aktif dan efesien maka guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku pada peserta didik pada umumnya, namun demikian, karena di dalam kelas inklusi terdapat peserta didik berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan sensorisneurologis dibanding dengan peserta didik pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan peserta didik.
Prinsip-prinsip umum pada pembelajaran peserta didik dengan hambatan pendengaran adalah:
a. Prinsip motivasi guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada peserta didik dengan hambatan pendengaran agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
b. Prinsip latar/konteks guru perlu mengenal peserta didik dengan hambatan pendengaran secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang di lingkungan sekitar, dan maksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran.
c. Prinsip keterarahan setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas menetapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
d. Prinsip hubungan sosial dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, orangtua dengan guru, peserta didik dengan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip belajar sambil bekerja dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan praktek/percobaan atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, bertanya, menalar, mendemonstrasikan, penilaian dan sebagainya.
f. Prinsip individualisasi guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap peserta didik secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuan, kelambanannya dalam belajar, dan perilakunya sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing peserta didik mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip menemukan guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing peserta didik untuk terlibat secara aktif baik fisik, mental,sosial dan emosional.
h. Prinsip pemecahan masalah guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan yang ada di lingkungan sekitar, dan siswa dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis dan memecahkan masalah yang sesuai dengan kemampuan.
2. Prinsip Pemecahan Masalah
a. Prinsip keterarahan wajah peserta didik dengan hambatan pendengaran adalah peserta didik yang mengalami gangguan pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut peserta didik dengan hambatan pendengaran dengan istilah ”permata”, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya. Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan hendaknya menghadap ke peserta didik dengan hambatan pendengaran (face to face). Sehingga peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat membaca gerak bibir guru, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapat memahaminya, maka peserta didik dengan hambatan pendengaran diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
b. Prinsip keterarahan suara. Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, peserta didik hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar peserta didik dengan hambatan pendengaran terutama dalam pembentukan sikap, pribadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya. Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal atau ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dikenali peserta didik. Demikian pula, bagisiswa yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
c. Prinsip Keperagaan. peserta didik dengan hambatan pendengaran karena mengalami ganguan organ pendengaran, maka mereka lebih banyak menggunakan indera penglihatan yang arah prinsipnya keperagaan.
F. Pelayanan Pembelajaran
1. Pembelajaran dalam setting kelas inklusi
Pembelajaran Peserta didik dengan hambatan pendengaran di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan Peserta didik dengan hambatan pendengaran di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
a. Peserta didik dengan hambatan pendengaran harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum Peserta didik dengan hambatan pendengaran dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar Peserta didik dengan hambatan pendengaran mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup Peserta didik dengan hambatan pendengaran hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
b. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatar belakang Pendidikan Khusus, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatar belakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
c. Guru regular hendaknya memahami karakteristik peserta didik dengan hambatan pendengaran serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap peserta didik dengan hambatan pendengaran agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
d. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
e. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan peserta didik dengan hambatan pendengaran .
f. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi Peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat dilakukan. Pembelajaran peserta didik dengan hambatan pendengaran yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan.
2. Pembelajaran dalam setting kelas segregasi
Pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).
Pembelajaran bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan peserta didik dengan hambatan pendengaran tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan peserta didik dengan hambatan pendengaran menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini peserta didik dengan hambatan pendengaran diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga peserta didik dengan hambatan pendengaran mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
a. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati peserta didik dengan hambatan pendengaran.
Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta peserta didik untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (peserta didik dengan hambatan pendengaran dengan peserta didik dengan hambatan pendengaran atau peserta didik dengan hambatan pendengaran dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang peserta didik dengan hambatan pendengaran dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Peserta didik dengan hambatan pendengaran menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami peserta didik dengan hambatan pendengaran secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri dan membaca permulaan pada Peserta didik dengan hambatan pendengaran menurut MMR merupakan membaca audio visual.
Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya peserta didik dengan hambatan pendengaran mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa peserta didik dengan hambatan pendengaran berlangsung secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah yang relevan untuk peserta didik dengan hambatan pendengaran, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru, sehingga sekalipun di dalam kelas regular peserta didik dengan hambatan pendengaran tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan peserta didik yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami peserta didik dengan hambatan pendengaran terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan. Pembelajaran Peserta didik dengan hambatan pendengaran di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa peserta didik dengan hambatan pendengaran yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai peserta didik dengan hambatan pendengaran dengan hambatan pendengaran, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
b. BKPBI dan Bina Wicara
1) Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
2) Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
3) Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
4) Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru luar biasa bagian peserta didik yang mengalami hambatan pendengaran, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
5) Manfaat diselenggarakannya pembelajaran BKPBI bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran sebagai berikut :
a) Agar peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati peserta didik yang tidak mengalami hambatan pendengaran.
b) Agar kehidupan emosi peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang dengan lebih seimbang.
c) Agar penyesuaian peserta didik dengan hambatan pendengaran menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
d) Agar motorik peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang lebih sempurna.
e) Agar peserta didik dengan hambatan pendengaran mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem… brem… brem…’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi Secara singkat.
Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sekolah yang di dalamnya terdapat peserta didik dengan hambatan pendengaran, hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatar belakang pendidikan luar biasa kajian peserta didik dengan hambatan pendengaran, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa Peserta didik dengan hambatan pendengaran melalui BKPBI dan Bina Wicara. Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun Peserta didik dengan hambatan pendengaran tetap mendapatkan latihan BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata peserta didik dengan hambatan pendengaran bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Pembelajaran peserta didik dengan hambatan pendengaran di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan peserta didik dengan hambatan pendengaran di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu peserta didik dengan hambatan pendengaran tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu peserta didik dengan hambatan pendengaran untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan dan Bina Wicara. Memasukan peserta didik dengan hambatan pendengaran ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dengan hambatan pendengaran tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan peserta didik dengan hambatan pendengaran saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan peserta didik dengan hambatan pendengaran sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan peserta didik dengan hambatan pendengaran dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran peserta didik dengan hambatan pendengaran yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga peserta didik dengan hambatan pendengaran keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.
G. Sarana Prasarana untuk Peserta didik dengan Hambatan Pendengaran
1. Alat Assesmen (Assesmen kelainan pendengaran digunakan untuk mengukur kemampuan mendengarkan, menentukan tingkat sumber bunyi, dan kekuatan bunyi.
a. SCAN TEST (alat untuk mendeteksi pendengaran)
b. BUNYI –BUNYIAN(segala alat yang dapat menimbulkan bunyi)
c. GARPUTALA(pengukur tinggi nada)
d. AUDIOMETER & BLANGKO AUDIOGRAM
e. MOBILE SOUND PROOF
f. SOUND LEVEL METER
2. Alat Bantu Dengar (Hearing Aid)
a. Model saku
b. Model telinga belakang
c. Model dalam telinga
d. Model kaca mata
e. Hearing Group
f. Loop Induction System
3. Latihan bina persepsi bunyi dan irama
Anak peserta didik dengan hambatan pendengaran biasanya memiliki gangguan dan hambatan dalam berkomunikasi dan bahasa. Untuk membantunya digunakan alat bantu sebagai berikut:
a. Cermin,
b. Alat latihan meniup (seruling, terompet,kapas, peluit),
c. Alat musik perkusi,
d. Sikat getar,
e. Lampu aksen,
f. Meja latihan wicara,
g. Speech and Sound Simulation, Spatel.
4. Alat Latihan Fisik
Pengembangan kemampuan fisik Peserta didik dengan hambatan pendengaran. Alat-alat yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut:
a. Bola,
b. Net voly,
c. Bola sepak,
d. Meja tenis,
e. Raket,
f. Net bulu tangkis,
g. Suttle cock,
h. Power rider.
BAB II
PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF
A. Definisi Pendidikan Jasmani Adaftif
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pendidikan jasmani dan olahraga adaptif, sebaiknya kita pelajari lebih dahulu tentang istilah "adaptif'. Istilah Adaptif yang digunakan dalam kontek pendidikan jasmani dan olahraga berasal dari bahasa inggris, yaitu yaitu adapted atau adaptif (Sherrill,1993), Saat ini mungkin kita dihadapkan pada istilah yang membingungkan, apakah adaptif yang kita pakai merujuk pada kata adapted/adaptive. Untuk menjawabnya, mari kita coba untuk melihat lebih jauh kata adapted dan adaptif. Adaptif artinya mencocokan, mengatur suatu keadaan untuk penyesuaian, mengakomodasi, atau memodifikasi sesuatu hal disesuaikan dengan apa yang diperlukan atau dibutuhkan (Kebutuhan akan pengembangan atau yang berhubungan dengan lingkungan).
Para guru menyesuaikan isi kurikulum, pedagogi pembelajaran, penilaian dan metodologi evaluasi serta lingkungan fisik tetapi juga menolong siswa untuk dapat menyesuaikannya. Pembelajaran disesuaikan secara aktif dalam proses yang terus menerus. Jelasnya, adaptive digunakan untuk menggambarkan perilaku. Jean Piaget (1962), mungkin yang paling mengetahui tentang psikologi anak, konsep dasar teori perkembangannya bahwa adaptation adalah karakteristik dasar kehidupan manusia (Philip, 1969, Piaget, 1962).
Menurut Piaget, terdapat dua tipe penyesuaian perilaku yaitu asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accommodation). Asimilasi terjadi ketika sebuah organisme menggabungkan sensory input ke dalam sistem, sehingga terjadi proses. Atau lebih mudahnya diperumpamakan sebuah makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia dan terjadilah sebuah proses didalamnya. Piaget mengatakan sistem ini sebagai suatu proses asimilasi. Akomodasi terjadi ketika sensori input tidak berubah, tetapi persepsi kemampuan gerak berubah dan persepsi terhadap lingkungan menjadi lebih baik. Piaget mengatakan bahwa imitasi lebih mendekati akomodasi. Penyesuaian perilaku terjadi ketika asimilasi dan akomodasi dalam keadaan seimbang, meskipun demikian keseimbangan ini sifatnya temporary sebab pertumbuhan dan perkembangan terdiri dari penyesuaian yang terus menerus. Jadi kesimpulannya. Pendidikan adalah adapted, tetapi perilaku adalah adaptive. Kekurangan di dalam penyesuaian perilaku adalah masalah perkembangan, pendewasaan, pembelajaran, dan penyesuaian sosial yang membuat individu melakukan kesalahan untuk menemukan standar atas ketidak-ketergantungan diri dan pengalaman sosial yang diharapkan dari kelompok usianya dan budayanya. Tujuan pendidikan jasmani adaptif adalah untuk memperbaiki kekurangan di dalam penyesuaian perilaku.
Program pendidikan jasmani dan olahraga adaptif bagi individu yang berkebutuhan khusus dan yang memiliki keterbatasan kemampuan, sangat banyak dan luas. Sering kita dengar tentang individu yang memiliki kelainan, berpartisipasi aktif di dalam kegiatan olahraga dan berhasil menjadi juara. Sebagai contoh, Heinz Frei (Switzerland) dan Jean Driscoll (USA) dengan kursi rodanya berhasil memecahkan rekor marathon Boston dalam waktu 1 : 21'23". Kemudian Jim Abbott, seorang pitcher dari New York Yankees yang lahir tanpa tangan kanan, berhasil melempar bola tanpa bisa dipukul oleh lawannya. Willma Rudolph; yang cacat sejak lahir mendapatkan tiga medali emas pada nomor lari 100, 200, dan 4 x 400 meter pada olimpiade Roma. Pada tahun 1970, Tom Dompsey yang lahir dengan satu kaki kanan saja (liga nasional Amerika) mengukuhkan diri sebagai pencetak gol paling jauh (65 yard atau sekitar 60 meter).
Casey Martin, yang memiliki kecacalan impairment yang serius pada kakinya bergabung dengan Kippel-Trenaunay Weber syndrome, terkenal sebagai pe-golf yang handal dan berbakat. Contoh-contoh ini menggambarkan apa yang dapat diperoleh ketika mendapatkan kesempatan (Winnick, 2005).
lndividu yang dalam hidupnya mengabdikan diri dalam dunia pendidikan jasmani dan olahraga biasanya adalah pelaku aktif dalam dunia pendidikan dan olahraga. Meskipun demikian jarang diantaranya yang betul-betul mempersiapkan diri untuk menggeluti atau mendalami bidang pendidikan jasmani dan olahraga adaptif. Apalagi dengan secara sengaja menerjunkan diri untuk melatih peserta didik berkebutuhan khusus dari tidak mampu hingga menjadi orang hebat seperti yang saya ceritakan tadi. Kita berharap bahwa pada suatu hari akan bertambah banyak pemerhati terutama dari kalangan mahasiswa yang mau menggeluti bidang ini.
Apabila dalam sebuah institusi pendidikan atau dalam sebuah organisasi sosial diberikan pendidikan jasmani dan olahraga maka sebaiknya pendidikan ini juga diberikan kepada para peserta didik berkebutuhan khusus. Berilah kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk melibatkan diri di dalam pendidikan jasmani dan olahraga tanpa ada diskriminasi buat mereka.
1. Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan Adaptif
Sebelum berbicara lebih jauh tentang pendidikan jasmani adaptif, mari kita menyamakan konsep tentang definisi dan arti kata "pendidikan jasmani adaptif': Pendidikan jasmani Adaptif adalah sebuah program yang bersifat individual yang meliputi fisik/jasmani, kebugaran gerak, pola dan keterampilan gerak dasar, keterampilan-keterampilan dalam aktivitas air, menari, permainan olahraga baik individu maupun beregu yang didesain bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Secara khusus istilah adaptif berarti mengatur penyesuaian atau membuat menjadi baik. Di dalam buku ini akan digunakan kata adaptif seperti yang dimaksudkan di atas. Jadi pendidikan jasmani adaptif merupakan kegiatan yang didesain untuk memperbaiki, merehabilitasi kehidupan peserta didik berkebutuhan khusus.
Pendidikan jasmani adaptif dipandang sebagai bagian dari disiplin ilmu pendidikan jasmani yang diharapkan dapat memberi rasa aman, dapat memupuk kepribadian, dan memberi pengalaman penuh kepada peserta didik yang memiliki kemampuan khusus. Pendidikan jasmani adaptif pada umumnya dirancang untuk pertemuan jangka panjang bagi mereka yang berkebutuhan khusus (lebih dari 30 hari). Yang dimaksud dengan individu yang berkebutuhan khusus disini adalah individu yang memiliki kelemahan dalam mangoptimalkan kemampuan berpikirnya (lndividu with Disabilities Education Act disingkat IDEA).
IDEA adalah kelompok impairmenf (kelainan) seperti: keterbelakangan mental (Mental Retardation), ketulian atau kesulitan dalam mengoptimalkan pendengarannya (deafness), kebisuan atau kesulitan dalam berbicara, kebutaan (blindness), gangguan emosi yang serius, kelainan tulang, autisme, cedera/kerusakan otak, kekurang mampuan untuk belajar, gangguan pendengaran, pengelihatan dan multi kelainan atau gangguan kesehatan lainnya yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus.
Peserta didik yang berusia 3 sampai dengan 9 tahun yang memiliki hambatan dalam perkembangannya seperti hambatan perkembangan: fisik, pengetahuan, komunikasi, sosial atau emosional membutuhkan pendidikan dan pelayanan secara khusus. (OSE/RS, lOffice of Special Ed ucation and Reh ab ilitative Service: 2002). (Winnick, 2005).
Pendidikan jasmani adaptif harus didesain untuk bayi dan anak-anak sampai dengan usia 3 tahun. Bayi harus ditangani secara serius sejak dini sebab siapa tahu si bayi dan anak ini mempunyai hambatan perkembangan dalam: pengetahuan, fisik, komunikasi, sosial, emosional dan penyesuaian .(lDEA, 1997).
Mereka sudah didiagnosis kondisi mentalnya kemungkinan besar mengalami hambatan dalam perkembangannya. Jika bayi dan anak-anak ini tidak ditangani secara dini dikuatirkan akan beresiko tinggi terhadap perkembangannya. Pendidikan jasmani adaptif baru bisa diberikan secara formal dalam lembaga yang ditunjuk mulai dari anak usia 4 tahun sampai dengan usia 21. Pendidikan harus dirancang oleh badan terkait tidak hanya untuk orang normal tetapi juga untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Meskipun demikian bagi mereka yang tidak melanjutkan dalam lingkungan yang formal, maka sebaiknya program pendidikan jasmani adaptif ini dapat merambah mereka yang tidak masuk ke dalam jenjang pendidikan seperti yang disebutkan tadi. Pendidikan jasmani adaptif ini harus dikembangkan pula untuk mereka yang cacat karena kecelakaan, salah obat, kondisi tubuh yang lemah, perkembangan keterampilan gerak yang rendah, dan ketidak-normalan postur tubuh. Sehingga mereka memperoleh kemajuan dalam mengembangkan hidupnya.
Pendidikan olahraga harus menekankan pada program aktivitas fisik yang aktif. Untuk mendapatkan program aktivitas fisik yang aktif ini para guru harus melibatkan para orang tua, siswa, guru dan bagian administrasi dan bidang disiplin ilmu lainnya untuk bersama-sima duduk menentukan program pendidikan jasmani yang baik buat mereka. Didalam buku ini pendidikan jasmani adaptif dipandang sebagai bagian penting dari pendidikan aktivitas gerak.
2. Olahraga Adaptif
Olahraga adaptif adalah olahraga yang dirancang secara khusus untuk individu yang memiliki kemampuan terbatas dengan menggunakan peralatan yang dimodifikasi. olahraga ini di buat khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus dengan merujuk kepada olahraga yang sesungguhnya yaitu olahraga yang biasa dilakukan oleh orang normal. sebagai contoh, bola basket adalah permainan orahraga beregu yang biasa dimainkan oleh orang normal, agar permainan ini dapat dilakukan oleh para peserta didik berkebutuhan khusus maka permainan bola basket harus dimodifikasi baik dari segi alat maupun perlengkapan lainnya.
Bagi peserta didik berkebutuhan khusus di bagian bawah tubuhnya (rower limb) maka dapat digunakan variasi alat dengan kursi roda. Bagi penyandang tunanetra, meskipun di Jepang sudah diciptakan fasilitas guna keperluan belajar basket tunanetra tetapi dengan keterbatasan penglihatan masih terlalu sulit untuk dapat memasukan bola dengan benar pada keranjang (basket). selain itu dibeberapa negara berkembang masih dirasakan sulit untuk memfasilitasinya karena faktor biaya. oleh karena itu agar permainan dengan menggunakan bola basket ini dapat dinikmati oleh penyandang tunanetra maka permainan harus dimodifikasi dengan bentuk permainan lainnya yang sejenis misalnya dengan permainan goal ball. Goal ball dapat dilakukan dengan menggunakan bola basket yang di dalamnya dimasukan bel atau bunyi-bunyian.
Di dalam sebuah referensi yang ditulis winnick (2005) disebutkan bahwa adapted sport encompasses "drsability sporl" (e.g., Deaf sport), which typically focuses on segregated participation in regular or adapted sport. Although disability sporf terminotogy has been used as a term encompassing sport related to individuats with disability, adapted sport terminology is preferred for the foltowing reasons. Melihat pada teori yang dikemukakan oleh winnick di atas tampak bahwa terdapat dua istilah yang sampai saat ini masih diperdebatkan dikalangan ahli olahraga peserta didik berkebutuhan khusus ini. Dua istilah itu adalah adapted sport dan disability sport atau lebih mudah disebut sebagai sport for disable. Kedua istilah ini sebenarnya hanya merupakan dua kalimat yang satu sama lain saling menjelaskan. Kita tidak perlu bingung dengan perdebatan ini, karena tampak jelas disini hanya ingin ditegaskan bahwa Adapted Sport mencakup Disabitity Sport artinya bahwa Olahraga adaptif adalah olahraga yang dimodifikasi untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Meskipun istilah disabitity sport sudah digunakan sebagai olahraga yang digunakan untuk peserta didik berkebutuhan khusus tetapi istilah Adaptif Sport tampaknya lebih familier dan akan digunakan dalam buku ini. Yang penting buat kita adalah penggunaan istilah ini konsisten dengan istilah pendidikan jasmani adaptif dan olahraga adaptif, yaitu pendidikan dan olahraga yang dimodifikasi.
Pendidikan jasmani adaftif adalah pendidikan jasmani yang diadaptasikan dan atau dimodifikasi untuk memudahkan peserta didik berkebutuhan khusus berpartisipasi aktif dalam pembelajaran pendidikan jasmani adaptif di sekolah.
Adaptasi dan atau modifikasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani adaptif tersebut ditujukan untuk memudahkan peserta didik berkebutuhan khusus, agar peserta didik memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi aktif secara aman dengan kegiatan yang menyenangkan dalam pembelajaran bersama peserta didik reguler yang lain di sekolah inklusi. Untuk dapat berpartisipasi secara aktif, aman dan menyenangkan dalam pendidikan jasmani adaptif diperlukan adanya kreativitas dan kepekaan guru. Dalam memahami kebutuhan khusus peserta didik, kreativitas dan kepekaan guru dalam memodifikasi dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah bagi semua peserta didik menjadi faktor utama. Dengan kreativitas guru, diharapkan bahwa semua peserta didik dalam kelas inklusi berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
3. Sejarah Olahraga Adaptif
Ajang prestasi olahraga lebih familiar bagi para atlet sejati yang berlaga di arena pertandingan olahraga pada umumnya dan jarang menyebutnya sebagai sarana unjuk kebolehan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Saat ini bila kita meneliti lebih jauh ke dalam dunia peserta didik berkebutuhan khusus, maka akan kita temukan nuansa yang sama di dalam kompetisi olahraga. Ajang prestasi olahraga tidak lagi menjadi milik orang normal tetapi juga milik para peserta didik berkebutuhan khusus. Dari mulai tingkat Internasional hingga ke tingkat daerah telah melaksanakan pertandingan olahraga untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Ditingkat lnternational biasanya kita dengar istilah Paralympic Games. Paralympic games ini adalah pertandingan olahraga bagi para peserta didik berkebutuhan khusus dari semua jenis ketunaan. Melihat dari asal usul katanya, paralympic games berarti parallel pada Olympic Games, dan bukan berasal dari kata paraplegia atau paralysrs. Moto Olimpiade adalah Citius, Altius, Fortius. Sedangkan moto asli paralympic adalah Mind, Body, Spirit. Belakangan moto paralympic ini berubah menjadi Spirit in Motion. Kedua moto tersebut mengandung arti "Menampilkan (prestasi olahraga) sebanyak apa yang dapat mereka lakukan" (Chien, 2003).
Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti yang dikemukakan Winnick (2005) bahwa:
a. Tahun 1870, olahraga base ball pertama kali di perkenalkan di SLB peserta didik dengan hambatan pendengaran di Ohio.
b. Tahun 1885, diperkenalkan olahraga sepak bola ala Amerika dikalangan peserta didik sekolah-sekolah di lllinois. Sepak bola menjadi pelajaran olahraga utama di SLB peserta didik dengan hambatan pendengaran diakhir abad ini.
c. Tahun 1906, diperkenalkan pertama kali olahraga bola basket di SLB Wisconsin. Perkumpulan dari SLB peserta didik dengan hambatan pendengaran ini, tercatat sebagai tim penantang yang tangguh bagi sekolah umum lainnya.
d. Tahun 1924, dilaksanakan kompetisi formal Internasional di luar program sekolah. Kompetisi bagi para peserta didik dengan hambatan pendengaran ini pertama kali dilaksanakan di Paris dan di ikuti oleh 9 negara. .
e. Tahun 1945, AAAD (American Athletic Association for the Deaf) mendirikan, dan mempromosikan kompetisi olahraga bagi orang yang mempunyai hambatan pendengaran. .
f. Tahun 1907 Dilaksanakan pertemuan antara sekolah Overbrook dan Baltimore untuk menentukan juara bagi setiap penyandang tunanetra yang bertanding dalam kompetisi olahraga. .
g. Tahun 1900, Sir Ludwig Guttman (Bapak Kursi Roda Dunia) dari Stoke Mandeville, lnggris sedikit demi sedikit memperkenalkan pertandingan olahraga sebagai bagian intergral dari rehabilitasi para veteran penyandang cacat korban peperangan. .
h. Tahun 1949, Universitas lllinois menyelenggarakan pertandingan bola basket kursi roda untuk pertama kali. Sekaligus menghasilkan peraturan permainan bola basket kursi roda (National Wheelchair Basketb al I Associ atio,/ NWBA).
i. Tahun 1950, Ben Lipton mendirikan National Wheelchair Athletic Association (NWAA), juga mensponsori pertandingan olahraga untuk individu berkebutuhan khusus spinal cord, dan pengguna kursi roda lainnya.
j. Tahun 1968, presiden Joseph P. Kennedy, Jr., mendirikan dan mempromosikan pertandingan olahraga khusus penyandang tunagrahita.
Diakhir abad ke 20 telah banyak didirikan perkumpulan-perkumpulan olahraga berkebutuhan khusus multi even untuk tunanetra, tunagrahita, CP, cedera otak, stroke, dwarfism, dan les autres seperti: American Association of Adapted Sport's programs (AAASP), Adapted Spods Programs in Recreation and Education (ASPIRE). Dan American Assocrafion for Adapted Lifestyles and Frfness (AAALF).
Berikut ini adalah tokoh-tokoh yang berjasa dalam dunia pendidikan jasmani dan olahraga adaptif. Yang pertama adalah Sir Ludwig Guttman, beliau dikenal sebagai Bapak Kursi Roda Dunia. Tokoh-tokoh yang lainnya yang mengembangkan keilmuan dalam bidang philosofi, dasar-dasar teoritis, penelitian, program pendidikan dan pengajaran adaptif diera tahun 1991 tercatat sepuluh orang, yaitu: (1) David M. Auxter dari Universitas Slippery Rock Pennsylvania. (2) Lawrence Rarick dari Universitas California di Barkeley, (3) Julian U. Stein, dari Aliansi kesehatan, pendidikan jasmani, rekreasi dan dansa universitas Goerge Mason. (4) Thomas M. Vodola dari Township of Ocean School District di (1New Jersey, (5) Janet Wesse/, dari Universitas Michigan.
Sedangkan di era tahun duaribuan dikenal beberapa orang yang dalam hidupnya terus mengabdikan diri di dunia pendidikan jasmani dan olahraga adaptif, adalah sebagai berikut: (6) David Beaver dari Universitas Western lllinois; (7) Gudrun Doll Tepper dari Universitas Berlin, (8) John Dunn dari Unversitas Oregon, (9) Claudine Sherrill dari Universitas Wanita Texas; (10) Joseph P. Winnick dari Universitas New York; Sir Ludwig Guttman, yang dikenal sebagai Bapak Olahraga Kursi Roda dan Hideo Nakata dari Universitas Tsukuba.
B. Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan Adaptif
Karakteristik utama pembelajaran di sekolah inklusi adalah adanya program pembelajaran individual (PPI). Dengan program pembelajaran individual dimaksudkan agar tujuan pembelajaran dapat memenuhi kebutuhan setiap individu sesuai jenis dan tingkat kebutuhan khusus (keterbatasan) peserta didik. Program pembelajaran individual dalam konteks ini bukan berarti pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan satu persatu tetapi dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik berkebutuhan khusus akan berada bersama dan berpartisipasi aktif dengan peserta didik lainnya, berada pada tempat yang sama dengan materi pembelajaran yang serupa. Namun dalam pembelajaran adaptif ini masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus dalam pelaksanaan pembelajarannya (materi) disesuaikan dengan kapasitas masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Keragaman ini yang menjadikan pendidikan jasmani adaptif berbeda dan khusus, karena akan dikaitkan dengan kebutuhan spesifik peserta didik.
Di bawah ini adalah karakteristik pembelajaran pendidikan jasmani adaptif :
1. Keterlibatan semua peserta didik, baik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus harus berpartisipasi dalam aktivitas yang sama dalam waktu yang sama.
2. Adanya pencacatan yang teratur dan lebih spesifik untuk masing-masing kebutuhan khusus peserta didik, catatan/dokumentasi guru tersebut sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai alat assesment terhadap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki peserta didik sebagai baseline (kemampuan awal) dalam pengembangan strategi pembelajaran yang tepat.
3. Adanya modifikasi dan penyesuaian yang fleksibel sesuai dengan karakteristik pembelajaran masing-masing kebutuhan khusus peserta didik. Misalnya bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran yang mengikuti kegiatan volly, maka ia akan dapat berpartisipasi dengan sukses dalam kegiatan tersebut bila aturan yang dikenakan kepada peserta didik dimodifiksi dengan memvisualisasikan pengarahan selama pelaksanaan pendidikan adaptif.
4. Kemajuan hasil belajar peserta didik berkebutuhan khusus dilihat dari kemampuan awal masing-masing individu, bukan dengan diperbandingkan dengan teman sekelas yang lain.
Apabila pembelajaran pendidikan jasmani adaptif mampu mewujudkan prinsip-prinsip tersebut, maka pendidikan jasmani adaptif dapat membantu peserta didik melakukan penyesuaian sosial dan pengembangan rasa percaya diri. Dengan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus akan berprilaku dan berperan sebagai subjek bukan lagi hanya sebatas sebagai obyek dalam lingkungan pembelajaran di kelasnya.
Program pendidikan jasmani adaptif (penjas adaptif) bagi peserta didik berkebutuhan khusus pada dasarnya memerlukan pemikiran dan ketelitian yang cukup tinggi dan rasional. Program pembelajaran penjas adaptif akan berhasil, jika fokus kegiatan dirujukkan pada perbaikan tingkat kemampuan fisik dan ketidakmampuan fisik peserta didik serta meminimalkan hambatan-hambatan yang dicapai dalam kehidupannya. Materi pembelajaran penjas adaptif terdapat dalam kurikulum materi pembelajaran peserta didik reguler. Namun yang membedakannya adalah strategi dan model pembelajarannya yang disesuaikan dengan jenis serta tingkat hambatan peserta didik berkebutuhan khusus, artinya jenis aktivitas penjas adaptif yang terdapat dalam kurikulum dapat diberikan dengan berbagai penyesuaian.
Sesuai dengan jenis hambatan peserta didik berkebutuhan khusus, maka pemebelajaran penjas adaptif memiliki karakteristik tersendiri yang harus mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat menghambat kelancaran pembelajaran. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus disusun secermat mungkin dan dapat dilaksanakan secara tepat oleh peserta didik, sehingga terhindar dari cedera otot atau sendi. Pemilihan materi yang tepat dapat membantu dalam perbaikkan penyimpangan postur tubuh, meningkatkan kekuatan otot, kelincahan, kelenturan dan meningkatkan kebugaran jasmani.
Setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, maka pembelajaran harus diklasifikasi dan disesuai dengan kondisi hambatan dan potensinya. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis dan materi pembelajaran penjas adaptif yaitu :
a. Mempelajari rekomendasi dan diagnosis dokter yang menangani peserta didik berkebutuhan khusus sebelumnya
b. Menemukan faktor-faktor kelemahan dan kelebihan peserta didik berdasarkan hasil asesmen penjas
c. Menemukan jenis penjas adaptif kesenangan yang paling diminati peserta didik
1) Menentukan jenis dan latihan bentuk pemanasan
2) Memberikan latihan-latihan ringan sebelum berorientasi pada latihan yang berat
3) Latihan harus dilakukan sistematis
4) Pemberian motivasi sebelum latihan
5) Memberikan contoh gerakan yang baik secermat mungkin
6) Melakukan evaluasi secara terus-menerus terhadap kemajuan peserta didik
7) Mengoreksi gerakan yang salah secara berulang-ulang, serta
8) Memberikan frekuensi latihan yang sesuai dengan kemampuan peserta didik
C. Tujuan Pendidikan Jasmani Adaftif
Pendidikan jasmani adaptif bertujuan untuk membantu peserta didik mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional dan sosial secara optimal dalam program pembelajaran yang dirancang secara khusus dan penjas adaptif membantu peserta didik berkebutuhan khusus membangun perwujudan diri sehingga dapat berkembang secara optimal dan memberikan kontribusi secara menyeluruh kepada masyarakat. Lebih rinci tujuan penjas adaptif diantaranya:
a. Mengoreksi sikap tubuh, keterbatasan fisik, mobilitas, postur tubuh dan mekanika tubuh. Setidaknya penjas adaptif dapat mencegah kondisi yang memperburuk keadaan anak berkebutuhan khusus.
b. Memberikan kesempatan untuk mempelajari dan berpartisipasi dalam berbagai macam olahraga serta aktifitas jasmani secara aman dan menyenangkan bersama peserta didik lain dalam satu kelas tanpa dibedakan.
c. Menanamkan nilai-nilai dan sikap positif terhadap keterbatasan kemampuan yang dimiliki peserta didik berkebutuhan khusus dan menanamkan sikap positif dengan saling menghargai bagi peserta didik reguler di kelas inklusi.
d. Membantu peserta didik melakukan penyesuaian sosial sehingga mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan memiliki rasa percaya diri serta harga diri.
e. Mengembangkan keterampilan gerak yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari secara mandiri.
f. Mengembangkan keseimbangan diskriminasi sensorik integrasi dan fungsi sensorimotor, pengembangan keterampilan lokomotor dan non-lokomotor. Pengembangan keterampilan kontrol terhadap objek.
g. Mengembangakan keterampilan bermain, memanfaatkan waktu luang, rekreasi dan olahraga.
h. Mengembangkan kemampuan fisik sebagai bentuk manajemen aktivitas keseharian dan kesehatan. Pengembangan keterampilan fisik dan motor yang diperlukan sebagai keterampilan prasyarat khusus yang diperlukan untuk kehidupan mandiri
D. Manfaat Pendidikan Jasmani Adaptif
Setiap orang tidak terkecuali peserta didik berkebutuhan khusus dapat mempelajari dan mendapatkan manfaat disetiap aktivitas fisik/berolahraga, manfaat tersebut akan lebih maksimal apabila guru dapat mengetahui bagaimana caranya mengadaptasikan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masinng. Manfaat dari pendidikan jasmani adaptif dalam Abdoellah diantaranya :
1. Manfaat bagi jasmani.
Melalui aktifitas penjas adaptif yang terencana dan terlaksana secara kontinyu pertumbuhan jaring-jaring otot dan tulang distimulus, sehingga kondisi jasmani peserta didik dapat diperbaiki dengan aktivitas jasmani. Dan dapat pula dikembangkan dan dipertahankan kekuatan tubuh, daya tahan, kelentukan dan mobilitas sehingga dapat mengembangkan tingkat kesegaran yang optimal.
2. Manfaat bagi keterampilan gerak.
Olah raga dalam berbagai macam gerakan atau permainan dapat membantu perkembangan keterampilan gerak, guru olahraga yang kreatif dapat membantu tiap peserta didik mengembangkan koordinasi syaraf-otot (neuromuscular), dalam keterampilan gerak, melalui gerakan-gerakan kreatif.
3. Manfaat emosional.
Pembelajaran penjas adaptif peserta didik diajarkan untuk menghargai perbedaan dan bertoleransi atas beberapa kondisi yang berbeda, peserta didik dengan bimbingan guru dapat diarahkan agar dapat menguasai emosinya dengan mentaati peraturan permainan yang telah disepakati sebelumnya.
4. Manfaat kognitif.
Strategi dan taktik dalam setiap permainan membutuhkan pemikiran, olah pikir diperlukan dalam setiap kali permainan dalam pendidikan jasmani sehingga dengan demikian dapat meningkatkan perkembangan intelektual peserta didik.
E. Ciri Pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif
Sifat program pengajaran pendidikan jasmani adaptif memiliki ciri khusus yang menyebabkan nama pendidikan jasmani ditambah dengan kata adaptif. Adapun ciri tersebut adalah:
1. Program Pengajaran Penjas adaptif disesuiakan dengan jenis dan karakteristik kelainan peserta didik berkebutuhan khusus. Hal ini dimaksutkan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus berpartisipasi dengan aman, sukses, dan memperoleh kepuasan. Misalnya bagi peserta didik yang memakai korsi roda satu tim dengan yang normal dalam bermain basket, ia akan dapat berpartisipasi dengan sukses dalam kegiatan tersebut bila aturan yang dikenakan kepada peserta didik yang berkorsi roda dimodifikasi. Demikian dengan kegiatan yang lainnya. Oleh karena itu pendidikan Jasmani adaptif akan dapat membantu dan menolong peserta didik memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya.
2. Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh peserta didik. Kelainan pada Anak luar Biasa bisa terjadi pada kelainan fungsi postur, sikap tubuh dan pada mekanika tubuh. Untuk itu, program pengajaran pendidikan Jasmani adaptif harus dapat membantu peserta didik melindungi diri sendiri dari kondisi yang memperburuk keadaanya.
Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu PDBK. Untuk itu pendidikan Jasmani adaptif mengacu pada suatu program kesegaran jasmani yang progressif, selalu berkembang dan atau latihan otot-otot besar. Dengan demikian tingkat perkembangan PDBK akan dapat mendekati tingkat kemampuan teman sebayanya.
Apabila program pendidikan jasmani adaptif dapat mewujudkan hal tersebut di atas. Maka pendidikan jasmani adaptif dapat membantu peserta didik melakukan penyesuaian sosial dan mengembangkan perasaan peserta didik memiliki harga diri. Perasaan ini akan dapat membawa peserta didik berprilaku dan bersikap sebagai subjek bukan sebagai objek di lingkungannya.
F. Peran Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif
Wrightmen dalam Usman (1977 : 1) mengemukakan peran guru adalah serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilaksanakan. Dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan peserta didik yang menjadi tujuannya berdasarkan definisi tersebut, guru harus mampu bertingkah laku yang dapat mendorong pada kemajuan belajar peserta didiknya.
Di dalam penjas adaptif, tentunya terjadi proses belajar mengajar. Berkaitan dengan proses belajar mengajar maka peran guru dalam penjas adaptif adalah sebagai: Demonstrator, pengelola kelas, fasilitator, mediator dan evaluator.
G. Modifikasi Pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif
Bila kita lihat masalah dari kelainannya, jenis Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dikelompokkan menjadi:
1. PDBK yang memiliki masalah dalam sensoris
2. PDBK yang memiliki masalah dalam gerak atau motoriknya
3. PDBK yang memiliki masalah dalam belajar
4. PDBK yang memiliki masalah dalam tingkah lakunya
Masalah yang disandang dan karakteristik setiap jenis PDBK, maka menuntut adanya penyesuaian dan modifikasi dalam pengajaran Pendidikan Jasmani bagi PDBK. Penyesuaian dan modifikasi dari pengajaran penjas bagi PDBK dapat terjadi pada:
1. Modifikasi aturan main dari aktifitas pendidikan jasmani.
2. Modifikasi keterampilan dan tehniknya.
3. Modifikasi tehnik mengajarnya.
4. Modifikasi lingkungannya termasuk ruang, fasilitas dan peralatannya.
Seorang PDBK yang satu dengan yang lain, kebutuhan aspek yang dimodifikasi tidak sama. PDBK yang satu mungkin membutuhkan modifikasi tempat /arena bermainnya. PDBK yang lain mungkin membutuhkan modifikasi alat yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Tetapi mungkin yang lain lagi disamping membutuhkan modifikasi arena bermainnya juga butuh modifikasi alat dan aturan mainnya. Demikian pula seterusnya, tergatung dari jenis masalah, tingkat kemampuan dan karakteristik dan kebutuhan pengajaran dari setiap jenis PDBK.
Dibawah ini dapat diuraikan sedikit tentang modifikasi olahraga lari estafet bagi PDBK yang dikhususkan pada peserta didik dengan hambatan pendengaran.
1. Mofikasi atauran main
Dalam melakukan permainan ini dapat bagi dalam beberapa grup bisa 4 atau 5 grup, dalam satu grup kita batasi 6 orang peserta saja. Masing-masing pelari wajib menyerahkan tongkat estafet kepada teman yang satu grup tanpa menggunakan bantuan guru. Adapun jarak berlari dari satu peserta ke peserta yang lain kira-kira 1,5 meter sampai 2 meter.
2. Modifikasi Keterampilan dan tekhnik
Teknik star bagi PDBK yang menyandang hambatan pendengaran dapat dimodifikasi dengan mengibarkan bendera star. Sedangkan untuk menyerahkan tongkat istafet tetap menggunakan aturan umum.
3. Modifikasi lingkungannya termasuk ruang fasilitas dan peralatan
Lingkungan yang bisa kita gunakan dalam lari estafet ini bisa saja lapangan bulu tangkis, lapangan basket, aula kelas atau lorong sekolah.
H. Strategi Pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif untuk Peserta Didik
Hambatan Pendengaran
Guna meningkatkan kemampuan dalam pembelajaran guru pendidikan jasmani adaptif untuk peserta didik hambatan pendengaran harus belajar cara berkomuikasi yang baik dengan berbagai cara komunikasi yang sering digunakan untuk peserta didik hambatan pendengaran. Komunikasi secara oral dilakukan terhadap peserta didik hambatan pendengaran yang mampu menangkap ujaran guru melalui membaca bibir (lips reading) sedangkan peserta didik hambatan pendengaran yang tidak mampu menangkap ujran guru maka guru harus belajar berkomunikasi secara manual (isyarat dan ejaan jari) sehingga dapat meningkatkan komunikasi dengan peserta didik hambatan pendengaran dalam kelas atau lapangan. Selain itu, dengan menggunakan isyarat tangan dapat membantu peserta didik tanpa hambatan pendengaran untuk berkomunikasi lebih baik dengan teman sebaya yang mengalami hambatan pendengaran sehingga salah instruksi dan salah paham dapat dihindari.
Guru Pendidikan jasmani adaptif untuk peserta didik hambatan pendengaran dapat menggunakan isyarat lokal (islok), bahasa isyarat baku (sistem isyarat bahasa indonesia) maupun komunikasi total secara serempak. Schmit dan Dunn (1980) menyarankan menggunakan isyarat yang mudah dipahami yang ditempel pada papan pengumuman. Isyarat-isyarat itu dapat bervariasi dari yang konkret ke abstrak yang meyatakan konsep kesadaran tubuh (body awareness), kesadaran ruang dan kualitas gerak. Umpamanya, gambar sebuah tangan dapat menyatakan penggunaan tangan saja dalam tugas satu gerak, panah dapat menyatakan arah gerak, satu garis berombak dengan banyak puncak dan lembah dapat menyatakan rangkaian gerak yang cepat. Isyarat lokal mungkin lebih dapat diterima peserta didik hambatan pendengaran tetapi akan menyulitkan peserta didik hambatan pendengaran ketika berkompetisi di luar daerahnya, maka sebaiknya anak dibiasakan menggunakan isyarat yang sudah baku dan dipakai di seluruh indonesia (SIBI). Penting sekali menggunakan teknik komunikasi yang tidak hanya digunakan dalam pendidikan tetapi, juga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah atau instruksi yang dapat dilakukan terhadap peserta didik hambatan pendengaran sebaiknya dilakukan secara benar seperti pada ranah-ranah berikut ini:
1) Psikomotor
• Petunjuk atau perintah sebaiknya divisualisasikan dalam papan pengumuman, papan tulis, gambar atau video
• Dalam memberikan instruksi manfaatkan kemampuan indra yang lain terutama mata
• Hindarkan lingkungan yang bising karena peserta didik hambatan pendengaran sulit membedakan antara perintah dengan bunyi-bunyi latar belakang
• Guru atau peserta didik hambatan pendengaran yang lebih baik kemampuannya dapat dijadikan model
• Berikan kegiatan pendidikan jasmani adaptif untuk meningkatkan kemampuan kerja jantung, kelenturan tubuh setiap olah raga
2) Kognitif
• Jangan memperlakukan peserta didik hambatan pendengaran seperti mengajar peserta didik hambatan kecerdasan
• Menirukan gerakan adalah cara yang paling mudah dalam pembelajaran pendidikan jasmani adaptif pada peserta didik hambatan pendengaran dari pada penjelasan secara verbal
• Gunakan media pembelajaran secara yang dapat dilihat oleh peserta didik hambatan pendengaran seperti bendera, cahaya lampu, gerakan tubuh atau gerakan tangan. Bisa juga menggunakan media audio seperti megaphone atau peluit tapi harus dibunyikan secara keras sesuai dengan kemampuan dengar peserta didik
3) Afektif
• Kegaiatan pendidikan jasmani yang bersifat kebersamaan atau mengembangkan kemampuan bersosialisasi lebih diprioritaskan
• Tanamkan sikap sportif, jujur, berani dan mandiri
• Sebaiknya jumlah peserta didik hambatan pendengaran yang belajar pendidikan jasmani antara 7 sampai dengan 10 anak.
BAB III
PEMBELAJARAN
1. Prinsip Pembelajaran
Pembelajaran penjas adaptif bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran diarahkan untuk tetap mempergunakan suara, hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan sisa pendengaran yang dimiliki peserta didik agar tidak terjadi penurunan potensi auditorisnya. Tersampaikannya informasi secara benar dan utuh menjadi problem penting dalam setiap konteks pembelajaran yang melibatkan peserta didik dengan hambatan pendengaran di dalamnya. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip strategi komunikasi instruksional yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan melibatkan peserta didik yang mengalami hambatan pendengaran.
1. Psikomotor
a. Berikan contoh gerakan yang jelas, berikan tahapan intengritas gerakan. Gunakan indera lain untuk instruksional. Berikan bantuan khusus dalam menggunakan bantuan visual, sepert isyarat melalui bendera, papan pengumuman, papan tulis, video, cermin dan demonstrasi, serta gunakan tuntunan tangan untuk menggunakannya.
b. Berikan model dari sikap static dan dinamis yang baik. Gunakan cermin dan alat visual lainnya untuk mendorong memiliki sikap tubuh yang baik
Seluruh rentangan perkembangan aktivitas amat penting bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran. Tekankan berjalan, lari, lompat. Di samping keterampilan koordinasi mata-kaki dan mata-tangan, karena kemampuan tersebut dibutuhkan seumur hidup.
2. Kognitif
a. Peserta didik dengan hambatan pendengaran/wicara tidak memiliki hambatan intelektual meskipun komunikasi dengan peserta didik ini perlu dengan bahasa yang jelas dan keterarahwajahan (guru tidak membelakangi peserta didik). Guru penjas adaptif perlu selalu memperhatikan masalah dari peserta didik ini karena kekurangannya ini penyebab utama kurangnya berprestasi.
b. Menirukan gerak yang didemonstrasikan adalah cara berkomunikasi yang penting bagi guru. Gunakan hanya kata-kata esensial atau gerak untuk menyampaikan suatu pesan. Ulangi pesan lisan dengan cara lain bila komunikasi terputus. Jangan lakukan gerak bibir secara berlebihan bagi peserta didik dengan model pembaca ucapan/ lipsing. Tetap tinggal di tempat dan minta peserta didik mendekat dan bertatap muka dengan guru.
c. Gunakan penangkap perhatian dengan berbagai cara seperti mengangkat tangan, menghentakkankan kaki, cahaya senter dan bendera berwarna. Usahakan lingkungan mengajar cukup terang.
d. Gunakan instruksi atau petunjuk secara komtal.
3. Afektif
a. Aktivitas sosial menjadi prioritas tertinggi, sehingga pembelajaran klasikal( berkelompok/bersama-sama) lebih diutamakan dalam pendidikan jasmani adaptif dari pada pembelajaran individual yang rendah konteks aktifitas sosialnya.
b. Berikan berbagai macam aktivitas jasmani yang melibatkan orang lain. Pengalaman gerak itu dapat melatih pengendalian emosi peserta didik terutama pada konteks pembelajaran penjas adaptif yang dilaksanakan di lapangan yang bersifat kompetisi.
c. Perkenalkan dengan alat dan fasilitas harus mendahului aktivitas. Semua petunjuk penting harus disampaikan dengan jelas dan lengkap sebelum aktivitas lapangan dilaksanakan.
2. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran penjas adaptif peserta didik dengan hambatan pendengaran sesuai dengan kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan ilmiah atau scientific approach pada proses pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara tematik. Menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran. Pendekatan ini sebagaimana dimaksud dalam permendikbud no 81A tahun 2013 meliputi; mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, mengasosiasi, mengkomunikasikan. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap, transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Pendekatan ilmiah dalam pembelajaran penjas adaptif dapat disajikan seperti berikut ini:
1. Mengamati
Mengamati adalah proses mengenal objek melalui penggunaan indra yang dimiliki, misalnya dengan melihat/menonton, dan membaca. Sehingga peserta didik akan memperoleh konsep awal dan menemukan permasalahan-permasalahan dalam materi yang akan dipelajari. Proses ini juga menyebabkan peserta didik memahami obyek secara nyata, senang, tertantang, dan memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran selanjutnya.
Contoh kegiatan mengamati dalam pembelajaran materi pokok sepak bola:
a. Mencari dan membaca informasi variasi dan kombinasi teknik teknik permainan sepak bola (mengumpan, mengontrol, menggiring, posisi, dan menembak bola ke gawang) dari berbagai sumber media cetak atau elektronik. Proses pengamatan ini dapat dilakukan sebelum atau sesudah pembelajaran.
b. Mengamati pertandingan sepak bola secara langsung dan atau di TV/Video dan membuat catatan tentang variasi dan kombinasi teknik dasar (mengumpan, mengontrol, menggiring, dan menembak bola ke gawang) dan membuat catatan hasil pengamatan, atau
c. Bermain sepak bola dan yang lainnya mengamati pertandingan tersebut, dan membuat catatan tentang kekuatan dan kelemahan variasi dan kombinasi (mengumpan, mengontrol, menggiring, posisi, dan menembak bola ke gawang) yang dilakukan oleh temannya selama bermain
2. Menanya dan Mengamati
Pada proses ini guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan berbagai masalah yang ditemukan pada saat proses pengamatan dengan berbagai bentuk h pertanyaan baik yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan kompetensi yang akan diraihnya.
Contoh kegiatan menanya dalam pemainan sepakbola:
a. Pertanyaan yang berhubungan dengan afektif: bagaimana jalannya permainan sepakbola bila tidak didukung oleh kerjasama team?
b. Pertanyaan yang berhubungan dengan keterampilan: bagaimana jalannya bola jika titik perkenaan bola dengan kaki dirubah (bawah, tengah dan atas bola)?”, apakah jarak titik tumpu berpengaruh terhadap kekuatan menendang bola?, berapakah kekuatan di transfer ke bola sehingga bola sampai pada jarak yang diinginkan?.
c. Pertanyaan yang berhubungan dengan kognitif: apa manfaat permainan sepak bola terhadap kesehatan dan otot-otot yang dominan yang dipergunakan dalam permainan sepak bola.
d. berikan stimulus anak untuk bertanya dan memberikan tanggapan.
2. Mengumpulkan informasi/eksperimen
Kegiatan mengumpulkan informasi/eksperimen ini merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi yaitu untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan terkait dengan pengembangan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Contoh kegiatan eksperimen dalam pemainan sepakbola:
a. Mengeksperimenkan bermain sepak bola tanpa kerjasama tim
b. Mengeksperimenkan cara menendang dengan merubah titik perkenaan kaki dengan bola secara individual, berpasangan atau berkelompok dalam posisi di tempat dan sambil bergerak dasar fundamental dengan menunjukkan nilai disiplin, menghargai perbedaan, dan kerjasama.
3. Mengasosiasi/menalar
Menalar adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah menalar dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan beragam peristiwa untuk kemudian dijadikan sebagai dasar pembuatan keputusan.
Contoh kegiatan menalar dalam pemainan sepakbola:
a. Mencari hubungan antara titik perkenaan bola dengan kaki dikaitkan dengan arah gerak bola sehingga mampu memilih alternatif terbaik.
b. Mencari hubungan antara jenis tendangan dengan sasaran yang hendak dicapai sehingga mampu memilih alternatif terbaik.
c. Mencari hubungan antara permainan sepak bola dengan kesehatan dan kebugaran tubuh.
5. Mengomunikasikan
Mengomunikasikan adalah proses penyajian berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam bentuk penyampaian informasi, peragaan keterampilan, dan sikap dalam pembelajaran atau kehidupan. Contoh kegiatan mengomunikasikan dalam pemainan sepakbola:
Melakukan permainan sepak bola dengan menggunakan peraturan yang dimodifikasi dengan menerapkan gerak dasar fundamental permainan sepak bola (mengumpan, menghentikan, dan menggiring) serta menunjukkan sikap sportif, kerjasama, bertanggung jawab, menghargai perbedaan, disiplin, dan toleransi selama bermain.
C. Materi ajar penjas adaptif peserta didik dengan hambatan pendengaran di SD
Kelas 1
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak dasar lokomotor , seperti lompat, loncat, jalan, lari dan gerak dasar non- lokomotor, seperti memutar, mendorong, menarik dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi
9. Mengenal konsep berbagaii pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
10. Mengenal konsep penggunaan pola gerak dasar lokomotor dan non-lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/ dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
11. Mengenal lingkungan kolam dengan duduk dan berdiri di pingir kolam yang dangkal
12. Mengenal bagian-bagian tubuh sendiri, kegunaan, dan cara menjaga kebersihannya terutama badan, kuku, kulit, gigi, rambut, hidung, telinga, tangan dan kaki.
13. Mempraktekkan gerak dasar lokomotor , seperti lompat, loncat, jalan, lari dan gerak dasar non- lokomotor, seperti memutar, mendorong, menarik dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi
14. Mempraktekkan berbagaii pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
15. Mempraktekkan penggunaan pola gerak dasar lokomotor dan non-lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/ dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
16. Mempraktekkan duduk dan berdiri di pingir kolam yang dangkal..*
17. Menceriterakan bagian-bagian tubuh sendiri, kegunaan, dan cara menjaga kebersihannya terutama badan, kuku, kulit, gigi, rambut, hidung, telinga, tangan dan kaki.
Kelas 2
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak dasar manipulatif seperti menendang, melempar, menangkap dalam bentuk permainan tradisional sederhana yang dimodifikasi
9. Mengenal konsep berbagaii pola gerak dasar dinamis, seperti menolak, mengayun, melayang di udara, berputar, dan mendarat) dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
10. Mengenal konsep penggunaan pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/ dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana
11. Mengenal konsep dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar lokomotor dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana *
12. Mengenal cara menjaga kebersihan pakaian yang digunakan
13. Mempraktekkan gerak dasar manipulatif seperti menendang, melempar, menangkap dalam bentuk permainan tradisional sederhana yang dimodifikasi
14. Mempraktekkan berbagaii pola gerak dasar dinamis, seperti menolak, mengayun, melayang di udara, berputar, dan mendarat) dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
15. Mempraktekkan penggunaan pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/ dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana
16. Mempraktekkan dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar lokomotor dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana *
17. Menceriterakan cara menjaga kebersihan pakaian yang digunakan.
Kelas 3
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak variasi pola gerak dasar lokomotor dan non lokomotor dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi
9. Mengenal konsep variasi berbagai pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki, dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
10. Mengenal konsep penggunaan variasi pola gerak dasar lokomotor dan non- lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
11. Mengenal konsep dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana *.
12. Mengetahui cara menjaga kebersihan kelas seperti; piket membersihkan lingkungan kelas, papan tulis dan lingkungan sekolah seperti halaman sekolah sesuai kemampuan
13. Mempraktekkan gerak variasi pola gerak dasar lokomotor dan non lokomotor dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi
14. Mempraktekkan variasi berbagai pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki, dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
15. Mempraktekkan penggunaan variasi pola gerak dasar lokomotor dan non- lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
16. Mempraktekkan dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana *.
17. Mempraktekkan cara menjaga kebersihan kelas seperti; piket membersihkan lingkungan kelas, papan tulis dan lingkungan sekolah seperti halaman sekolah sesuai kemampuan.
Kelas 4
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak variasi pola gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi.
9. Mengenal konsep variasi berbagai pola gerak dasar dominan dinamis, seperti menolak, mengayun, melayang di udara, berputar, dan mendarat) dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan
10. Mengenal konsep penggunaan variasi pola gerak dasar lokomotor, non- lokomotor dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
11. Mengenal konsep dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar lokomotor dan manipulatif dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana *
12. Mengetahui apa yang dilakukan dan dihindari sebelum dan setelah melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan
13. Mengetahui apa yang dilakukan dan dihindari sebelum dan setelah melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan
14. Mempraktekkan gerak variasi pola gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi.
15. Mempraktekkan gerak variasi pola gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi.
16. Mempraktekkan dasar pengenalan di air menggunakan gerak dasar lokomotor dan manipulatif dalam bentuk permainan terutama yang berhubungan dengan gerakan kaki, tangan dan tubuh dalam aktivitas air secara sederhana
17. Menceriterakan apa yang dilakukan dan dihindari sebelum dan setelah melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan.
Kelas 5
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak kombinasi pola gerak dasar lokomotor dan non lokomotor dalam berbagai bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi.
9. mengenal konsep kombinasi berbagai pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan.
10. Mengenal konsep penggunaan kombinasi pola gerak dasar lokomotor dan non-lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana
11. Mengenal konsep gerak dasar mengambang (water trappen) di air dalam aktivitas air sesuai dengan kemampuan *
12. Mengenal konsep kebutuhan istirahat, tidur, dan pengisian waktu luang untuk menjaga kesehatan
13. Mempraktekkan gerak kombinasi pola gerak dasar lokomotor dan non lokomotor dalam berbagai bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional yang dimodifikasi.
14. Mempraktekkan kombinasi berbagai pola gerak dasar dominan statis, seperti bertumpu dengan tangan dan lengan depan/belakang /samping, bergantung, sikap kapal terbang, dan berdiri dengan salah satu kaki dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan.
15. Mempraktekkan penggunaan kombinasi pola gerak dasar lokomotor dan non-lokomotor sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana
16. Mempraktekkan gerak dasar mengambang (water trappen) di air dalam aktivitas air sesuai dengan kemampuan *
17. Menceriterakan kebutuhan istirahat, tidur, dan pengisian waktu luang untuk menjaga kesehatan.
Kelas 6
1. Menghargai tubuh dengan seluruh perangkat gerak sesuai kemampuannya sebagai anugrah Tuhan
2. Berperilaku sportif dalam bermain sesuai dengan kemampuannya.
3. Disiplin selama melakukan berbagai aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
4. Menunjukkan perilaku santun kepada teman dan guru selama mengikuti pembelajaran.
5. Toleransi dan mau berbagi dengan teman lain dalam penggunaan peralatan yang telah di modifikasi
6. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam bentuk permainan
7. Memiliki perilaku hidup sehat
8. Mengenal konsep gerak kombinasi pola gerak dasar manipulatif dalam berbagai bentuk permainan sederhana dan atau tradisional yang dimodifikasi
9. Mengenal konsep kombinasi berbagai pola gerak dasar dominan dinamis, seperti menolak, mengayun, melayang di udara, berputar, dan mendarat) dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan.
10. Mengenal konsep penggunaan kombinasi pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana
11. Mengenal konsep gerak dasar meluncur di air dalam aktivitas air sesuai dengan kemampuan
12. Mengenal manfaat pakaian dan atribut yang sesuai untuk jenis aktivitas fisik sesuai kemampuan yang diikuti
13. Mempraktekkan gerak kombinasi pola gerak dasar manipulatif dalam berbagai bentuk permainan sederhana dan atau tradisional yang dimodifikasi
14. Mempraktekkan kombinasi berbagai pola gerak dasar dominan dinamis, seperti menolak, mengayun, melayang di udara, berputar, dan mendarat) dalam aktivitas senam sederhana sesuai dengan kemampuan.
15. Mempraktekkan penggunaan kombinasi pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/dengan musik dalam aktivitas gerak ritmik sederhana.
16. Mempraktekkan gerak dasar meluncur di air dalam aktivitas air sesuai dengan kemampuan
17. Menceriterakan manfaat pakaian dan atribut yang sesuai untuk jenis aktivitas fisik sesuai kemampuan yang diikuti
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, A. 1996. Pendidikan Jasmani Adaptif. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Auxter, D., et al. 2001. Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation-Ninth Edition. New York: Mc graw Hill.
Badan Standar Nasional Pendidikan, (2007) Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Jasmani Olahraga Dan Kesehatan,Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Bucher, C.A., 1985: Foundations of physical Education and Sport, St.LOUIS: The CV. Mosby Company.
Bunawan, L. 2004. HakekatKetunarunguan dan Implikasi dalam Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.http://a-rahayu.blogspot.com/2012/03/reformasi-penilaian-pada pendidikan.html: diakses 17 Februari 2013.
DEPDIKNAS, Dierektorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan. Winarsih, Murni. 2007. Intervensi Dini Bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan Bahasa. Jakarta: DEPDIKNAS, Dierektorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan.
Direktorat pembinaan pedidikan khusus dan layanan khusus pendidikan dasar direktorat jenderal pendidikan dasar kementerian pendidikan dan kebudayaan. 2013. Pedoman penyelenggaraan program pendidikan jasmani adaptif bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Jakarta: Direktorat pembinaan pedidikan khusus dan layanan khusus pendidikan dasar direktorat jenderal pendidikan dasar kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Yunus, Mahmud & Johannes, Uray. 1992. Psikologi Olahraga. Malang: DEPDIKBUD Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang ProyekOperasidanPerawatanFasilitas.
Hallahan D P. dan Kauffman J M. ( 1994). Exceptinal Children Introduction to Special Education (Sixth Edition). United States: Allyn and Bacon.
Hosni, Irham. Pembelajaran Adaptif Untuk Sekolah Luar Biasa. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat PLB.
Kardinata, M.Pd. 1996. Psikologi Peserta didik Luar Biasa. Jakarta : Dikgutentis.
Marilyn M. Buck, et.all. 2007. Instructional Strategies, USA: Mc Graw Hill Publisher.
Mercer, D.C. dan Mercer, A.R. (1989). Teaching Student with Learning Problem. Ohio: Merril Publishing Company.
Sudarwan, Prof. 2012. Penilaian otentik dalam Pembelajaran. Makalah pada Workshop Kurikulum. Jakarta.
Vincent J. Melograno. 2006. Professional and Student Portofolios for Physical Fitness, USA: Human Kinetics.
Widiati, Sri CH dan Murtadlo. 2007. Pendidikan Jasmani dan Olahraga Adaptif. Jakarta. |
en_US |